Rabu, 24 Februari 2016

CINTA BERSEMI DI GENTING RUMAH MERTUA

CINTA BERSEMI DI GENTING RUMAH MERTUA

Jalil pikir ia telah mengenal Fatiya dengan baik, sangat baik bahkan hingga ia berprasangka segala hal tentang Fatiya telah menjadi segala hal tentang Jalil juga. Ia sudah mengenal Fatiya sejak ia masih gemar memanjat pohon mangga Pak Ismun, tetangga mereka yang luar biasa galaknya. Ia mengenal Fatiya sejak ia masih usil dengan ayam babonnya Pak Jajang. Salah satu hal yang paling sering mereka lakukan adalah naik ke atas genting Pak Daman ketika mereka ketahuan mencuri mangga Pak Ismun. Pak Ismun yang memang takut ketinggian tak berani mengambil anak tangga untuk menyeret mereka turun. Alhasil Pak Ismun hanya bisa marah-marah dari bawah hingga tengkuknya pegal karena terlalu lama mendongak dan mulutnya kehabisan air ludah. Sementara itu Ibu Sutinah hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan putri sulungnya yang liar sedang berbuat onar, dan Pak Daman tertawa kecil menyaksikan peristiwa itu, sebuah peristiwa yang sering terjadi. Bahkan nasehat, omelan, dan kemarahan tidak akan mempan kepada Fatiya.
Jalil dan Fatiya tumbuh, besar dan berkembang bersama. Mereka menghabiskan masa SMP dengan keonaran yang selalu bikin heboh kampung. Fatiya, gadis tomboi, enerjik, penuh semangat, ceplas-ceplos, dan jail. Jalil ingat ia pertama kali melihat Fatiya saat ia sedang berjalan di sepanjang gang menuju warung Mpok Inem. Saat itu ia baru beberapa hari menginjakkan kaki di kampung, dan ia baru mengenal dua orang tetangganya, yang pertama Mpok Inem dan yang ke dua Pak Darman salah satu Ustadz yang mengajar di Mushola Nurul Iman. Sedang asyik menikmati Es Kado, sebuah benda keras berlendir jatuh tepat di atas kepala Jalil.
“Oey! Siapa itu disana yang main lempar biji mangga!” teriak Jalil keras sambil mendongak ke arah Pohon Mangga.
“Aku. Emang kenapa?! Masalah buat loe?!”
Tiba-tiba saja seorang gadis jatuh mendarat dari atas pohon tepat ke hadapan Jalil. Gadis itu mengenakan celana panjang gombrong ala tentara, kaus oblong sesikut berwarna hitam, dengan rambut cepak tapi beranting. Jika bukan karena anting-anting emas berbandul hati tentu ia akan mengira bahwa yang dihadapannya adalah anak laki-laki bukan anak perempuan.
“Jelas masalah dong. Gara-gara kamu kepalaku jadi sakit mana kotor lagi. Ayo ganti rugi!”
“Ogah! Kamu yang punya masalah dengan kepala dan rambutmu ya kamu sendiri yang tanggung jawab.
Fatiya kemudian meninggalkan Jalil. Jalil berusaha menghentikan langkah Fatiya, bersikeras meminta Fatiya bertanggung jawab. Disisi yang lain Fatiya bersikeras untuk menolak permintaan tanggung jawab itu. Adu mulut tak bisa dihindari, suara mereka yang keras melengking bahkan sampai mengusik Pak Ismun.
“Hei kalian! anak-anak nakal berisik sekali kalian.  Suara kalian itu sampai mengganggu mangga-mangga bapak lagi masak. Kalian mau diam atau bapak diamkan?”
Fatiya mengambil ancang-ancang untuk lari, Fatiya harus lari sebelum Bapak Ismun sadar bahwa mangganya telah dicuri.
“Bukan saya Pak yang mulai, tapi gadis ini duluan,” bela Jalil.
“Bukan urusan Bapak siapa yang salah, pokoknya kalian tidak boleh berisik karena Bapak tak ingin tumbuh kembang mangga kesayangan bapak jadi terhambat.”
“Mana ada mangga Pak?” dengan polos Jalil bertanya. Jalil memang melihat pohon mangga tapi tidak melihat buahnya.
“Buta ya mata kau?! Itu mangga banyak sekali kau tak lihat?”
Betapa keget Pak Ismun melihat mangganya sepi tak ada yang terlihat. Dalam benaknya tercetak satu nama sebagai tersangka pencurian.
“FATIYAAAAA!!!”
Hap, dengan gesit Fatiya segera berlari tak lupa memaksa Jalil untuk ikut berlari juga. Menjauh dari amukan si monster pelit, Pak Ismun. Jalil yang tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi hanya menurut dan mengikuti Fatiya, bahkan ketika Fatiya memaksanya untuk menaiki genting rumahnya. Di atas genting itulah Fatiya memperkenalkan diri, dan berawal dari kejadian itu mereka akhirnya bersahabat.
Waktu berjalan cepat mereka tumbuh dan berkembang bersama hinggga SMA. Masa SD hingga SMA itu mereka lalui dengan penuh canda dan tawa. Hingga sebuah peristiwa penting nan bersejarah itu membuat sedikit banyak takdir mereka berubah. Rencana untuk kuliah di universitas yang sama pun pupus di tengah jalan.
