Rabu, 12 November 2014

Meraih Asa dalam Fakir


Meraih Asa dalam Fakir

Oleh Mukhlisoh

Mentari senja telah kembali ke peraduan. Angin sepoi-sepoi mengelebat jilbab panjang hijau muda Aini. Kelelawar telah hidup, terbang bebas menikmati pekatnya malam. Sinar kecil berterbangan menghiasai malam penuh kabut dingin. Di sepertiga jalan seekor kucing menghambat kayuh semangatnya menggapai asa. Aini tarik pedal rem dengan sekuat tenaga agar kucing itu tak termakan ganasnya ban hitam sepeda tuanya.
Hidup dalam kekurangan, di lingkungan pedalaman, jauh dari kota metropolitan, fasilitas tradisional yang jadi jambalan sehari-hari membuatnya katro. Tapi baginya semua itu bukan penghalang yang berarti. Modal semangat mengayuh roda kehidupan agar senantiasa dalam posisi seimbang. Seimbang sebagai acuan agar senantiasa syukur pada posisi mana pun saat ini. Itu merawat hati agar senantiasa tenang. Meski IQ-nya tergolong rendah, ingatannya selambat sang siput, namun ia punya seonggok hobi yang membuatnya tetap berdiri. Dari hobi yang senantiasa ia istiqomahkan, ia kembangkan hingga menjadi potensi nan profesi yang menjanjikan, menuntun langkahnya menuju gerbang cahaya. Mengubah pesimis jadi optimis. Mengubah bahaya jadi kaya. Mengusung takut jadi salut. Mengangkat rasa jadi asa. Membumbung pinta jadi cita. Ia keMas modal itu dalam wadah tekad yang kuat. Meraih asa bersama imajinasi.
Buat apa kamu menulis semua ini. Buang-buang waktu saja. Apa yang akan  kau dapatkan, terpenuhi nafsumu? Kamu egois. Aini hanya mampu tertunduk mendapat hujaman pertanyaan yang begitu menyayat hati. Aini ingin menyela ucap Bapak, namun ia tak mampu. Tak sepantasnya anak membantah orang tua. Tapi untuk kali ini, pertanyaan Bapak terlalu merendahkan hobinya. Hobi yang diam-diam mampu membantu ekonomi keluarga. Bapak tidak mengerti. Uang lembaran dengan jumlah yang tak sedikit bagi keluarganya, adalah buah dari petikan hobinya. Aini hanya mampu menangis dalam diam. Aini tau Bapak ingin ia  menjadi wanita seperti teman sebayanya di desa. Berkubang dalam kepulan asap, mematangkan karbohidrat pembangkit tenaga, mengubah air mentah menjadi air minum yang sehat. Menjadi wanita yang nantinya hanya mengurus rumah tangga.
Aini mau menjadi yang bapak ingin, namun ia juga punya pilihan hidup yang ia kira bukan hal yang mendatangkan mudharat. Maaf Bapak, meski mulut Aini mengucap kata iya, tapi lakuku tak sejalan ucap yang telah terlontar. Mungkin Ai salah, tapi Aini yakin mampu mengubah hidup kita yang kelam. Ada Allah yang senantiasa menyaksikan usaha hamba-Nya. Aini menunduk setengah tersenyum. Berkata dalam hati penuh keyakinan. Aini melangkah mundur dalam jongkoknya. Meminta izin untuk melanjutkan pekerjaannya. MeMasak. Bapak hanya mengangguk dengan wajah kecewanya.
Gelapnya malam bersama lolongan anjing, dengkrikan jangkrik, dan suara angin yang sesekali terdengar karena hembusan kencangnya. Menyapu wajah Aini yang muram mengingat perkataan Bapak. Menggoyangkan bulu matanya yang lentik damar kanginan. Bibir tipisnya yang selalu menahan tangis kini mulai memerah akibat gigitan kepedihan. Aini duduk berpangku tangan merancang siasat agar mampu pergi ke kota lagi. Ia ingin kirimkan hasil karyanya ke majalah. Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB. Saatnya untuk memejamkan mata, meninggalkan pikiran yang mengisi kepala, memanjakan diri dalam buaian jarik ungu lusuh. Berharap fajar ini ia mampu mengubah pengertian Bapak akan hobinya.
