Read More

Slide 1 Title Here

Slide 1 Description Here
Read More

Slide 2 Title Here

Slide 2 Description Here
Read More

Slide 3 Title Here

Slide 3 Description Here
Read More

Slide 4 Title Here

Slide 4 Description Here
Read More

Slide 5 Title Here

Slide 5 Description Here

Kamis, 01 September 2016

Aku Bulan dan Kau Matahari

Aku Bulan dan Kau Matahari

Aku bulan dan kau matahari yang akan selalu dibutuhkan Sang Hari untuk menjadi sempurna. Aku penerang di kala malam, dan kau penerang di kala siang. Aku memang selalu ada setiap harinya, selalu setia mengirinya harinya, tapi aku hanyalah bayanganmu meski aku dan kamu adalah berbeda. Kedatanganmu selalu merubah segalanya. Kau menjauhkanku darinya. Aku tak lagi ada baginya, tak lagi penting. Siapa yang peduli rembulan di kala siang? Tidak ada. Karena tiada gunanya. Aku hanya dibutuhkannya dikala malam, di kala kau pergi. Itupun biasan sinar darimu. Sejatinya aku bukanlah apa-apa, bukan siapa-siapa baginya meski kami dekat, begitu dekat.
Berada dalam satu garis takdir, selalu membuat hubunginku dengan dirimu berjalan mulus dan akur. Kediaman yang tercipta, kebekuan yang tak jua cair, dan hati yang tak kunjung merasa mencintaimu. Adakah yang salah atas semua ini? Entahlah aku juga tak tau. Terlalu besar kebencian dan kekecewaan bersemayam di hati pada diriku sendiri. Melebihi rasa benciku pada dirimu. Hati ini terlalu rapuh, dengan mudahnya ia menangis. Meski tak jelas jua apa yang ditangisi. Kebencian. Kekecewaan. Penyesalan. Ketakutan. Kecemasan. Barangkali perasan-perasaan itulah yang ada di hatiku.
Setiap kali hatiku remuk, aku selalu berakting. Selalu berhasil di hadapan semua orang, kecuali kau dan dirinya. Aku bahkan tak sanggup bertemu denganmu pun dengan dirinya. Rapuh. Fisikku tiba-tiba saja rapuh, keropos di mana-mana. Aku muak dengan semua ini, dengan diriku sendiri, denganmu, dengan dirinya dan dengan takdir yang katanya selalu memberikan yang terbaik.
Jika akalku masih bekerja, aku tentu takkan seperti ini. Tapi kali ini aku seolah menjadi orang hilang akal, hilang logika. Hati yang gelap seringkali lebih mendominasi. Berkali aku ucap istigfar, sebentar sehat tapi tak lama kambuh lagi.
Aku menangis dalam diam. Aku menjerit takut dalam kesendirian. Tak satupun yang tau, termasuk dirinya. Andai aku diizinkan menukar takdir, tapi itu tak mungkin. Takdir ini sudah tersurat bahkan sebelum aku ada di dunia. Takdir punya kekuatan besar untuk menjerat aku, kamu dan dia dalam pusaran yang membingungkan ini. Ini mungkin mudah bagimu, juga baginya, tapi bagiku? Teramat sulit. Aku tak bisa mengendalikan sekeping hati ini. Aku sudah berjuang, dan selalu berjuang untuk mengedepankan akal. Tapi akal tak selalu menang.  Dan akhirnya aku terpuruk lagi. Satunya-satunya obatku hanyalah waktu. Ia menelan segala kepahitan lukaku. Kegelisahan jiwaku. Tapi waktu berjalan lambat bagi hati yang rapuh ini...

Jepara, 31 Agustus 2016
Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com