Menulis cerita horor?
Emm, baru pertama kali sih membuat namun tidak mengecewakan banget. Karena Alhamdulillah, lolos menjadi kontributor dalam even horor profesi yang diadakan oleh unsa.
Emm, baru pertama kali sih membuat namun tidak mengecewakan banget. Karena Alhamdulillah, lolos menjadi kontributor dalam even horor profesi yang diadakan oleh unsa.
Siaran Jumat
Kliwon
“Selamat
malam kerabat Soraya. Bersama kami, Andi El Malik 103 dan Dimas Purnama 106
menghadirkan narasumber setia kita Mas Roy dalam Cerita Tengah Malam tiap hari
kamis mulai pukul setengah sebelas hingga pukul satu dini hari. Bagi kerabat
Soraya yang ingin membagi kisah mistisnya kepada kami silahkan terlepon di
1291170144 atau sms di 085640010144 bisa juga mention di facebook
kami, Cerita Tengah Malam Soraya 144 Fm. Malam jumat kliwon, semoga ada cerita
menarik malam ini untuk kita simak bersama. ”
Terdengar
suara anjing menggonggong, derit pintu yang terbuka, suara tawa wanita dan
jeritan yang amat keras dari speaker di ruang siaran. Andi mengatur
panel frekuensi, menurunkun volume suara line mic satu dan dua. Telepon
berdering, Andi mengangkatnya berbicara sebentar kemudian mencatat sesuatu
dalam buku yang sudah tersedia di samping telepon.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikum
salam, dengan bapak siapa dan dari mana?” Tanya Dimas.
“Bapak
Warno dari Semarang.”
“Okke
nama dan alamat lengkap sudah kami simpan, silahkan Bapak langsung mulai cerita
Bapak.”
“Begini
Mas, sudah tiga bulan ini saya menempati sebuah rumah tua namun masih terlihat
megah di sebuah kawasan elit di Semarang. Rumah itu besar dan bertingkat dua.
Rumah ini baru kami beli beberapa hari sebelum saya menempatinya. Rumah ini
dibeli oleh bos saya, dan rencananya rumah ini akan di jual kembali setelah
bagian-begian tertentu selesai direnovasi. Saya ditugaskan bos saya untuk
tinggal memantau jalannya renovasi hingga rumah ini terjual. Banyak hal aneh
yang saya alami di rumah ini, kejadian aneh itu berasal dari sebuah kamar
terlarang. Sebuah kamar yang oleh pemilik rumah sebelumnya melarang saya untuk
masuk kamar itu.”
***
Malam
sudah sangat larut, aku terjaga dari tidurku. Aku melihat jam weker yang berada
di samping ranjangku, masih pukul 01.30. Aku berniat meneruskan tidurku, sudah
kucoba namun mata ini tak mau terpejam. Dalam kegelisahan, samar aku mendengar
suara wanita sedang merintih kesakitan. Batinku bertanya, suara siapa itu?
Bukankah di rumah ini hanya ada aku dan Pak Damang, tukang kebun rumah ini?
Kupertajam pendengaranku, kufokuskan perhatianku. Suara itu berasal dari kamar
sebelah, kamar terlarang. Aku merinding. Ku tutup diriku dengan selimut,
kurapalkan doa-doa, lalu kuberusaha pejamkan mata.
Lain
hari, di suatu sore aku sedang tiduran di atas sofa di ruang tengah. Dalam
keadaan setengah sadar, aku merasa seolah kakiku sedang di pijit-pijit. Samar
aku melihat sesosok perempuan berambut panjang, bermata sipit, memakai gaun
putih sedang memijit kakiku. Aku kucek mataku, tapi sosok wanita itu sudah
menghilang entah kemana. Hal aneh lain pun sering saya alami, seperti mendengar
suara derap langkah seseorang di tangga, kran yang tiba-tiba menyala sendiri, suara
tawa anak kecil, denting suara garpu dan sendok ketika tengah malam dan
lain-lain.
Di
hari yang berbeda, aku masih sering mendengar rintihan wanita di tengah malam.
Suara itu berasal dari kamar terlarang. Pernah aku mencoba membukanya dengan
kunci yang aku miliki tapi gagal, pintunya tidak mau terbuka. Anehnya ketika pemilik
rumah lama datang berkunjung, dan aku menceritakan soal tadi. Ibu pemilik rumah
lama, mengernyit seoalah heran pada ceritaku namun aku juga menangkap ekspresi
tidak sukanya terhadapku. Ketika itu pula ia mengajakku ke kamar terlarang,
membuka pintunya menggunakan kunci yang ia miliki. Dan pintu itu berhasil
terbuka.
