Sebagai seorang mahasiswa jurusan pendidikan luar sekolah, saya merasa prihatin dengan kondisi pendidikan saat ini. Terutama perhatian yang diberikan pemerintah terhadap pendidikan nonformal. Meskipun dalam UU No 20 tahun 2003 sudah dijelaskan bahwa Indonesia mengakui tiga jalur pendidikan. Yaitu pendidikan formal, nonformal dan informal. Namun kenyataanya perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah lebih condong pada pendidikan formal daripada dua jalur pendidikan lainnya. Banyak dari pegiat PNF mengeluhkan hal ini, meski begitu mereka tak menyerah untuk tetap mengabdikan dirinya. Saya berharap dengan pemberian perhatian yang sama dari pemerintah kepada ketiga jalur pendidikan tersebut akan mampu menyeimbangkan dan memajukan Indonesia. Indonesia dengan karakter Pancasila yang dimilikinya. Semoga pendidikan Indonesia lebih baik lagi.
Cerita ini aku persembahkan untuk warga belajar PNF. Tetap semangat dalam belajar.
Paket Alternatif menuju Cita-cita
Hari masih pagi ketika Umar bersama sepeda ontel tua milik
Bapaknya berjalan menyusuri jalan-jalan kecil menuju sekolah. Sebuah sekolah
yang berbeda dengan sekolah kebanyakan, sebuah sekolah yang banyak orang
memandang rendah derajatnya tak terkecuali murid yang belajar disana. Tapi Umar
tidak peduli. Umar mengabaikan omongan orang tentang sekolahnya. Bagi Umar,
sekolahnya sangat berharga. Ada pelajaran yang tentu tak akan ia dapatkan
ketika belajar di sekolah biasa. Lebih dari itu, sekolah seperti inilah yang
memang sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya.
Umar memasuki ruang kelas. Sepuluh menit lagi pelajaran akan dimulai.
Teman-teman Umar sudah banyak yang datang. Tak lama, Pak Mul datang dengan baju
dinas dan tas hitam kesayangannya serta sebuah map berwarna merah di tangan
kirinya.
“Assalamualaikum. Selamat pagi, anak-anak!”
“Waalaikum salam. Selamat pagi, Pak Guru!” Jawab anak-anak
kompak.
“Siapa Kalian?” Pak Mul membuka pelajaran pagi itu dengan teriakan
seperti yang biasa ia ucapkan setap harinya.
“Aku anak Indonesia!” Jawab anak-anak serempak dan bersemangat.
“Apa bahasa persatuan kalian?”
“Bahasa Indonesia dan Aku cinta Bahasa Indonesia.” Jawab anak-anak
lebih keras dan lebih bersemangat. Pak Mul tersenyum, sebuah pemanasan yang
bagus. Pikirnya.
“Ok. Anak-anak, pelajaran pagi ini adalah pembahasan
mengenani cerita-cerita yang telah kalian tulis minggu lalu. Mungkin ada di antara
kalian yang mengajukan diri untuk tampil ke depan menceritakan kembali
tulisannya?”
Anak-anak saling pandang, melirik teman mereka. Tidak ada yang
mengacungkan tangan. Sepi, semua saling lirik, saling bisik.
Pak Mul terus menunggu. Menanti hingga ada salah seorang diantara
muridnya bersedia mengacungkan jari. Penantiannya membuahkan hasil. Umar salah
seorang muridnya mengacungkan jari.
“Ya Umar silahkan maju. Ceritakan
kembali apa yang kamu tulis minggu lalu.” Umar beranjak dari tempat duduknya berdiri
di depan, tangan kirinya memegang teks yang ia tulis. Umar menarik napas dalam.
