Wacana tanggal 1 Muharram menjadi Hari Santri Nasional mulai
mencuat kepermukaan menjelang pemilihan presiden republik Indonesia tahun 2014.
Saat itu calon presiden nomor urut dua, Bapak Joko Wododo (Jokowi) dalam
kampanyenya menjanjikan bahwa tanggal satu Muharram akan ditetapkan menjadi
hari Santri Nasional.
Menanggapi wacana ini, agaknya kita perlu mencermati sejak kapan
isu ini ada, alasan, tujuan, dan dampak (manfaat-mudhorot)-nya.. Isu penetatapan hari santri nasional sebenarnya sudah ada sejak tahun
2010. Namun isu ini kembali digagas oleh Gus Thoriq pengasuh PP. Babussalam
Magelang ketika bertemu dengan Jokowi pada Jumat, 27 Juni 2014. Alasannya tanggal 1 Muharram adalah momentum
yang tepat untuk berkaca diri dalam mencari identititas sosial seseorang. Tahun
baru pada kalender Islam itu, seyogjanya bisa menjadikan spirit dan membawa
perubahan yang sangat besar dalam penyebaran Agama Islam. Bukan tahun baru
Masehi sebenarnya yang perlu dirayakan besar-besaran. Namun, sebagai orang
Islam, 1 Muharram adalah cerminan betapa hari-hari besar Islam saat ini masih
banyak yang terlupakan begitu saja. Sedangkan kalangan yang tidak setuju
seperti Guz Aiz (Pimpinan Pusat Pencak Silat Nadlatul Ulama) dan KH. Syukron
Ma'mun beralasan penetapan hari santri pada tanggal 1 Muharram tidak
berdasarkan pada sejarah pondok pesantren dan berpotensi menimbulkan pertikaian
serta memecah belah umat Islam.
Tujuan yang dirumuskan Gus Toriq lebih mengedepankan refleksi
santri sehingga tidak lupa pada jati dirinnya sebagi santri. Maka perlu dipikirkan
kembali pemilihan penetapan hari santri nasional karena kurang tepat jika
memilih tanggal 1 Muharram. Mengapa demikian? 1 Muharram adalah tahun baru
Islam. Islam tidak saja milik kaum santri. Penetapan 1 Muharram sebagai hari
santri nasional agaknya dapat menimbulkan perpecahan. Bagaimana dengan mereka
yang beragama Islam tapi bukan santri? Apakah masih boleh merayakan tahun baru
Islam di Indonesia. Karena dengan ketetapan seperti itu memunculkan sebuah
persepsi bahwa Islam hanya milik kalangan santri. Padahal kan Islam Rahmatal
Lilalamin. Jika memang sungguh perhatian pada kalangan santri dan berniat
mengadakan penetapan hari santri nasional, lebih baik memilih waktu yang tidak
berpotensi menimbulkan perpecahan umat dengan mempertimbangkan sejarah
berdirinya pondok pesantren di Indonesia.
Kita sebagai umat Islam, harus sadar betul bahwa kita hidup dalam
lingkungan multikultural. Jangan biarkan
wacana ini memecah belah umat. Tetaplah hargai pendapat orang lain. Toh,
seandainya pemerintah memang menaruh perhatian lebih besar kepada pondok
pesantren ada hal yang lebih penting dari sekedar penetapan hari santri
nasional yang lebih cenderung kepada formalitas dan seremonial belaka. Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan nonformal
yang diakui dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Namun dalam beberapa hal
terjadi dualisme kebijakan antara diknas dan depag. Hal ini perlu dibenahi.
Output pesantren distandarisasikan dengan output pendidikan formal. Maka yang
terjadi adalah pesantren menyesuaikan diri dengan menyamakan materinya dengan
pendidikan formal atau lulusan pesantren harus mengikuti kejar paket. Dalam
beberapa hal utamanya bagi pesantren salaf Kebijakan tersebut dapat mengurangi
kekhasan dan jati diri pesantren salaf itu
sendiri. Ingat Pesantren adalah sistem nasional perguruan asli bangsa Indonesia
(Ahmad Baso, disampaikan dalam diskusi di balai litbang kemenag Jakarta).
0 komentar:
Posting Komentar