***
“Yang
saya tanyakan Mas Roy, apakah yang saya alami memang adanya seperti itu atau
bagaimana? Dan apakah ia memang penghuni asli rumah ini dan berniat menganggu
atau tidak? Terima kasih.”
Mas
Warno mencukupkan ceritanya.
“Bagaimana
ini Mas Roy?”
“Nyuwun
sewu Mas Warno, memang apa yang Anda alami terkait dengan sesosok wanita
misterius itu memang apa adanya. Apa yang Anda alami tersebut merupakan salah
satu bentuk interaksinya terhadap Anda, tidak ada niat menggangu dia hanya ingin
menunjukkan eksistensi dirinya di rumah tersebut. Terkait dengan hal aneh yang
anda alami, seperti denting suara garpu dan sendok, derap langkah seseorang,
suara tawa anak kecil dan lain sebagainya itu merupakan wujud interaksi makhluk
astral lainnya. Seperti seseorang yang merasa kesepian karena tinggal dirumah
sendirian maka ia akan mengajak teman-temannya untuk datang bermain kerumah.
Seperti itulah pengibaratannya. Sosok
wanita itu merupakan makhluk astral
penghuni asli rumah itu. Jika kita menghadap rumah Panjengenan, masuk di
ruang tamu di sebuah sofa panjang dimana dibelakangnya ada lukisan bunga besar,
disitulah tempat favorit makhluk astral tersebut. Justru yang membuat saya
penasaran adalah kamar di lantai dua yang katanya dilarang untuk dibuka. Nyuwun
sewu, Panjengenan ini menelepon dari mana? Apakah masih dirumah yang
Anda ceritakan ini?”
“Nggih
Mas, saya sekarang menelepon dari rumah yang saya ceritakan, tepatnya saya
berada di kamar saya dimana bersebelahan dengan kamar terlarang.”
“Panjengenan
sendirian?”
“Nggih
Mas, saya sendirian kebetulan Bapak Damang tukang kebun rumah ini tidur di
lantai satu.”
“Coba
Panjengenan ambil kunci kamar itu. Panjengenan nanti bisa telepon
kami lagi ketika sedang off air, ada sesuatu yang tidak pantas jika
dibicarakan secara on air.”
“Ohh,
nggih nggih nggih Mas Roy.”
Tiiittt
...
Sambungan
telepon terputus.
“Baiklah
kerabat Soraya, kita akan break terlebih dahulu. Sambil menunggu sms,
telepon atau mention dari kerabat Soraya yang ingin share cerita
mistisnya berikut akan kami putarkan sebuah lagu yang telah di request oleh
Raka dari Kendal.”
Lagu
slow rock tahun 90an mulai mengalun. Off air.
***
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam.” Balas Dimas di ujung telepon sana.
“Saya
Warno, sekarang saya sudah membawa kunci kamar terlarang dan berada di depan
pintu kamar tersebut. Sekarang apa yang mesti saya lakukan Mas?”
“Yang
pertama Panjengan mesti noto ati dulu, niatkan untuk menolong
jangan takut sesungguhnya dia tidak hendak menganggu. Tetap berdoa sebelum
melakukan sesuatu, sandarkan semua pada Allah.”
“Nggih
Mas, nggih.”
“Coba
panjenengan buka pintunya.”
Bismillahirrohmanirrohim.
Ku
ucap bacaan basmalah lirih dalam hati.
“Klik,”
Pintu
perlahan terkuak. Gelap. Aku meraba sisi kanan di dinding, mencari saklar
lampu. Seberkas cahaya menyinari kamar ini. Mataku mengerjap, menyesuaikan
cahaya yang masuk. Kulihat kondisi kamar ini masih sama seperti terakhir kali
aku ke sini. Sebuah ranjang yang menghadap kearah selatan, disisi kanannya ada
sebuah nakas kecil sedangkan di sisi kirinya berdiri sebuah almari baju,
menghadap kebarat terdapat sebuah meja belajar terlihat buku-buku diatasnya,
sementara itu tepat didepan pintu kamar sebuah jendela berdaun besar
menyuguhkan pemandangan ke arah pekarangan rumah dengan aneka pohon dan
bunganya.
“Coba
panjengenan berjalan ke arah jendela besar yang berada tepat di hadapan panjengenan
lalu sibak tirainya ke arah nakas disamping ranjang.”
Aku
menuruti apa yang diinstruksikan oleh Mas Roy.
“Apakah
anda merasakan sesuatu yang berbeda? Seperti perbedaan suhu dari anda di pintu,
di jendela hingga di dekat nakas?”
