Jumat, 27 Februari 2015

Kritik Pendidikan Dalam Novel Rindu

Kritik Pendidikan Dalam Novel Rindu

Judul Buku          : Rindu
Karya                     : Tere Liye
Penerbit              : Republika
Cetakan               : 1
Tahun                   : Oktober, 2014
Tebal                     : ii+544 hal, 13.5 x 20,5 cm
ISBN                      : 978-602-8997-90-4

Tere Liye, siapa tak kenal nama penulis berbakat ini? Ia telah mengahasilkan begitu banyak karya. Dan kali ini ia mengusung tema rindu dalam novelnya yang berjudul Rindu, tepat seperti namanya. Namun perlu diketuahi bahwa rindu ini bukan rindu kepada sesama manusia biasa. Novel ini tidak bercerita tentang romantisme rindu muda-mudi yang dimabuk cinta. Rindu ini lebih murni, datang dari hati tergerak oleh iman.
Novel ini bermula tentang kisah para jama’ah haji nusantara dengan setting tahun 1938 yang hendak memuaskan rasa rindu mereka. Melihat ka’bah dan masjidil haram. Menunaikan rukun iman terakhir. Ada banyak jama’ah yang berangkat haji tentu dari berbagai wilayah di Nusantara. Persinggahan kapal Blitar Holland, kapal pengangkut jama’ah haji dimulai dari Makassar, berlanjut ke Surabaya, Semarang, Batavia, Bengkulu, Padang, dan Aceh. Dikisahkan bahwa terdepat lima penumpang yang membawa berbagai pertanyaan tentang hidup ini. Pertanyaan yang sebenarnya begitu dekat dengan kita. Namun mungkin kita sendiri tak tau jawabannya atau barangkali lalai untuk melihat pembelajaran disekitar kita yang semestinya sudah menjawab pertanyaan tersebut.
Pertanyaan pertama datang dari seorang tokoh bernama Bonda Upe atau Ling-ling, ibu-ibu chainis dengan masa lalu kelam. “Aku seorang cabo (pelacur), Gurutta, Apakah Allah, apakah Allah akan menerimaku di tanah suci?” Seorang ulama’ masyhur dari Gowa, menjawab, “Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain. Dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin. Pahami tiga hal itu Nak, semoga hati kau menjadi lebih tenang.”
Pertanyaan kedua muncul dari seorang berpendidikan, pedagang kaya, memiliki keluarga bahagia, orang selalu menyangka ia, Daeng Andipati hidup bahagia. Tapi apakah benar ia hidup bahagia? Padahal yang sesungguhnya ia menyimpan kebencian yang amat sangat terhadap ayahnya sendiri. Ayahnya seorang yang ringan tangan, pedagang culas yang suka menggunakan tukung pukul. “Bagaimana mungkin aku pergi naik haji membawa kebencian sebesar ini?” kembali ulama’ yang biasa dipanggil Gurutta itu yang menjawab. “Berhenti membenci ayahmu, karena kau sedang membenci dirimu sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru, buka lembaran baru. Semoga kau memiliki lampu kecil dihatimu.”
Pertanyaan ketiga muncul dari Mbah Kakung, ia begitu sedih mendapati kenyataan Mbah Putri Slamet telah mininggalkannya. Tak bisalagi mereka bergandeng tangan menyaksikan megahnya Masjidil Haram. Mereka pasangan suami istri yang terlihat selalu mesrameski di usia yang begitu sepuh. “Kenapa harus sekarang Mbah Putri pergi? Kenapa sekarang? Disaat mereka sedang dalam perjalanan haji? Menunaikan bukti cinta mereka?” lagi-lagi Gurutta yang menjawabnya. “Pertama, yakinlah kematian Mbah Putri adalah takdir Allah yang terbaik. Kedua, biarkan waktu mengobati semua kesedihan. Ketiga, lihatlahdari penjelasan ini dari kacamata berbeda.”
Pertanyaan keempat datang dari satu-satunya kelasi pribumi, Ambo Uleng yang bermakna pemuda yang bersinar bak purnama. Seorang pemuda usia dua puluhan yang sedang patah hati karena cinta. Pergi melamar menjadi kelasi kapal Blitar Holland hanya karena ingin lari sejauh-jauhnya dari masa lalu. Melupakan orang yang amat ia cintai. “Apa itu cinta sejati? Apakah esok lusa Ambo akan berjodoh dengan gadis itu? Apakah ia masih memiliki kesempatan?” “Cinta sejati adalah melepaskan. Jika ia cinta sejatimu, dia akan kembali dengan cara mengagumkan. Jika ia tidak kembali, maka sederhana jadinya itu bukan cinta sejatimu. Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud maka teruslah memperbaiki diri sendiri. Sibuklah dengan belajar teruslah berbuat baik. Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apapun wujud kehilangan kau akan siap menghadapinya.”
Dan ini adalah pertanyaan terakhir, dari seseorang yang selama ini selalu mampu menjawab berbagai pertanyaan dari orang-orang. Namun pertanyaannya sendiri justru tak mampu ia jawab. “Apakah kemerdekaan harus dibayar dengan harga mahal? Dengan darah dan air mata? Tiadakah cara lain?” dan jawaban atas pertanyaanya ia dapat dari seseorang pelaut bugis paling tangguh, pemuda dengan sinar rembulan, Ambo Uleng. “Saat ini kemerdakaan memang hanya bisa didapat dengan pengorbanan air mata darah, tidak ada cara lain!.”
Begitu seiring berjalannya waktu, seirama kapal yang mengikuti gelombang lautan. Satu demi satu pertanyaan telah terjawab. Dengan latar belakang pra kemerdekaan, novel ini tidak saja menyajikan sebentuk pemahaman akan para perindu pemilik Cinta yang Hakiki. Namun ada sisi historisnya, sejarah para pejuang dan inilah salah satu bagian menarik dari serangkain cerita Rindu. Secara tidak langsung, penulis berusaha mengkritik model pembelajaran zaman sekarang. Sebuah pendidikan yang terlalu terpaku pada ruang kelas dan nilai-nilai raport. Diceritakan dalam novel ini bahwa Gurutta menggagas sebuah sekolah sementara untuk anak-anak penumpang kapal. Tidak ada sistem nilai, guru bekerja ikhlas tanpa memikirkan gaji, proses belajar bisa dimana saja di pantai, di dek kapal, di kantin, di ruang mesin, di pelabuhan dan dimana saja. Yang utama adalah bagaimana anak memiliki pemahaman yang baik tentang alam, tentang dunia, tentang negaranya, tentang kehidupan sosialnya. Bukankah ini salah satu bentuk kritik akan sistem pendidikan kita? Mari renungkan.

Pada bab bab awal membaca buku ini saya merasa cukup jenuh, saya pikir basa-basinya terlalu panjang. Kenapa konfliknya tidak mulai terlihat? Kenapa semuanya seolah datar? Kenapa semuanya seolah tidak saling terpaut. Tapi demi melihat bahwa penulisnya adalah Tere Liye, penulis terkenal favorit saya. Saya kembali meneruskan membaca, pasti ada sesuatu yang mengejutkan. Batin saya. Dan benar, di bab tengah hingga akhir semuanya mulai terang. Hingga akhirnya lengkap sudah rangkaian panjang ceritanya. Semuanya berakhir bahagia. Bahkan Ambo Uleng dapat menikah dengan kekasih idamannya. Tak terlalu banyak alur mundur atau flash back yang panjang dalam cerita ini. Seperti biasa Tere Liye selalu mempu mengemas pesan moral, tanpa harus terkesan menggurui. Bahasanya indah. Enak dibaca. (Salamah)

0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com