Kamis, 23 Oktober 2014

Tahun Baru Islam Milik Semua


Wacana tanggal 1 Muharram menjadi Hari Santri Nasional mulai mencuat kepermukaan menjelang pemilihan presiden republik Indonesia tahun 2014. Saat itu calon presiden nomor urut dua, Bapak Joko Wododo (Jokowi) dalam kampanyenya menjanjikan bahwa tanggal satu Muharram akan ditetapkan menjadi hari Santri Nasional.

Menanggapi wacana ini, agaknya kita perlu mencermati sejak kapan isu ini ada, alasan, tujuan, dan dampak (manfaat-mudhorot)-nya.. Isu penetatapan hari santri nasional sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010. Namun isu ini kembali digagas oleh Gus Thoriq pengasuh PP. Babussalam Magelang ketika bertemu dengan Jokowi pada Jumat, 27 Juni 2014.  Alasannya tanggal 1 Muharram adalah momentum yang tepat untuk berkaca diri dalam mencari identititas sosial seseorang. Tahun baru pada kalender Islam itu, seyogjanya bisa menjadikan spirit dan membawa perubahan yang sangat besar dalam penyebaran Agama Islam. Bukan tahun baru Masehi sebenarnya yang perlu dirayakan besar-besaran. Namun, sebagai orang Islam, 1 Muharram adalah cerminan betapa hari-hari besar Islam saat ini masih banyak yang terlupakan begitu saja. Sedangkan kalangan yang tidak setuju seperti Guz Aiz (Pimpinan Pusat Pencak Silat Nadlatul Ulama) dan KH. Syukron Ma'mun beralasan penetapan hari santri pada tanggal 1 Muharram tidak berdasarkan pada sejarah pondok pesantren dan berpotensi menimbulkan pertikaian serta memecah belah umat Islam.
Tujuan yang dirumuskan Gus Toriq lebih mengedepankan refleksi santri sehingga tidak lupa pada jati dirinnya sebagi santri. Maka perlu dipikirkan kembali pemilihan penetapan hari santri nasional karena kurang tepat jika memilih tanggal 1 Muharram. Mengapa demikian? 1 Muharram adalah tahun baru Islam. Islam tidak saja milik kaum santri. Penetapan 1 Muharram sebagai hari santri nasional agaknya dapat menimbulkan perpecahan. Bagaimana dengan mereka yang beragama Islam tapi bukan santri? Apakah masih boleh merayakan tahun baru Islam di Indonesia. Karena dengan ketetapan seperti itu memunculkan sebuah persepsi bahwa Islam hanya milik kalangan santri. Padahal kan Islam Rahmatal Lilalamin. Jika memang sungguh perhatian pada kalangan santri dan berniat mengadakan penetapan hari santri nasional, lebih baik memilih waktu yang tidak berpotensi menimbulkan perpecahan umat dengan mempertimbangkan   sejarah berdirinya pondok pesantren di Indonesia.
Kita sebagai umat Islam, harus sadar betul bahwa kita hidup dalam lingkungan multikultural.  Jangan biarkan wacana ini memecah belah umat. Tetaplah hargai pendapat orang lain. Toh, seandainya pemerintah memang menaruh perhatian lebih besar kepada pondok pesantren ada hal yang lebih penting dari sekedar penetapan hari santri nasional yang lebih cenderung kepada formalitas dan seremonial belaka. Pondok  Pesantren merupakan lembaga pendidikan nonformal yang diakui dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Namun dalam beberapa hal terjadi dualisme kebijakan antara diknas dan depag. Hal ini perlu dibenahi. Output pesantren distandarisasikan dengan output pendidikan formal. Maka yang terjadi adalah pesantren menyesuaikan diri dengan menyamakan materinya dengan pendidikan formal atau lulusan pesantren harus mengikuti kejar paket. Dalam beberapa hal utamanya bagi pesantren salaf Kebijakan tersebut dapat mengurangi kekhasan dan jati diri pesantren  salaf itu sendiri. Ingat Pesantren adalah sistem nasional perguruan asli bangsa Indonesia (Ahmad Baso, disampaikan dalam diskusi di balai litbang kemenag Jakarta).


0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com