Sabtu, 10 Juni 2017

Blenyik Dalam Toples


Tulisan ini awalnya saya buat ketika pada suatu diskusi Akademi Menulis Jepara (AMJ) Pak Kartika Catur Pelita menantang membuat cerpen dengan tema blenyik dan kebetulan saat itu sedang membahas POV. Jadilah saya terinspirasi dan semangat untuk membuat cerpen ini. Monggo di baca, di komentari juga boleh. Karena saya masih belajar dan tentu masih banyak kekurangan di sana sini. Jika ada nilai positif yang bisa di ambil, saya bersyukur karenanya. Karena tangan ini takkan mampu menulis bila tanpa bimbingan-Nya

Dapur kecil ini masih saja setia kepadamu. Begitu pula dengan tungku kayu yang tak lelah berjuang agar dapurmu tetap mengepul. Pagi itu kau datang membawa sekeranjang kecil bambu berisi ikan teri kecil. Semestinya kau bisa menjualnya, tapi tidak. Kau lebih memilih menyimpannya sendiri, untuk makan sehari-hari. Apakah suamimu hari ini hanya membawa teri? Sebagaimana hari-hari belakangan? Apakah di laut sana cuaca begitu buruk hingga yang suamimu dapatkan hanyalah sejumlah teri? Atau apakah kapal-kapal besar begitu serakah meraup ikan di laut, hingga yang suamimu dapatkan hanyalah sedikit teri untuk makan sehari-hari? Tapi kau tak pernah mengeluh. Apapun yang di beri suamimu selalu kau bawa ke dapur dengan senyum. Tanpa keluhan tanpa makian. Apakah kau tak pernah berpikir bahwa hidup ini sungguh tak adil bagimu? Ya, bagaimana bisa adil ketika banyak tetanggamu sudah beralih ke kompor gas kau masih saja setia menggunakan tungku kayu usang.
Tapi hari ini kau datang ke dapur tanpa senyum sumringah. Kemurungan jelas sekali di wajahmu. Ohh, apakah yang sebenarnya terjadi? Di ruang tengah terdengar jelas. Anakmu satu-satunya mengamuk.
“Aku sudah bosan makan blenyik Mak! Aku tak mau lagi makan blenyik!”
Di sudut dapur kau tak berkata apapun. Air matamu turun tak bisa kau tahan. Dadamu naik turun seolah kurang oksigen. Tapi tanganmu masih saja sibuk mengolah blenyik. Tak mempedulikan kemarahan anakmu, yang enggan makan blenyik. Kau masih saja menggoreng. Dengan langkah perlahan kau membawa blenyik, sambal dan nasi hangat itu ke hadapan anakmu.
“Prang!” terdengar suara piring pecah dari ruang tengah disusul kemarahan anakmu dan isak tangismu.
“Sudah aku bilang kan Mak, aku bosan makan blenyik! Aku bosan hidup melarat!” terdengar suara pintu dibanting, dan kau masih juga menangis tanpa mengucap sepatah katapun.
Kau kembali ke dapur bersama sisa  tangis  dan kesedihanmu. Kau pandangi lama sekali blenyik olahanmu yang masih tersisa di wajan. Entah apa yang kau pikirkan. Barangkali kau baru sadar bahwa hidup ini sungguh tak adil padamu? Barangkali kau juga memikirkan ucapan anakmu? Bahwa kau sendiri pun sudah bosan hidup melarat seperti ini?
Susah payah kau telan blenyik bersama nasi hangat yang masih mengepul. Apakah kau juga sudah bosan makan blenyik setiap hari? Tapi kau tak pernah mengatakan kau bosan makan blenyik dan kau tetap saja menerima hasil tangkapan suamimu. Mengolahnya lalu memakannya.
“Kita jual saja ya blenyik-blenyik itu, siapa tau laku. Dan kita bisa makan selain blenyik,” Kau mengangguk, mengiyakan saja perkataan suamimu, tanpa berkomentar apa pun.
Esoknya kau dan suamimu membawa sejumlah blenyik ke pasar. Hari itu pasar terlihat ramai, tapi selama dua jam kau menunggu belum ada satupun pelanggan yang datang. Kau perhatikan orang-orang yang lewat dengan mata sayu. Tangan-tangan mereka sudah berat dengan membawa belanjaan. Dari baunya terciumlah aroma ayam potong, daging potong, jamur dan lain sebagainya. Makanan seperti itu, kau juga pasti ingin makan yang seperti itu. Tidak melulu dengan blenyik saja. Apalagi di bulan puasa ini, tentu kau ingin menyuguhkan makanan terlezat untuk keluargamu. Tapi apa daya, hidup selalu berpihak pada mereka yang punya uang. Pada mereka yang berkuasa. Dan di bulan ramadan ini apa yang kau dapat selain blenyik?
Seorang ibu berumur lima puluhan, dengan hijab besar mendatangi lapakmu. Ia letakkan tas belanjaanya di dekat lapak.
“Seperempat kilo berapa harganya?”
