Tulisan
ini awalnya saya buat ketika pada suatu diskusi Akademi Menulis Jepara
(AMJ) Pak Kartika Catur Pelita menantang membuat cerpen dengan tema
blenyik dan kebetulan saat itu sedang membahas POV. Jadilah saya
terinspirasi dan semangat untuk membuat cerpen ini. Monggo di baca, di
komentari juga boleh. Karena saya masih belajar dan tentu masih banyak
kekurangan di sana sini. Jika ada nilai positif yang bisa di ambil, saya
bersyukur karenanya. Karena tangan ini takkan mampu menulis bila tanpa
bimbingan-Nya
Dapur kecil ini masih saja setia kepadamu. Begitu pula dengan tungku kayu yang tak lelah berjuang agar dapurmu tetap mengepul. Pagi itu kau datang membawa sekeranjang kecil bambu berisi ikan teri kecil. Semestinya kau bisa menjualnya, tapi tidak. Kau lebih memilih menyimpannya sendiri, untuk makan sehari-hari. Apakah suamimu hari ini hanya membawa teri? Sebagaimana hari-hari belakangan? Apakah di laut sana cuaca begitu buruk hingga yang suamimu dapatkan hanyalah sejumlah teri? Atau apakah kapal-kapal besar begitu serakah meraup ikan di laut, hingga yang suamimu dapatkan hanyalah sedikit teri untuk makan sehari-hari? Tapi kau tak pernah mengeluh. Apapun yang di beri suamimu selalu kau bawa ke dapur dengan senyum. Tanpa keluhan tanpa makian. Apakah kau tak pernah berpikir bahwa hidup ini sungguh tak adil bagimu? Ya, bagaimana bisa adil ketika banyak tetanggamu sudah beralih ke kompor gas kau masih saja setia menggunakan tungku kayu usang.
Dapur kecil ini masih saja setia kepadamu. Begitu pula dengan tungku kayu yang tak lelah berjuang agar dapurmu tetap mengepul. Pagi itu kau datang membawa sekeranjang kecil bambu berisi ikan teri kecil. Semestinya kau bisa menjualnya, tapi tidak. Kau lebih memilih menyimpannya sendiri, untuk makan sehari-hari. Apakah suamimu hari ini hanya membawa teri? Sebagaimana hari-hari belakangan? Apakah di laut sana cuaca begitu buruk hingga yang suamimu dapatkan hanyalah sejumlah teri? Atau apakah kapal-kapal besar begitu serakah meraup ikan di laut, hingga yang suamimu dapatkan hanyalah sedikit teri untuk makan sehari-hari? Tapi kau tak pernah mengeluh. Apapun yang di beri suamimu selalu kau bawa ke dapur dengan senyum. Tanpa keluhan tanpa makian. Apakah kau tak pernah berpikir bahwa hidup ini sungguh tak adil bagimu? Ya, bagaimana bisa adil ketika banyak tetanggamu sudah beralih ke kompor gas kau masih saja setia menggunakan tungku kayu usang.
Tapi hari ini kau
datang ke dapur tanpa senyum sumringah. Kemurungan jelas sekali di wajahmu.
Ohh, apakah yang sebenarnya terjadi? Di ruang tengah terdengar jelas. Anakmu
satu-satunya mengamuk.
“Aku sudah bosan makan
blenyik Mak! Aku tak mau lagi makan blenyik!”
Di sudut dapur kau tak
berkata apapun. Air matamu turun tak bisa kau tahan. Dadamu naik turun seolah
kurang oksigen. Tapi tanganmu masih saja sibuk mengolah blenyik. Tak
mempedulikan kemarahan anakmu, yang enggan makan blenyik. Kau masih saja
menggoreng. Dengan langkah perlahan kau membawa blenyik, sambal dan nasi hangat
itu ke hadapan anakmu.
“Prang!” terdengar
suara piring pecah dari ruang tengah disusul kemarahan anakmu dan isak
tangismu.
“Sudah aku bilang kan
Mak, aku bosan makan blenyik! Aku bosan hidup melarat!” terdengar suara pintu
dibanting, dan kau masih juga menangis tanpa mengucap sepatah katapun.
Kau kembali ke dapur
bersama sisa tangis dan kesedihanmu. Kau pandangi lama sekali
blenyik olahanmu yang masih tersisa di wajan. Entah apa yang kau pikirkan.
Barangkali kau baru sadar bahwa hidup ini sungguh tak adil padamu? Barangkali
kau juga memikirkan ucapan anakmu? Bahwa kau sendiri pun sudah bosan hidup
melarat seperti ini?
Susah payah kau telan
blenyik bersama nasi hangat yang masih mengepul. Apakah kau juga sudah bosan
makan blenyik setiap hari? Tapi kau tak pernah mengatakan kau bosan makan
blenyik dan kau tetap saja menerima hasil tangkapan suamimu. Mengolahnya lalu
memakannya.
“Kita jual saja ya
blenyik-blenyik itu, siapa tau laku. Dan kita bisa makan selain blenyik,” Kau
mengangguk, mengiyakan saja perkataan suamimu, tanpa berkomentar apa pun.
Esoknya kau dan suamimu
membawa sejumlah blenyik ke pasar. Hari itu pasar terlihat ramai, tapi selama
dua jam kau menunggu belum ada satupun pelanggan yang datang. Kau perhatikan
orang-orang yang lewat dengan mata sayu. Tangan-tangan mereka sudah berat
dengan membawa belanjaan. Dari baunya terciumlah aroma ayam potong, daging
potong, jamur dan lain sebagainya. Makanan seperti itu, kau juga pasti ingin
makan yang seperti itu. Tidak melulu dengan blenyik saja. Apalagi di bulan
puasa ini, tentu kau ingin menyuguhkan makanan terlezat untuk keluargamu. Tapi
apa daya, hidup selalu berpihak pada mereka yang punya uang. Pada mereka yang
berkuasa. Dan di bulan ramadan ini apa yang kau dapat selain blenyik?
