Kamis, 30 April 2015

Kartini Masih Tegak Berdiri

Kartini Masih Tegak Berdiri

Dari kecil hingga aku dewasa, ia masih saja tegak berdiri. Tangannya memegang obor sedangkan satu tangan lainnya memegang erat lengan seorang anak kecil. Aku tak tau pun aku tak kenal siapakah anak kecil yang mendapat kehormatan dipegang oleh sang penerang di kala gelap. Apakah aku iri kepada si anak kecil itu, tidak buat apa aku iri. Apakah aku cemburu, entahlah barang kali iya.
Hari ini genap sudah 136 sang penerang itu hadir dengan obor mimpi dan cita-citanya, sudah sangat tua namun ia masih tegak berdiri. Ia masih saja awet muda, dan anak kecil itu tak kunjung dewasa jua. Ia menjadi saksi perjalanan peradaban negeri ini. Apakah pencapaian peradaban bangsa ini sekarang sudah sesuai dengan yang dicita-citakannya dahulu, entahlah. Banyak demonstrasi menuntut diwujudkannya emansipasi wanita, katanya kesetaraan gender. Seperti inikah yang diharapkan sang penerang di kala gelap? Entahlah. Pertanyaan pertanyaan itu masih juga belum terjawab, begitu pula dengan sebuah pertanyaan besar dalam hidupku. Mengapa aku dilahirkan di dunia ini? Apa tujuan hidupku? Dan mengapa aku mesti memiliki nama yang sama dengan sang penerang?
            Namaku Kartini, tapi aku bukan ningrat yang menyandang gelar raden ayu. Apakah aku keturunan Kartini yang diidolakan semua  anak bangsa? Bukan. Aku hanya anak Jepara yang terlahir dari keluarga biasa. Tinggal di desa anak seorang petani biasa. Sekolahku tak tinggi, hanya mampu tamat SMK. Sudah setahun lebih aku bekerja di sebuah meubel di Jepara Kota, alhamdulillah keahlianku di bidang akutansi cukup mampu menolongku untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik daripada sekedar buruh amplas atauh buruh semprot.
            Setiap hari ketika pagi dan sore aku selalu melewati tugu Kartini yang masih berdiri tegak di lingkar jalan RA. Kartni, Jalan Pemuda, jalan KS. Tubun dan jalan HOS Cokroaminoto. Dalam perjalanan itu waktuku seringkali tersita dengan berbagai pertanyaan dalam hidup, terutama tentang maksud dari namaku.
            “Happy Kartini Day’s and Happy Birthday Kartini.”
            Teman satu kerjaku, Retha mencium pipi kiri dan kananku. Aku cukup glagapan dengan tingkahnya. Terakhir ia memasukkan sebuah kado besar dan berat ke dalam tasku sambil mengedipkan mata dan tersenyum centil.
            “Terima kasih Retha,” ucapku singkat, Retha kembali tersenyum.
            Mataku masih mengekor sosok patung Kartini yang semakin mengabur. Angkot ini rasanya berjalan terlalu cepat sehingga aku tidak bisa lama-lama menikmati perjumpaanku dengan sang penerang.
            “Kakak sudah pulang?”
            Adikku Sarah yang berumur empat belas tahun menyodorkan segelas air putih untukku. Aku menerimnya, meneguknya air di dalamnya tandas tak bersisa.
            “Adik mau kemana?”
            “Ngaji kak, sebuah kelas pengajian Al Qur’an baru saja di bukak di mushola depan rumah. Ustadznya cakep lho kak, hehehe... Sarah berangkat dulu ya Kak, assalamualaikum,” Sarah mencium punggung tanganku lantas pergi.
            Sebentar mengendorkan badan, aku lantas mandi dan mendirikan salat magrib. Membaca beberapa lembar Al Quran, dilanjut beberapa doa yang aku hapal. Tiba-tiba aku teringat kado pemberian Retha. Aku ambil tas kerja, membuka kado. Ternyata isinya sebuah buku biografi RA. Kartini. Di sana terselip sebuah tulisan tangan Retha yang rapi.
            Aku masih ingat kau pernah bercerita bahwa kau belum juga menemukan jawaban atas pertanyaanmu. Mengapa namamu Kartini? Sahabat aku tidak tau bagaimana cara pasti yang bisa membantumu menjawab pertanyaan itu. Buku ini hanyalah kado sederhana yang semoga bisa membantu menjawab pertanyaanmu. Kartini, jika kedua orang tuamu mengharapkan kau mampu mewujudkan cita-cita RA. Kartini, dan menjadi sosok Kartini masa kini, maka hendaknya kamu harus membaca biografi Kartini. Memahami pemikiran RA. Kartini, memahami apa yang benar-benar dicitakannya, dan memahami pergolakannya. Semangat Kartni J
