Read More

Slide 1 Title Here

Slide 1 Description Here
Read More

Slide 2 Title Here

Slide 2 Description Here
Read More

Slide 3 Title Here

Slide 3 Description Here
Read More

Slide 4 Title Here

Slide 4 Description Here
Read More

Slide 5 Title Here

Slide 5 Description Here

Kamis, 23 Oktober 2014

Wow Ternyata Saat Kia Tawaf Kita Sedang Memutari Pusat Bumi


Tawaf (طواف / thawaf) adalah suatu ritual mengelilingi Ka'bah (bangunan suci di Mekkah) sebanyak tujuh kali sebagai bagian pelaksanaan ibadah haji atau umrah. Tawaf merupakan rukun dan wajibnya haji.
Ternyata ada fakta unik di balik bangunan kubus ini
Saat jamaah haji/umrah sedang tawaf mereka tidak semata-mata mengelilingi kakbah namun juga mengeliligi pusat bumi.
Secara etimologis, Istilah Ka’bah (bahasa Al Quran) dari kata “ka’bu” yg berarti “mata kaki” atau tempat kaki berputar bergerak untuk melangkah. Ayat 5/6 dalam Al-quran menjelaskan istilah itu dengan “Ka’bain” yg berarti ‘dua mata kaki’ dan ayat 5/95-96 mengandung istilah ‘ka’bah’ yg artinya nyata “mata bumi” atau “sumbu bumi” atau kutub putaran utara bumi. 
Kita tentu tidak asing dengan seorang Astronot Amerika yang begitu terkenal karena ialah yang pertama kali mendaratkan kakinya di Bulan. Ya, Neil Amstrong. Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, dia berkata, “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ?.”
Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi.
Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus.

Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat. 
Prof. Hussain Kamel menemukan suatu fakta mengejutkan bahwa Makkah adalah pusat bumi. Pada mulanya ia meneliti suatu cara untuk menentukan arah kiblat di kota-kota besar di dunia.

Untuk tujuan ini, ia menarik garis-garis pada peta, dan sesudah itu ia mengamati dengan seksama posisi ketujuh benua terhadap Makkah dan jarak masing-masing. Ia memulai untuk menggambar garis-garis sejajar hanya untuk memudahkan proyeksi garis bujur dan garis lintang. 
Setelah dua tahun dari pekerjaan yang sulit dan berat itu, ia terbantu oleh program-program komputer untuk menentukan jarak-jarak yang benar dan variasi-variasi yang berbeda, serta banyak hal lainnya. Ia kagum dengan apa yang ditemukan, bahwa Makkah merupakan pusat bumi

Sudah sejak 1000 tahun terakhir, sejumlah matematikawan dan astronom Muslim seperti Biruni telah melakukan perhitungan yang tepat untuk menentukan arah kiblat dari berbagai tempat di dunia. Seluruhnya setuju bahwa setiap tahun ada dua hari dimana matahari berada tepat di atas Ka’bah, dan arah bayangan matahari dimanapun di dunia pasti mengarah ke Kiblat. Peristiwa tersebut terjadi setiap tanggal 28 Mei pukul 9.18 GMT (16.18 WIB) dan 16 Juli jam 9.27 GMT (16.27 WIB) untuk tahun biasa. Sedang kalau tahun kabisat, tanggal tersebut dimajukan satu hari, dengan jam yang sama.
Tentu saja pada waktu tersebut hanya separuh dari bumi yang mendapat sinar matahari. Selain itu terdapat 2 hari lain dimana matahari tepat di “balik” Ka’bah (antipoda), dimana bayangan matahari pada waktu tersebut juga mengarah ke Ka’bah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 28 November 21.09 GMT (4.09 WIB) dan 16 Januari jam 21.29 GMT (4.29 WIB).
Allah berfirman di dalam al-Qur’an al-Karim sebagai berikut:
‘Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya..’ (asy-Syura: 7)

Kata ‘Ummul Qura’ berarti induk bagi kota-kota lain, dan kota-kota di sekelilingnya menunjukkan Makkah adalah pusat bagi kota-kota lain, dan yang lain hanyalah berada di sekelilingnya. Lebih dari itu, kata ummu (ibu) mempunyai arti yang penting di dalam kultur Islam.