“Selamat pagi teman-teman. Namaku Umar, tapi bukan Umar Bakri
seperti di lagunya Iwan Fals. Teman-teman, aku di sini hanya ingin bercerita
tentang sekolah dan cita-citaku. Sekolah kita, banyak orang mencibir tentang
sekolah kita. Katanya sekolah kita sekolah murahan, tidak berkualitas. Katanya,
kita murid-murid di sini anak pinggiran, miskin, terbelakang, dan urakan. Kata
mereka juga guru-guru kita di sini tidak berkualitas, tidak punya dedikasi dan
tidak punya integritas. Mereka salah. Mereka keliru. Aku, kamu, dan semua murid
di sini boleh jadi memang miskin tak punya uang. Tapi kami tidak bodoh, tidak
juga terbelakang apalagi urakan.”
“Huu!” terdengar sorak dari teman-teman sekelas Umar.
Cerita terus mengalir dari sepasang bibirnya. Kertas di tangannya
ia abaikan. Ia telah leluasa menyampaikan semua gagasan dan idenya.
“Sebenarnya kami sama seperti anak yang lain selalu condong pada hal
baik. Kami di sini belajar, belajar pada guru-guru kami yang berkualitas, pada
guru-guru kami yang penuh dedikasi dan integritas. Di sekolah kami yang apa
adanya, murah, namun tetap berkualitas. Kami belajar. Kami belajar seperti yang
di ajarkan murid murid di sekolah biasa. Ada matematika, Bahasa Inggris, IPA,
IPS, Bahasa Indonesia, dan mata pelajaran umum lainnya. Lebih dari itu, kami
disini juga belajar pelajaran yang berbeda dari sekolah pada umumnya. Kami
belajar mengukir, menjahit, dan membatik. Sebuah keterampilan yang tidak
mungkin di dapatkan jika belajar di SMP biasa."
“Setuju! Mereka saja yang sombong, selalu anggap diri kita rendah
martabatnya. Padahal semua manusia di mata Allah sama. Juga di mata hukum,
setiap warga negara itu sama.” Yunus yang duduk di bangku belakang menimpali.
“Aku memilih sekolah di sini karena biayanya murah, jadi aku tak
begitu memberatkan orang tuaku, aku juga masih bisa membantu Bapak di sawah
selepas atau sebelum ke sekolah. Dengan biaya lebih murah daripada sekolah
biasa, aku justru bisa memperoleh keterampilan yang pasti akan bermanfaat
bagiku. Siapa tau jika aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Aku masih bisa
bekerja, aku punya keterampilan mengukir. Aku pasti bisa mandiri. Tapi tidak
teman, aku tak ingin putus sekolah. Apalagi berhenti belajar. Belajar itu
seumur hidup. Belajar itu dimana saja, kapan saja, dan dengan apa saja. Meski
begitu aku tetap ingin melanjutkan sekolahku. Aku ingin menjadi seorang guru.
Seorang guru yang mendedikasikan dirinya bagi masyarakat. Bukan seorang guru
yang hanya mengejar jabatan PNS, memperoleh gaji dan tunjangan pensiunan, serta
dikenal dan disegani orang. Aku ingin bermanfaat bagi orang banyak. Itulah
tujuanku. Itulah cita-citaku. Dan aku memulai meniti jalan cita-citaku di sini
di sekolahku, di kejar paket B.”
Riuh tepuk tangan terdengar dari penjuru kelas.
Umar, anak dari keluarga miskin yang memiliki tujuan mulia serta
tekad yang kuat. Belajar di sekolah yang banyak dicibir orang tidak lantas
menyurutkan semangat untuk mewujudkan cita-citanya.
“Itulah teman, sepenggal cerita tentang sekolah dan cita-citaku.
Terima kasih.”
Umar berjalan kembali ke bangkunya.
“Ada lagi yang ingin menceritakan tentang cita-citanya?” serentak
anak-anak itu mengacungkan tangan.
Pak Mul, guru Bahasa Indonesia di SKB Jepara itu tersenyum. Ia
bangga memiliki murid seperi Umar dan murid-muridnya yang lain. Ia bangga dapat
mengajar di sini sebuah sekolah yang memberikan ruang dan kesempatan bagi anak
kurang mampu untuk berprestasi dan untuk mewujudkan mimpinya.
***
0 komentar:
Posting Komentar