“Iya
Mas Roy, saya merasakan suhunya semakin hangat. Terutama ketika di dekat
nakas.”
***
“Apakah
njenengan mendengarnya Mas?” Andi bertanya pada Mas Roy.
“Ya,
suara wanita merintih kesakitan dan minta tolong.” Balas Mas Roy.
“Suaranya
terdengar lagi, dan semakin jelas.”Dimas menimpali.
Tolong..
tolong.. toloong.. tolonglah aku..
Benar
saja, dari ruangan siaran radio itu terdengar suara rintihan wanita juga suara
minta tolong. Suaranya begitu jelas. Terdengar begitu menyanyat dan pilu.
“Halo Mas Warno, kami di ruangan siaran ini
mendengar suara rintihan dan permintaan tolong dengan jelas. Apakah Anda disana
juga mendengarnya?” Tanya Andi.
***
Aku
mendengarnya. Aku mendengarnya semenjak aku masuk kamar ini. Semakin jelas,
semakin jelas terdengar ketika aku mendekati nakas. Suara itu seolah tepat
berada di samping telingaku, bahkan hingga gending telingaku. Suara itu
terdengar begitu menyedihkan. Seolah ia tersayat beribu luka yang tak kunjung
terobati. Luka yang begitu dalam dan menyakitkan.
“Nyuwun
sewu Mas, sebenarnya suara itu bersumber tepat disamping anda. Di sebelah
nakas, ia sedang memandang ke arah jendela.”
Deg,
bulu kudukku langsung merinding seketika. Ku pejamkan mata, berdoa pada yang
Maha Kuasa memohon perlindungan-Nya.
***
Ku
buka mataku. Aku masih berada di kamar ini, tapi ada yang berbeda. Dari sisi
jendela tempatku berdiri, aku melihat seorang ibu terlihat sedang bertengkar
dengan anaknya. Makian, teriakan keras, dan cacian terus Ibu itu lontarkan pada
anaknya. Hingga..
“Plaakk!”
Ibu
itu menampar anaknya dengan tamparan yang keras. Anak itu menangis sesenggukan.
Ibunya berusaha pergi meninggalkannya. Anak itu berusaha menahannya pergi, tapi
si Ibu menepisnya. Ia bahkan mendorong si anak hingga jatuh membentur sudut ranjang
yang tajam. Si ibu tidak peduli, ia pergi meninggalkan si anak.
Darah
segar mengalir dari sudut kepala si anak. Dengan darah dan sisa tenaga yang
tersisa, ia mencoba merangkah ke arah nakas. Ia ambil pena dan kertas. Ia
tuliskan sebaris kalimat disana.
Maafkan
Mei ibu. Mei sayang ibu.
Darah
segar terus mengalir membanjiri lantai keramik putih kamar tersebut. Aku
mengenal mereka berdua. Aku pernah melihat mereka berdua. Si ibu yang pergi itu
adalah Ibu pemilik rumah ini sebelumnya sedangkan si anak yang sedang terkapar,
aku mengenalinya sebagai sesosok wanita misterius yang sering menampakkan
dirinya di rumah ini.
***
“Halo,
halo, halo Mas Warno, apakah njenengan bisa mendengar saya? Halo Mas
Warno. ”
Suara
Mas Roy di ujung telepon menyadarkanku. Kembali ku dapati diriku masih di dalam
kamar ini, berdiri di dekat jendela besar.
“Iya
Mas, saya bisa mendengar suara Mas Roy.”
“Apakah
ada yang Anda dapatkan?”
“Iya
sedikit, saya seolah dibawa kepada kenangan terakhir dirinya disini dan mengapa
ia berada disini.”
“Apa
yang njenengan lihat?”
“Saya
melihat dia sedang bertengkar dengan ibunya. Dan terjadilah peristiwa itu,
sebuah kecelakaan yang akhirnya menewaskannya. Namun sebelum ia meninggal ia
sempat menulis. Maafkan Mei ibu. Mei sayang ibu.”
Angin
berdesir. Menebarkan dinginnya malam, hawa dingin yang merasuk hingga ke
sendi-sendi tulang. Lirih, ku dengar suara seorang wanita. Seperti berbisik ia
berucap padaku.
“Ambillah
diariku di meja belajar, sampaikanlah pesanku.”
Aku
menoleh ke asal suara, disampingku berdiri sesosok gadis bergaun putih berambut
panjang dengan mata sipit sedang menatapku. Ku arahkan pandanganku ke arah meja
belajar yang menghadap ke barat, benar aku menemukan sebuah buku disana. Sebuah
buku yang masih terbuka halamannya. Dan ketika aku menoleh kesamping, sosok
wanita itu sudah menghilang. Aku berjalan menuju meja belajar, mengambil diari
gadis itu.