Sebagaimana seorang ibu adalah sumber dari keturunan, maka Makkah juga merupakan sumber dari semua negeri lain, sebagaimana dijelaskan pada awal kajian ini. Selain itu, kata ‘ibu’ memberi Makkah keunggulan di atas semua kota lain. 
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat menjadikan kita selalu ingat akan kebenaran dan kekuasaan Allah Swt J
Sumber :

Read More

Tahun Baru Islam Milik Semua


Wacana tanggal 1 Muharram menjadi Hari Santri Nasional mulai mencuat kepermukaan menjelang pemilihan presiden republik Indonesia tahun 2014. Saat itu calon presiden nomor urut dua, Bapak Joko Wododo (Jokowi) dalam kampanyenya menjanjikan bahwa tanggal satu Muharram akan ditetapkan menjadi hari Santri Nasional.

Menanggapi wacana ini, agaknya kita perlu mencermati sejak kapan isu ini ada, alasan, tujuan, dan dampak (manfaat-mudhorot)-nya.. Isu penetatapan hari santri nasional sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010. Namun isu ini kembali digagas oleh Gus Thoriq pengasuh PP. Babussalam Magelang ketika bertemu dengan Jokowi pada Jumat, 27 Juni 2014.  Alasannya tanggal 1 Muharram adalah momentum yang tepat untuk berkaca diri dalam mencari identititas sosial seseorang. Tahun baru pada kalender Islam itu, seyogjanya bisa menjadikan spirit dan membawa perubahan yang sangat besar dalam penyebaran Agama Islam. Bukan tahun baru Masehi sebenarnya yang perlu dirayakan besar-besaran. Namun, sebagai orang Islam, 1 Muharram adalah cerminan betapa hari-hari besar Islam saat ini masih banyak yang terlupakan begitu saja. Sedangkan kalangan yang tidak setuju seperti Guz Aiz (Pimpinan Pusat Pencak Silat Nadlatul Ulama) dan KH. Syukron Ma'mun beralasan penetapan hari santri pada tanggal 1 Muharram tidak berdasarkan pada sejarah pondok pesantren dan berpotensi menimbulkan pertikaian serta memecah belah umat Islam.
Tujuan yang dirumuskan Gus Toriq lebih mengedepankan refleksi santri sehingga tidak lupa pada jati dirinnya sebagi santri. Maka perlu dipikirkan kembali pemilihan penetapan hari santri nasional karena kurang tepat jika memilih tanggal 1 Muharram. Mengapa demikian? 1 Muharram adalah tahun baru Islam. Islam tidak saja milik kaum santri. Penetapan 1 Muharram sebagai hari santri nasional agaknya dapat menimbulkan perpecahan. Bagaimana dengan mereka yang beragama Islam tapi bukan santri? Apakah masih boleh merayakan tahun baru Islam di Indonesia. Karena dengan ketetapan seperti itu memunculkan sebuah persepsi bahwa Islam hanya milik kalangan santri. Padahal kan Islam Rahmatal Lilalamin. Jika memang sungguh perhatian pada kalangan santri dan berniat mengadakan penetapan hari santri nasional, lebih baik memilih waktu yang tidak berpotensi menimbulkan perpecahan umat dengan mempertimbangkan   sejarah berdirinya pondok pesantren di Indonesia.
Kita sebagai umat Islam, harus sadar betul bahwa kita hidup dalam lingkungan multikultural.  Jangan biarkan wacana ini memecah belah umat. Tetaplah hargai pendapat orang lain. Toh, seandainya pemerintah memang menaruh perhatian lebih besar kepada pondok pesantren ada hal yang lebih penting dari sekedar penetapan hari santri nasional yang lebih cenderung kepada formalitas dan seremonial belaka. Pondok  Pesantren merupakan lembaga pendidikan nonformal yang diakui dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Namun dalam beberapa hal terjadi dualisme kebijakan antara diknas dan depag. Hal ini perlu dibenahi. Output pesantren distandarisasikan dengan output pendidikan formal. Maka yang terjadi adalah pesantren menyesuaikan diri dengan menyamakan materinya dengan pendidikan formal atau lulusan pesantren harus mengikuti kejar paket. Dalam beberapa hal utamanya bagi pesantren salaf Kebijakan tersebut dapat mengurangi kekhasan dan jati diri pesantren  salaf itu sendiri. Ingat Pesantren adalah sistem nasional perguruan asli bangsa Indonesia (Ahmad Baso, disampaikan dalam diskusi di balai litbang kemenag Jakarta).


