Meraih Asa dalam Fakir
Oleh Mukhlisoh
Oleh Mukhlisoh
Mentari senja telah kembali ke peraduan. Angin sepoi-sepoi
mengelebat jilbab panjang hijau muda Aini. Kelelawar telah hidup, terbang bebas
menikmati pekatnya malam. Sinar kecil berterbangan menghiasai malam penuh kabut
dingin. Di sepertiga jalan seekor kucing menghambat kayuh semangatnya
menggapai asa. Aini tarik pedal rem dengan sekuat tenaga agar kucing itu tak
termakan ganasnya ban hitam sepeda tuanya.
Hidup dalam kekurangan, di lingkungan pedalaman, jauh dari kota metropolitan,
fasilitas tradisional yang jadi jambalan sehari-hari membuatnya katro. Tapi baginya semua itu bukan penghalang
yang berarti. Modal semangat mengayuh roda kehidupan agar senantiasa dalam
posisi seimbang. Seimbang sebagai acuan agar senantiasa syukur pada posisi mana pun
saat ini. Itu merawat hati agar senantiasa tenang. Meski IQ-nya
tergolong rendah, ingatannya selambat sang siput, namun ia punya seonggok hobi
yang membuatnya tetap berdiri. Dari hobi yang senantiasa ia istiqomahkan,
ia kembangkan hingga menjadi potensi nan profesi yang menjanjikan, menuntun
langkahnya menuju gerbang cahaya. Mengubah pesimis jadi optimis. Mengubah
bahaya jadi kaya. Mengusung takut jadi salut. Mengangkat rasa jadi asa. Membumbung
pinta jadi cita. Ia keMas modal itu dalam wadah tekad yang kuat. Meraih asa
bersama imajinasi.
Buat apa kamu menulis semua ini. Buang-buang waktu saja. Apa yang
akan kau dapatkan, terpenuhi nafsumu? Kamu
egois. Aini hanya mampu tertunduk mendapat hujaman pertanyaan yang begitu
menyayat hati. Aini ingin menyela ucap Bapak, namun ia tak mampu. Tak
sepantasnya anak membantah orang tua. Tapi untuk kali ini, pertanyaan Bapak
terlalu merendahkan hobinya. Hobi yang diam-diam mampu membantu ekonomi
keluarga. Bapak tidak mengerti. Uang lembaran dengan jumlah yang tak sedikit
bagi keluarganya, adalah buah dari petikan hobinya. Aini hanya mampu menangis
dalam diam. Aini tau Bapak ingin ia menjadi wanita seperti teman sebayanya di
desa. Berkubang dalam kepulan asap, mematangkan karbohidrat pembangkit tenaga,
mengubah air mentah menjadi air minum yang sehat. Menjadi wanita yang nantinya
hanya mengurus rumah tangga.
Aini mau menjadi yang bapak ingin, namun ia juga punya pilihan hidup
yang ia kira bukan hal yang mendatangkan mudharat.
Maaf Bapak, meski mulut Aini mengucap kata iya, tapi lakuku tak sejalan ucap yang
telah terlontar. Mungkin Ai salah, tapi Aini yakin mampu mengubah hidup kita
yang kelam. Ada Allah yang senantiasa menyaksikan usaha hamba-Nya.
Aini menunduk setengah tersenyum. Berkata dalam hati penuh keyakinan. Aini
melangkah mundur dalam jongkoknya. Meminta izin
untuk melanjutkan pekerjaannya. MeMasak. Bapak hanya mengangguk dengan wajah
kecewanya.
Gelapnya malam bersama lolongan anjing, dengkrikan jangkrik, dan
suara angin yang sesekali terdengar karena hembusan kencangnya. Menyapu wajah
Aini yang muram mengingat perkataan Bapak. Menggoyangkan bulu matanya yang
lentik damar kanginan.
Bibir tipisnya yang selalu menahan tangis kini mulai memerah akibat gigitan
kepedihan. Aini duduk berpangku tangan merancang siasat agar mampu pergi ke
kota lagi. Ia ingin kirimkan hasil karyanya ke majalah. Jam menunjukkan pukul
23.00 WIB. Saatnya untuk memejamkan mata, meninggalkan pikiran yang mengisi
kepala, memanjakan diri dalam buaian jarik ungu lusuh. Berharap fajar ini ia
mampu mengubah pengertian Bapak akan hobinya.
Aini ..., suara yang muncul dalam gelapnya ruang membuat badannya menggigil.
Siapa kamu? Suaranya tetap menyebut Aini seakan takpeduli akan pertanyaannya.
Kini tubuh Aini leMas, melihat sosok inspirasinya yang telah tiada. Zain. Ia
menghadap Rab saat menjadi penulis ternama. Menurut banyak orang kematiannya
adalah petaka dari goresan tintanya yang ditujukan untuk pejabat dalam nuansa cerita yang begitu
mengena. Aku tau kenapa Mas Zain bersama penanya merangkai kisah itu. Mas Zain
ingin perbuatan keji sang koruptor tak terulang kembali. Namun, oknum-oknum
licik telah mengadu domba dengan seorang pejabat yang telah memakan harta
rakyat. Aku tahu Mas Zain tak mungkin setega itu mengecam satu orang, menjatuhkan
martabat, dan harga diri secara terang-terangan. Mas Zain hanya ingin
menyuguhkan kisah banyak pejabat khilaf. Ia tak menyebut nama sang koruptor.
Apa itu salah? Aku sungguh miris saat membaca surat terakhir Mas Zain. Ia ingin
Aini menjadi penulis sepertinya yang berkarya bersama imajinasi, bertegur
menasehati dengan kisah. Bukan menjatuhkan namun memberi pelajaran. Dari Mas
Zain aku mulai hobi menulis, membaca perihal seluk beluk Indonesia. Aini ingin
berpartisipasi untuk negeri dengan inspirasi hati dan ilmu yang digali. Seperti
Mas Zain. Namun mimpinya terhalang kabut kecewa Bapak. Hawa dingin yang selalu
dihembus kala kuucap kata “Bapak, Aini ingin jadi penulis.” Aini
terpukul mundur dengan terjangan penolakan Bapak
atas cita-citanya. Aini ..., aku yakin kamu bisa. Buktikan pada Bapak, bahwa penulis adalah hal
yang tak merugikan. Penulis adalah penjaga sejarah. Bukankah Bapak senang
dengan orang-orang yang tak melupakan sejarah? Karena orang yang terarah adalah
orang yang takpernah melupakan sejarah.
Mas Zain ..., bulir keringat mengalir deras menyusur pipi. Kerongkongan terasa
kering dan kaku. Seluruh tubuh terasa linu. Sungguh terasa nyata perjumpaannya
dengan Mas Zain. Aini turunkan kakinya menapak tanah dalam rumah. Mencari
sepasang sandal alas kakinya. Melangkah menerjang kegelapan malam menuju kawah
air suci. Menyucikan anggota badannya untuk berdialog dengan Allah.
***
Bapak tersenyum melihat Aini yang setia dengan peluh keringat
membantu ibunya. Ibunya mengelus lembut jilbab yang membalut kepalanya. Semua terasa
indah. Namun, gejolak jiwa masih terus
membara. Kebimbangan untuk menggapai citanya semakin membuncah saat Mas Zain
hadir dalam mimpinya. Ia baca basmallah
mencoba meraih rida orang tuanya. Alhasil kekuatan basmallah
meluluhkan hati.
Di bawah terik matahari, Aini menuntun sepeda tuanya menyusur jalan
menuju kota. Di kotalah ia mampu merealisasikan mimpinya. Satu persatu karya ia
kirimkan pada grup-grup kepenulisan. Takjarang yang taklolos hingga
menghasilkan rupiah. Sering pula ia mendapat kecaman atas kritik yang ia olah
dalam kisah-kisah. Namun semangatnya takgoyah. Dalam Masjid Jami’ ia berteduh.
Merebahkan tubuh yang sehari penuh mengayuh sembari mengais inspirasi di bawah
terik matahari. Binatang kecil yang terbang lalu hinggap hendak mencuri darah.
Aini sadar meski ia hanya seekor hewan kecil, namun ciptaan Allah bukan hanya
manusia. “Biarkan kita niatkan untuk berbagi.” Aini
berucap dalam hati.
Tak terasa matanya terpejam dalam keteduhan Masjid Jami’. Doa
pengantar tidur membawanya dalam mimpi nan indah. Ia menemukan sebuah cahaya
dalam gerbang sebuah gedung bercat silver dengan motif secarik kertas nan pena
yang penuh cahaya. Hembusan angin sore yang begitu kencang membuatnya terjaga. Tanpa
sengaja tangannya menyentuh secarik kertas undangan interview.
Inilah makna mimpi barunya. (Mukhlisoh)
0 komentar:
Posting Komentar