Aini ..., suara yang muncul dalam gelapnya ruang membuat badannya menggigil. Siapa kamu? Suaranya tetap menyebut Aini seakan takpeduli akan pertanyaannya. Kini tubuh Aini leMas, melihat sosok inspirasinya yang telah tiada. Zain. Ia menghadap Rab saat menjadi penulis ternama. Menurut banyak orang kematiannya adalah petaka dari goresan tintanya yang ditujukan untuk  pejabat dalam nuansa cerita yang begitu mengena. Aku tau kenapa Mas Zain bersama penanya merangkai kisah itu. Mas Zain ingin perbuatan keji sang koruptor tak terulang kembali. Namun, oknum-oknum licik telah mengadu domba dengan seorang pejabat yang telah memakan harta rakyat. Aku tahu Mas Zain tak mungkin setega itu mengecam satu orang, menjatuhkan martabat, dan harga diri secara terang-terangan. Mas Zain hanya ingin menyuguhkan kisah banyak pejabat khilaf. Ia tak menyebut nama sang koruptor. Apa itu salah? Aku sungguh miris saat membaca surat terakhir Mas Zain. Ia ingin Aini menjadi penulis sepertinya yang berkarya bersama imajinasi, bertegur menasehati dengan kisah. Bukan menjatuhkan namun memberi pelajaran. Dari Mas Zain aku mulai hobi menulis, membaca perihal seluk beluk Indonesia. Aini ingin berpartisipasi untuk negeri dengan inspirasi hati dan ilmu yang digali. Seperti Mas Zain. Namun mimpinya terhalang kabut kecewa Bapak. Hawa dingin yang selalu dihembus kala kuucap kata “Bapak, Aini ingin jadi penulis. Aini terpukul mundur dengan terjangan penolakan Bapak atas cita-citanya. Aini ..., aku yakin kamu bisa. Buktikan pada Bapak, bahwa penulis adalah hal yang tak merugikan. Penulis adalah penjaga sejarah. Bukankah Bapak senang dengan orang-orang yang tak melupakan sejarah? Karena orang yang terarah adalah orang yang takpernah melupakan sejarah.
Mas Zain ..., bulir keringat mengalir deras menyusur pipi. Kerongkongan terasa kering dan kaku. Seluruh tubuh terasa linu. Sungguh terasa nyata perjumpaannya dengan Mas Zain. Aini turunkan kakinya menapak tanah dalam rumah. Mencari sepasang sandal alas kakinya. Melangkah menerjang kegelapan malam menuju kawah air suci. Menyucikan anggota badannya untuk berdialog dengan Allah.
***
Bapak tersenyum melihat Aini yang setia dengan peluh keringat membantu ibunya. Ibunya mengelus lembut jilbab yang membalut kepalanya. Semua terasa indah. Namun, gejolak jiwa masih terus membara. Kebimbangan untuk menggapai citanya semakin membuncah saat Mas Zain hadir dalam mimpinya. Ia baca basmallah mencoba meraih rida orang tuanya. Alhasil kekuatan basmallah meluluhkan hati.
Di bawah terik matahari, Aini menuntun sepeda tuanya menyusur jalan menuju kota. Di kotalah ia mampu merealisasikan mimpinya. Satu persatu karya ia kirimkan pada grup-grup kepenulisan. Takjarang yang taklolos hingga menghasilkan rupiah. Sering pula ia mendapat kecaman atas kritik yang ia olah dalam kisah-kisah. Namun semangatnya takgoyah. Dalam Masjid Jami’ ia berteduh. Merebahkan tubuh yang sehari penuh mengayuh sembari mengais inspirasi di bawah terik matahari. Binatang kecil yang terbang lalu hinggap hendak mencuri darah. Aini sadar meski ia hanya seekor hewan kecil, namun ciptaan Allah bukan hanya manusia. “Biarkan kita niatkan untuk berbagi. Aini berucap dalam hati.
Tak terasa matanya terpejam dalam keteduhan Masjid Jami’. Doa pengantar tidur membawanya dalam mimpi nan indah. Ia menemukan sebuah cahaya dalam gerbang sebuah gedung bercat silver dengan motif secarik kertas nan pena yang penuh cahaya. Hembusan angin sore yang begitu kencang membuatnya terjaga. Tanpa sengaja tangannya menyentuh secarik kertas undangan interview. Inilah makna mimpi barunya. (Mukhlisoh)


0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com