Tepat di jum’at ketiga bulan Maret Pak Daman ayah Fatiya meninggal. Duka tidak saja menghinggapi Fatiya dan Ibu Sutinah namun juga seluruh warga kampung. Pak Daman dikenal sebagai orang yang soleh, arif bijaksana, adil, dan penyanyang. Semua orang merasa kehilangan sosok Pak Daman. Bagi Jalil sendiri, Pak Daman adalah bapak yang sungguh luar biasa. Tiga hari setelah meninggal, Ibu Sutinah menyampaikan bahwa ada wasiat dari Pak Daman kepada Fatiya. Wasiat itu adalah meminta Fatiya untuk menuntut ilmu di pondok pesantren tempat dulu bapaknya juga menuntut ilmu dan ia harus pergi semester depan ketika tahun ajaran baru. Fatiya terdiam. Fatiya sadar sebagai wasiat dari Bapak yang sudah meninggal permintaan ini harus ditaati. Kepergian Fatiya membuat hati Jalil gundah. Bayangan kehilangan Fatiya sudah terlebih dulu membuat ia gila, hinggga sakit dan tidak bersemangat melakukan segala hal. Kedua orang tua Jalilpun menjadi cemas. Ayah Jalil, Bapak Adnan yang memang dekat dengan putranya menduga penyebab kelesuan Jalil adalah Fatiya. Malam itu di bulan purnama di bawah gerlap gemintang, dengan di temani dengan kopi dan susu coklat serta karamel pisang Pak Adnan dan Jalil mengobrol santai. Dan sebuah pertanyaan sederhana dari Pak Adnan membuat Jalil terdiam, tak serta merta menjawab namun dari mukanya yang memerah itu terjawab sudah bahwa Jalil telah jatuh cinta pada Fatiya. Tanpa sepengetahuan Jalil, Pak Adnan beserta istrinya datang ke rumah Fatiya. Pak Adnan berencana menjodohkan Jalil dengan Fatiya. Tanpa pikir panjang Ibu Sutinah menyetujuinya, ia mereka Jalil dan Fatiya adalah pasangan yang serasi. Mereka pasti menyetujui perjodohan ini meski tanpa sepengetahuan mereka karena mereka sebenarnya telah saling jatuh cinta.
Baru satu bulan yang lalu mereka bertemua setelah sekian lama. Banyak perubahan yang terjadi. Di mata Jalil Fatiya benar-benar telah berubah, dari penampilan hingga tingkah lakunya. Baik Fatiya maupun Jalil telah lulus dari perguruan tinggi, selama masa sebelum itu mereka tak saling menghubungi. Pagi ketika Pak Adnan meminta Jalil mengantar rantang rendang sapi ke rumah Fatiya, saat itulah terdengar kentongan dipukul dengan kerasnya. Semua orang berteriak.
“Banjir besar! Banjir besar!”
Jalil dan Fatiya saling berpandangan. Jalil kemudain berinisiatif mengajak Fatiya memanjat genting, berusaha mengamankan diri. Air bah luapan tanggul segera menyebar ke seluruh kampung, tinggi air mencapai satu setengah meter lebih. Rumah-rumah warga terendam. Dan disinilah mereka seperti warga lainnya, duduk diatas genting rumah memandang luapan air bah. Lama Jalil dan Fatiya hanya saling diam.
“Aku lapar, makan rendang yuk,” ajak Jalil sambil membuka rantang berisi rendang. Mereka pun makan berdua. “Kau tau apa yang aku lakukan saat ini selain makan bersamamu?” Fatiya menggeleng. “Aku sedang mengenang saat pertama kita berkenalan, bukankan di atas genting ini pula kita berkenalan. Aku merasa setelah kita berpisah lama sekali, satu sama lain dari kita menjadi canggung. Mungkin kita harus berkenalan lagi. Perkenalkan namaku Jalil bin Adnan. Masih mencintai satu orang gadis meskipun kelihatannya ia telah berubah banyak.”
“Aku Fatiya binti Darman. Masih sama seperti dulu, meski ada beberapa hal yang berubah. Salah satunya aku masih mencintai pria yang pernah aku jatuhkan biji mangga ke atas kepalanya,” Fatiya tersenyum jail kepada Jalil.
Hati Jalil menjadi bergetar. Sudah sejak lama ia tidak melihat senyum seperti itu. Senyum yang dulu selalu menghiasi hari-hari Jalil. Satu senyum itu telah membangkitkan sejuta asa di hati Jalil. Membuat kuncup-kuncup bunga cinta itu bermekaran bak di musim semi. Satu senyum itu telah meyakinkan Jalil bahwa Fatiya yang dulu ia kenal tidak berubah. Ia tetaplah Fatiya yang Jalil cinta.
***



Biodata penulis

Noor Salamah, lahir pada hari kamis 23 Juni 1994 di Jepara. Putri pasangan M. Ma’ruf (alm) dan S.Muzaronah menyukai dunia menulis sejak SMP. Saat ini ia kuliah S1 Prodi Pendidikan Nonformal Unnes. Salamah bisa dihubungi via Fb: salma van licht, twitter : @salma_skylight atau e-mail: salamah_chan@yahoo.com, cp: 089668214948

0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com