Cerpen ini merupakan cerpen yang khusus aku buat untuk guruku tercinta Pak Kamaji. Guru bahasa Indoesia SMP N 5 Jepara. Alhamdulillah, lolos dalam event kenangan tak terlupakan bersama guru oleh Penerbit Meta Kata.
Menjadi seorang
cerpenis? Bisakah?
Tetes
air mengalir di jendela besar ruang keluarga. Aku memandang pemandangan kolam di samping ruang
keluarga. Menyenangkan rasanya, mengamati kehidupan di alam sana. Namun sore
ini pikiranku tidak sedang mengamati kehidupan di sekitar kolam. Tujuanku satu,
mencari sebuah ide sebagai dasar ceritaku.
Waktu
terus berjalan, pikirku terus melayang.
Kupalingan
wajahku ke arah kolam. Tepat saat itu, saat gerimis sudah berhenti. Mataku
menangkap seekor Burung Dara yang sedang hinggap di sebuah ranting pohon. Saat
itulah, ketika aku sedang mengamati Burung Dara yang sendirian, ide itu datang
bagai petunjuk dari langit. Segera kuambil pena dan kertas.
Sedetik.
Dua detik. Tiga detik. Hingga tujuh detik, penaku masih mengambang.
“Ah
aku tau..”
Sebuah
kalimat klise dan umum yang sering aku dengar dalam setiap cerita yang pernah
aku baca. Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah negeri antah brantah.
Itulah kalimat yang akhirnya aku tuliskan sebagai pembuka dari serangkaian
cerita yang akan aku tulis.
***
Aku
berdiri mematung di depan kelas. Tanganku gugup memegang kertas folio. Ku
arahkan pandanganku ke teman-teman kelas. Semua mata memandangku. Aku semakin
gugup.
“Ayo
Laura, bacakan cerita yang telah kamu tulis kepada kami.”
Pak
Kamaji guru Bahasa Indonesia kelas 8-B memintaku untuk segera membaca karangan
yang aku buat. Karangan ini adalah tugas yang diberikan beliau minggu lalu. Aku
tak percaya diri dengan karyaku. Aku takut karyaku jelek. Tapi aku tak bisa
mengelak, ketika Pak Kamaji menunjukku maju untuk membaca. Berpasang-pasang
mata masih tetap memandangku. Aku beranikan diriku. Menghela napas dalam dan
mulai bercerita.
“Alkisah,
pada zaman dahulu kala di sebuah negeri antah brantah. Hiduplah seorang gadis
yang amat jelita namanya Dara. Karena kejelitaannyalah ia akhirnya dijadikan
selir oleh raja. Suatu ketika, di sebuah hari yang tak begitu cerah. Sang
permaisyuri menemui Dara, sesuatu yang amat
jarang terjadi. Permaisyuri sedang menyiapkan sebuah tipu muslihat untuk
mengusir Dara dari kerajaan...”
Kata-kata
demi terus aku baca. Aku seolah lupa akan berpasang mata yang memandangku. Aku
terlalu asyik dengan duniaku. Membaca. Aku membaca seolah aku adalah bagian
dari cerita. Masuk kedalamnya. Melihat setiap kejadiannya. Memahami perasaan
dan jalan pikiran setiap tokohnya. Hingga sampailah aku di ujung cerita.
“Demi
menyaksikan Dara, selir kesangannya mencuri, raja menjadi murka. Dalam keadaan marah
itulah raja mengutuk Dara menjadi seekor Burung Dara. Dara Ia terbang layaknya
Burung Dara yang cantik. Tetap anggun dengan kepak sayapnya. Tetap cemerlang
dengan putih warna bulunya. Ia terbang mencari kebebesannya sendiri.”
“Begitulah
cerita yang aku tulis. Jika ada salah kata, aku mohon maaf. Wassalamualaikum
Wr.Wb.”
“Berikan
tepuk tangan untuk Laura.”
“Prok
prok prokk..”
“Ceritamu
bagus Laura. Bapak pikir kelak kamu bisa menjadi seorang cerpenis.”
Pak
Kamaji tersenyum padaku. Mendengar pujian beliau, khayalku langsung melayang,
membayangkan karyaku akan dimuat di koran-koran di baca banyak orang. Menjadi
seorang cerpenis? Bisakah? Seandainya bisa sungguh sebuah mimpi yang indah.
Selama
pelajaran berlangsung aku terus memikirkan perkataan beliau. Berbagai tanya
muncul di benakku. Apakah menulis adalah potensiku? Apakah menulis adalah
bakatku? Benarkah nantinya aku akan jadi seorang cerpenis? Dimana karyaku akan
menghiasa koran-koran? Entahlah aku tak tau, yang aku tau aku suka menulis itu
saja.
***
Biodata
Penulis
Noor
Salamah, lahir di Jepara. Suka menulis sejak SMP dan semakin bersemangat
semenjak salah satu gurunya berkata, kelak ia akan jadi seorang cerpenis.
Hingga kini ia berusaha trus lebih baik dan istiqomah dalam menulis. Dapat
dihubungi via Facebook: salma van licht, twitter : @salma_skylight atau e-mail
: salamah_chan@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar