Aku Bulan dan Kau Matahari
Aku bulan dan kau matahari yang
akan selalu dibutuhkan Sang Hari untuk menjadi sempurna. Aku penerang di kala
malam, dan kau penerang di kala siang. Aku memang selalu ada setiap harinya,
selalu setia mengirinya harinya, tapi aku hanyalah bayanganmu meski aku dan
kamu adalah berbeda. Kedatanganmu selalu merubah segalanya. Kau menjauhkanku
darinya. Aku tak lagi ada baginya, tak lagi penting. Siapa yang peduli rembulan
di kala siang? Tidak ada. Karena tiada gunanya. Aku hanya dibutuhkannya dikala
malam, di kala kau pergi. Itupun biasan sinar darimu. Sejatinya aku bukanlah
apa-apa, bukan siapa-siapa baginya meski kami dekat, begitu dekat.
Berada dalam satu garis takdir,
selalu membuat hubunginku dengan dirimu berjalan mulus dan akur. Kediaman yang
tercipta, kebekuan yang tak jua cair, dan hati yang tak kunjung merasa
mencintaimu. Adakah yang salah atas semua ini? Entahlah aku juga tak tau.
Terlalu besar kebencian dan kekecewaan bersemayam di hati pada diriku sendiri.
Melebihi rasa benciku pada dirimu. Hati ini terlalu rapuh, dengan mudahnya ia
menangis. Meski tak jelas jua apa yang ditangisi. Kebencian. Kekecewaan.
Penyesalan. Ketakutan. Kecemasan. Barangkali perasan-perasaan itulah yang ada
di hatiku.
Setiap kali hatiku remuk, aku
selalu berakting. Selalu berhasil di hadapan semua orang, kecuali kau dan
dirinya. Aku bahkan tak sanggup bertemu denganmu pun dengan dirinya. Rapuh.
Fisikku tiba-tiba saja rapuh, keropos di mana-mana. Aku muak dengan semua ini,
dengan diriku sendiri, denganmu, dengan dirinya dan dengan takdir yang katanya
selalu memberikan yang terbaik.
Jika akalku masih bekerja, aku
tentu takkan seperti ini. Tapi kali ini aku seolah menjadi orang hilang akal,
hilang logika. Hati yang gelap seringkali lebih mendominasi. Berkali aku ucap
istigfar, sebentar sehat tapi tak lama kambuh lagi.
Aku menangis dalam diam. Aku
menjerit takut dalam kesendirian. Tak satupun yang tau, termasuk dirinya. Andai
aku diizinkan menukar takdir, tapi itu tak mungkin. Takdir ini sudah tersurat
bahkan sebelum aku ada di dunia. Takdir punya kekuatan besar untuk menjerat
aku, kamu dan dia dalam pusaran yang membingungkan ini. Ini mungkin mudah
bagimu, juga baginya, tapi bagiku? Teramat sulit. Aku tak bisa mengendalikan
sekeping hati ini. Aku sudah berjuang, dan selalu berjuang untuk mengedepankan
akal. Tapi akal tak selalu menang. Dan
akhirnya aku terpuruk lagi. Satunya-satunya obatku hanyalah waktu. Ia menelan
segala kepahitan lukaku. Kegelisahan jiwaku. Tapi waktu berjalan lambat bagi
hati yang rapuh ini...
Jepara, 31 Agustus 2016