Read More

Kontribusi Ibadah Qurban Mengurangi Kesenjangan Sosial


Erang kesakitan sapi, kerbau dan kambing terdengar jelas hampir disetiap masjid di kota. Hewan-hewan Qurban yang telah disembelih itu lantas digantung untuk dikuliti, dipotong, dipilah, ditimbang dan dibungkus. Beratus-ratus daging berbungkus tas plastik hitam-putih bertumpuk di sudut lapangan masjid. Tiba-tiba seorang pengemis datang, ibu dengan bayi dalam gendongan datang meminta daging. Seorang ibu yang tengah membungkus daging tak cukup tega melihatnya lantas memberikannya sebungkus. Pengemis itu pergi. Tak lama datang tiga orang pengemis, lalu datang lagi lima, lalu datang lagi tujuh, hingga takmir masjid sibuk untuk menghalau datangnya para pengemis yang seolah tak pernah habis. Petugas yang jengkel itu akhirnya menutup akses menuju masjid untuk menghindari datangnya pengemis dadakan yang lebih banyak. Ada apa ini sebenarnya? Mengapa sampai demikian? Tiba-tiba saja ada begitu banyak pengemis dadakan? Benarkah tindakan petugas masjid itu untuk tidak memberikan daging bagi para pengemis?
Setiap tanggal 10 Dzulhijah, umat muslim dibelahan dunia manapun memperingatinya sebagai Hari Raya Idul Adha. Pada momen itu dilaksanakan pula suatu ibadah sesuai dengan perintah Allah dalam firman-Nya, “Sesunggguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yang banyak, maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkorbanlah….”. (QS. Al Kautsar [108]: 1-2).
Qurban yang sebenarnya adalah ibadah ghairu mahdhah, masih banyak dirasakan masyarakat muslim berorientasi kepada pahala semata. Sehingga melupakan dimensi ibadah yang berorientasi fungsional demi kemaslahatan kemanusiaan dan karakter ibadah (amal shalih), baik yang bersifat vertikal ataupun horizontal pada hakikatnya tidak semata berorientasi pahala. Akan tetapi lebih kepada sejauh mana ibadah itu memberikan konstribusi sosial-kemanusiaan.
Secara keuntungan ekonomis daging yang diberikan kepada sesama mungkin tidaklah berdampak besar. Berbeda dengan adanya zakat, infak, dan shodaqoh yang lebih berdampak pada aspek ekonomi. Labih dari itu dengan memberikan daging kepada yang berhak, timbul semacam perasaan emosional antara pemberi dan penerima. Penerima merasa bahwa keberadaanya masih dipedulikan oleh saudara sesama muslim yang kaya. Si miskin merasa tidak dihinakan, tidak dikucilkan namun si miskin merasa ia dengan ketidak mampuannya merupakan bagian tanggung jawab dari saudara muslim yang kaya. Secara serempak semua umat muslim merasakan makan enak, makan daging. Tak peduli kaya atau miskin. Bukankah itu adalah wujud dari pengurangan kesenjangan sosial? Hemm, betapa indahnya Islam dengan segala aturannya.