“Dua belas Bu, monggo. Ini baru kok Bu, ikannya juga bagus. Lihat, blenyiknya bersih kan? Enggak kecampur kotoran lain?” Ibu berhijab besar itu melihat sejumlah blenyik yang suamimu ambil dari toples.
“Mbok ya, jangan dua belas. Sepuluh gitu, nanti tak saya beli setengah kilo.”
“Iya deh boleh. Mak, tolong bungkuskan setengah ya,” pinta suamimu, kau pun dengan sigap membungkus setengah kilo blenyik. Ibu berhijab itu pergi, meninggalkan kau dan suamimu dalam kebahagiaan. “Yah,  setidaknya uang ini bisa kita belikan lauk lainnya. Agar Saiful tidak lagi membuang masakan yang kau buat dengan susah payah,” kau pandangi suamimu dengan tatap mata bingung. Seolah kau tak menyangka bahwa suamimu mengetahui ulah anakmu hari itu. Lagi kau menangis sesenggukan. “Jangan menangis, ini bukan salahmu. Tuhan sedang menguji kita dalam keadaan seperti ini. Kita harus tabah, tetep nrima sabar lan syukur. Jangan menangis. Jangan salahkan dirimu sendiri. Aku yang seharusnya meminta maaf pada kalian, aku tak cukup mampu membahagiakan kalian,” kau menggeleng tak setuju dengan ucapan suamimu.
“Aiihh, lagi-lagi aku ditinggalkan. Dia memang pelupa tak pernah berubah, dan aku pula yang sering jadi korbannya,” terdengar sebuah suara yang ternyata dari sebuah kunci mobil. pasti itu milik ibu berhijab tadi.
“Apakah hidup majikanmu itu enak? Tidak susah?” kunci itu menoleh ke arahmu dan suamimu. Dikiranya itu adalah suaramu atau suara suamimu. Barulah ia tahu suara itu berasal dari blenyik di dalam toples.
“Hidup enak? Hidup itu tidak ada yang enak. Hidup itu rumit dan penuh masalah. Setiap hari, di dalam mobil majikanku itu selalu saja mengeluh. Kadang soal hutangnya di bank. Kadang tentang cicilan mobil barunya. Kadang tentang suaminya yang jarang pulang. Kadang tentang anaknya yang sulit diatur. Lebih sering tentang rasa kesepiannya di rumah besar itu. Setiap hari yang ku dengar hanya keluhan saja. Kadang bahkan kedua majikanku itu bertengkar di dalam mobil. Terakhir pertengkaran mereka terkait pembagian harta dan pengasuhan anak karena mereka akan bercerai. Tuanku sudah ketahuan punya selingkuhan soalnya.”
“Apakah mereka makan enak setiap hari?”
“Yah kalau soal makanan sih selalu masakan yang enak-enak. Tapi tetap saja makanan enak kalau tidak ada yang makan yang percuma. Habis baik tuan maupun anaknya enggak pernah di rumah sih.”
“Yah, setidaknya majikanmu selalu makan enak. Itu lebih baikkan daripada makan blenyik setiap hari seperti yang punya lapak ini,” ia hanya diam, mengangkat bahunya.
Ibu berhijab itu datang lagi. Barangkali ia sadar telah meninggalkan kunci mobilnya di sini.
“Apakah kunciku tertinggal di sini?” tanya ibu itu. Kau dan suamimu kemudian mencarinya. Setelah ketemu kau berikan kunci itu pada ibu berhijab besar. Tapi matamu tak jua lepas dari cincin emas yang melingkar di jari si ibu berhijab. Kau baru sadar setelah suamimu menyenggol pelan sikutmu. “Terima kasih ya. Ahh saya itu memang pelupa.”
“Kau pasti teringat cincin kawinmu yang terpaksa kita jual sewaktu kau melahirkan Saiful,” kau mengangguk membenarkan ucapan suamimu. “Maafkan aku ya,” lagi kau menggeleng tapi air matamu menetes perlahan. Dengan sabar suamimu memelukmu, mendekapmu.
Andai saja kau bisa bicara, apakah yang akan kau katakan? Apakah keluhan-keluhan jua yang kau ucapkan sama seperti majikan si kunci mobil? tapi kau tak pernah berkata apapun. Tapi tangismu telah menjelaskan segalanya. Andai saja kau bisa bicara, kau pasti menggugat hidupmu yang melarat. Andai saja kau bisa bicara, kau pasti mengucap syukur punya suami setia dan perhatian padamu. Dan memang seharusnya kau bersyukur untuk itu karena majikan si kunci yang hidup cukup saja suaminya bisa selingkuh. Tapi lihatlah suamimu, yang walau setiap hari makan blenyik, dan menghadai istri sepertimu yang tak pernah bicara ia tetap saja setia.

Jepara, 10 Juni 2017.

Noor Salamah lahir dan besar di Jepara. Putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan S. Muzaronah ini menyukai menulis. Selain menulis ia juga suka membaca, pantai, dan senja. Bisa dihubungi via fb di salma van licht.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com