Seorang ibu berumur
lima puluhan, dengan hijab besar mendatangi lapakmu. Ia letakkan tas
belanjaanya di dekat lapak.
“Seperempat kilo berapa
harganya?”
“Dua belas Bu, monggo.
Ini baru kok Bu, ikannya juga bagus. Lihat, blenyiknya bersih kan? Enggak
kecampur kotoran lain?” Ibu berhijab besar itu melihat sejumlah blenyik yang
suamimu ambil dari toples.
“Mbok ya, jangan dua
belas. Sepuluh gitu, nanti tak saya beli setengah kilo.”
“Iya deh boleh. Mak,
tolong bungkuskan setengah ya,” pinta suamimu, kau pun dengan sigap membungkus
setengah kilo blenyik. Ibu berhijab itu pergi, meninggalkan kau dan suamimu dalam
kebahagiaan. “Yah, setidaknya uang ini
bisa kita belikan lauk lainnya. Agar Saiful tidak lagi membuang masakan yang kau
buat dengan susah payah,” kau pandangi suamimu dengan tatap mata bingung. Seolah
kau tak menyangka bahwa suamimu mengetahui ulah anakmu hari itu. Lagi kau
menangis sesenggukan. “Jangan menangis, ini bukan salahmu. Tuhan sedang menguji
kita dalam keadaan seperti ini. Kita harus tabah, tetep nrima sabar lan
syukur. Jangan menangis. Jangan salahkan dirimu sendiri. Aku yang
seharusnya meminta maaf pada kalian, aku tak cukup mampu membahagiakan kalian,”
kau menggeleng tak setuju dengan ucapan suamimu.
“Aiihh, lagi-lagi aku
ditinggalkan. Dia memang pelupa tak pernah berubah, dan aku pula yang sering
jadi korbannya,” terdengar sebuah suara yang ternyata dari sebuah kunci mobil.
pasti itu milik ibu berhijab tadi.
“Apakah hidup majikanmu
itu enak? Tidak susah?” kunci itu menoleh ke arahmu dan suamimu. Dikiranya itu
adalah suaramu atau suara suamimu. Barulah ia tahu suara itu berasal dari
blenyik di dalam toples.
“Hidup enak? Hidup itu
tidak ada yang enak. Hidup itu rumit dan penuh masalah. Setiap hari, di dalam
mobil majikanku itu selalu saja mengeluh. Kadang soal hutangnya di bank. Kadang
tentang cicilan mobil barunya. Kadang tentang suaminya yang jarang pulang.
Kadang tentang anaknya yang sulit diatur. Lebih sering tentang rasa kesepiannya
di rumah besar itu. Setiap hari yang ku dengar hanya keluhan saja. Kadang bahkan
kedua majikanku itu bertengkar di dalam mobil. Terakhir pertengkaran mereka
terkait pembagian harta dan pengasuhan anak karena mereka akan bercerai. Tuanku
sudah ketahuan punya selingkuhan soalnya.”
“Apakah mereka makan
enak setiap hari?”
“Yah kalau soal makanan
sih selalu masakan yang enak-enak. Tapi tetap saja makanan enak kalau tidak ada
yang makan yang percuma. Habis baik tuan maupun anaknya enggak pernah di rumah
sih.”
“Yah, setidaknya
majikanmu selalu makan enak. Itu lebih baikkan daripada makan blenyik setiap hari
seperti yang punya lapak ini,” ia hanya diam, mengangkat bahunya.
Ibu berhijab itu datang
lagi. Barangkali ia sadar telah meninggalkan kunci mobilnya di sini.
“Apakah kunciku
tertinggal di sini?” tanya ibu itu. Kau dan suamimu kemudian mencarinya.
Setelah ketemu kau berikan kunci itu pada ibu berhijab besar. Tapi matamu tak
jua lepas dari cincin emas yang melingkar di jari si ibu berhijab. Kau baru
sadar setelah suamimu menyenggol pelan sikutmu. “Terima kasih ya. Ahh saya itu
memang pelupa.”
“Kau pasti teringat
cincin kawinmu yang terpaksa kita jual sewaktu kau melahirkan Saiful,” kau
mengangguk membenarkan ucapan suamimu. “Maafkan aku ya,” lagi kau menggeleng
tapi air matamu menetes perlahan. Dengan sabar suamimu memelukmu, mendekapmu.
Andai saja kau bisa
bicara, apakah yang akan kau katakan? Apakah keluhan-keluhan jua yang kau
ucapkan sama seperti majikan si kunci mobil? tapi kau tak pernah berkata
apapun. Tapi tangismu telah menjelaskan segalanya. Andai saja kau bisa bicara,
kau pasti menggugat hidupmu yang melarat. Andai saja kau bisa bicara, kau pasti
mengucap syukur punya suami setia dan perhatian padamu. Dan memang seharusnya
kau bersyukur untuk itu karena majikan si kunci yang hidup cukup saja suaminya
bisa selingkuh. Tapi lihatlah suamimu, yang walau setiap hari makan blenyik,
dan menghadai istri sepertimu yang tak pernah bicara ia tetap saja setia.
Jepara, 10 Juni
2017.
Noor Salamah lahir dan
besar di Jepara. Putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan S. Muzaronah ini menyukai
menulis. Selain menulis ia juga suka membaca, pantai, dan senja. Bisa dihubungi
via fb di salma van licht.
0 komentar:
Posting Komentar