Momen Idul Adha juga tidak pernah lepas dari fenomena pengemis dadakan dan tindak kekerasan ketika pembagian daging. Tiba-tiba saja ada banyak sekali pengemis yang turun ke masjid, mushola bahkan rumah-rumah. Dari sebuah berita yang dilansir TRIBUNNEWS.COM, Pada 2012 misalnya, setelah tuntas ibadah Shalat Idul Adha di masjid Al-Akbar, sebanyak 40 pengemis dari Krian, Sidoarjo, berhasil mereka jaring dan bawa ke Liponsos. Berdasarkan data Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, dalam sehari, pengemis di Jakarta bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 750 ribu hingga Rp 1 juta. Namun, untuk yang tingkat kasihannya standar berpenghasilan Rp 450 ribu hingga Rp 500 ribu (merdeka.com). mengherankan bukan? Untuk itulah kita perlu lebih berhati-hati ketika beramal. Bukannya berprasangka buruk, tapi waspada dan berdoa semoga amal kita tepat sasaran J
Berbicara mengenai qurban, benak kita pun tak lepas dari sebuah peristiwa yang sering terjadi di bumi Indonesia. korban luka bahkan tewas saat pembagian daging qurban kepada warga. Korban meninggal bernama Sukiyo, seorang kakek berusia 74 tahun. Ia menghembuskan nafas terakhirnya saat hendak mengantre pembagian daging hewan kurban di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat (liputan6.com).
Lantas bagaimana cara untuk menghindari jatuhnya korban saat pembagian daging qurban?
Mungkin alternatif solusi ini bisa dicoba,
1.      Panitia terlebih dahulu menyiapkan ruangan yang cukup.
2.      Setelah Persiapan pembagian qurban dimulai, panitia membuka pintu masjid seperti biasanya dan menyilakan para penerima qurban untuk menempatkan diri ruang majlis yang telah disediakan. Setiap yang datang duluan akan mempati shof yang terdepan agar manjadi lebih tertib maka yang paling belakang akan diisi oleh orang yang datang terlambat.
3.      Setelah teratur terbentuk shof baru diadakan acara pemberitahun tehnik pembagiannya dan selanjutnya bisa diisi siraman rohani kemudian jika sudah siap dibagi cara pembagiannya, yakni dengan cara menyilakan peserta untuk diam duduk manis di tempat dan panitia akan membagi secara berkeliling menghampiri peserta penerima satu peratu secara berkeliling mulai dari shof terdepan .
4.      Untuk menjaga pemerataan jatah qurban setiap peserta yang yang telah menerima qurban langsung menuju pintu keluar dan dipersilakan celup jari dengan tinta seperti sistim pemilu. Namun jika tidak memungkinkan acara celup tinta ini tidak perlu dilakukan namun bisa diganti dengan menerapkan pembagian kupon terlebih dahulu setelah peserta duduk tertib dan peserta akan dipersilakan duduk tenang menukarkan kupon tadi dengan daging qurban. (dikutip dari http://sosbud.kompasiana.com ditulis oleh Mohamad Ab)
Nah dengan begini insyaallah, ibadah qurban akan lebih bermakna sebagai ibadah sosial, kan tepat sasaran dan diberikan dengan cara yang baik tanpa ada yang terluka. (Noor Salamah)
Sumber :
diakses pada Jumat, 19 September 2014 pukul 23.30
2.      http://www.merdeka.com/jakarta/8-modus-sindikat-pengemis-tipu-warga-jakarta.html, diakses pada Jumat, 19 September 2014 pukul 23.30
3.      http://news.liputan6.com/read/721416/daging-kurban-makan-korban, diakses pada Jumat, 19 September 2014 pukul 23.30



Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com