Semarang, 05 April 2013
Ibu maafkanlah aku, aku sadar aku salah.
Sebetulnya kecelaan ini bukanlah hal yang aku ingini. Aku mencintai Mas Pram,
saking cintanya aku padanya, sehingga aku kalap, dan terjadilah kecelakaan itu.
Bayi ini tidak bersalah Bu, akulah yang salah. Akulah yang kalap. Aku sudah
meminta Mas Pram bertanggung jawab, aku minta ia menikahiku selepas aku UN
nanti. Tapi ia menolak, bahkan aku dianggap berdusta. Ia anggap bayi dari
kandunganku, bukanlah anaknya. Ia bahkan menuduhku selingkuh, tapi tidak Bu.
Aku tidak selingkuh. Aku hanya melakukan itu sekali, dengan Mas Pram. Dengan
Mas Pram yang aku cintai, yang kini justru pergi meninggalkanku. Aku
mencintainya, aku tak ingin Ibu menjebloskannya ke penjara. Aku sadar aku salah. Aku kalap. Aku khilaf.
Tapi Bu, aku ingin anak ini tetap hidup, aku tak ingin menggugurkannya. Aku ingin
membesarkannya, aku ingin melihat ia terlahir ke dunia. Aku ingin ia dapat
mendoakannku kelak. Aku ingin selalu didoakan oleh anakku.
Ibu maafkanlah aku. Maafkanlah aku yang tak
sependapat denganmu. Maafkan aku, jika kelak Ibu tak jua setuju denganku.
Biarlah aku yang pergi, biarlah aku yang menanggung derita ini sendiri. Biarlah
orang-orang hanya mengetahui Mei anakmu pergi dari rumah. Aku tak ingin para
tetangga menggunjingmu memliki anak yang hamil diluar nikah. Aku tak ingin.
Maafkanlah aku Ibu. Selamat tinggal. Semoga Ibu berbahagia.
***
“Halo,
halo Mas Warno. Njenengan bisa mendengar saya? Halo ..?”
Di
seberang sana Dimas memanggil-manggil namaku membuat aku sadar aku tengah
berbincang dengan Mas Roy.
“Iya
Mas, saya masih mendengar.”
“Apakah
frekuensi disana jelas?”
“Iya
Mas jelas, saya bisa mendengar dengan jelas kok.”
“Apakah
ada sesuatu terjadi disana?” Tanya Mas Roy.
Aku
terdiam lama. Dan sosok itu tiba-tiba muncul dihadapanku. Begitu dekat. Ia
meletakkan jari telunjukknya di depan bibir. Aku mengerti maksudnya.
“Tidak
Mas saya tidak menemukan sesuatu.”
“Okke
baiklah, sepertinya cukup sampai disini. Kami hanya bisa membantu seperti ini.”
“Iya
Mas terima kasih.”
“Iya
sama-sama.”
Tiiit
..
Telepon
terputus. Diluar sana lagu-lagu slowrock tahun 90an terus mengalun.
Sementara itu di studio tersisa tanya yang tak terjawab.
“Anda
merasa Mas Roy kalau Mas Warno menyembunyikan sesuatu dari kita?” tanya Dimas
penasaran.
“Ya
dan memang seperti itu. Dan sebaiknya memang seperti itu.” Ucap Mas Roy
menerawang jauh. Dimas dan Andi semakin di buat bingung oleh Mas Roy. Lagu
hampir habis saatnya on air. Perlahan line mic satu dan dua
dinaikkan. Dan ketika itu pula terdengar suara wanita mengucapkan terima kasih.
Mas Roy tersenyum mendengarnya.
“Sama-sama,
beristirahatlah dengan tenang.” Andi dan Dimas menoleh pada Mas Roy meminta
penjelasan, tapi Mas Roy hanya membalasnya dengan sebuah senyuman.
***
Noor
Salamah, seorang penulis pemula yang sedang berusaha agar dapat menghasilkan
karya-karya yang lebih baik dan bermanfaat. Lahir di Jepara, sekarang sedang
menempuh S1 Pendidikan Luar Sekolah di Universitas Negeri Semarang. Beralamat
di Jalan HM Syahid No. 11 Panggang Jepara kode pos 59411. Pembaca dapat
mengirimkan kritik dan saran melalui, Fb: salma van licht, twitter:
@salma_skylight, atau melalui e-mail : salamah_chan@yahoo.com.
0 komentar:
Posting Komentar