            Rasa penasaran membuat Kartini segera membuka lembar demi lembar buku biografi itu. Malam semakin larut, ketika ia sudah mencapai cerita masa kanak-kanak kartini. Sebuah paragraf begitu melekat dihatinya.
            Tanda-tanda perjuangan emansipasi yang dilakukan Kartini, telah nampak sejak ia baru berumur enam setengah tahun. Kartini ingin sekolah. Inilah yang menimbulkan kebingungan keluarganya. Sebab pada masa itu, yang boleh sekolah hanya anak laki-laki  dan anak perempuan keturunan Belanda yang boleh sekolah. Sementara anak perempuan orang pribumi, dilarang.
            Membaca paragraf itu membuat aku berpikir tentang mimpi yang sempat aku kubur. Melanjutkan studi. Jika dimasa RA. Kartini, halangan untuk belajar terletak pada tradisi, lain halnya dengan diriku halangan itu ada pada biaya. Aku anak pertama, kedua orang tuaku sudah tiada, aku masih harus menanggung biaya kehidupan keluarga juga sekolah adik-adikku. Ada Sarah yang masih SMP dan ada Faruq yang masih SD. Melanjutkan studi, bisakah  mimpi itu terwujud? S1, S2, hingga S3? Bayang bayang diriku memakai kebaya yang indah bertutup jubah serta toga melayang-layang dalam khayalku. Hingga bayang-bayang itu menghantarkanku terlelap terbuai dengan mimpi indah.
            Disela-sela pekerjaanku aku menyempatkan untuk membaca biografi RA. Kartini. Hasratku untuk menuntaskan buku itu sungguh menggebu-gebu. Kali ini aku sampai pada surat-surat Kartini. Bergetar hatiku membaca surat-surat itu. Membayangkan betapa Kartini amat tersiksa dengan problematika bangsa. Kartini begitu memikirkan nasib kaum perempuan pribumi. Mereka kaum yang mendapatkan perlakuan tidak adil.
            Perempuan itu jadi soko guru peradaban.
            Kalimat itu begitu melekat di hatinya. Apa maksudnya kalimat itu?
            Sabtu itu, aku pula lebih cepat. Kesempatan ini kemudian aku gunakan untuk jalan-jalan sekedar menikmati suasana kota. Tanpa arah aku berjalan seturut langkah. Langkahku melambat ketika aku menyaksikan, di dalam sebuah balai dengan atap rumbia seorang wanita seumuranku sedangkan mengajar sekelompok anak usia dini. Anak-anak itu terlihat ceria dan bersemangat tak kalah dengan sang guru. Tiba-tiba segerombolan anak itu berpencar, aku masih berdiri mematung, menyaksikan setiap adegan yang diputar dihadapanku. Seorang gadis kecil berkuncir dua, matanya besar dan jernih mengingatkan aku pada Sarah di waktu kecil, menyodorkanku sebungkus permen. Dengan lidah cadelnya ia berkata.
            “Emen, ukak...”
            Aku membungkuk agar lebih dekat dengan gadis kecil itu, aku sobek bungkus permen lalu aku serahkan permen itu untuknya. Ia balik badan, tapi dihalangi oleh sang guru. Guru itu menuntun gadis kecil ke arahku.
            “Ayo bilang apa sama kakak? Makasih...”
            Gadis kecil itu menirukan ucapan sang guru.
“Makashih..”
“Pintar, salim dulu sama kakak,” guru itu mengarahkan tangan gadis kecil arahku, aku menerimanya. “Tiara gabung sama temen-temennya ya disana,” gadis kecil bernama Tiara itu menurut.
“Apakah Mbak calon guru baru disini? Kenalkan namaku Rukmini,” pertanyaan itu membuatku kaget.
“Namaku Kartini, tapi aku bukan calon guru baru Mbak. Aku kesini sekedar jalan-jalan aja, hehe...”
“Oh begitu, tak kira calon guru baru. Maklumlah disini kita kekurangan guru. Barangkali Mbak berminat? Datang aja kesini, minimal lulusan SMA sederajat, sabar, cinta sama anak-anak, itu udah cukup. Oh ya namaku Rukmini namamu Kartini barangkali kita kakak adik? Hehehe...”
“Bisa jadi Mbak, dikehidupan sebelumnya tapi. Atau kita adalah Rukmini dan Kartini masa kini?” balasku dengan canda.
“Wah bisa jadi itu mbak.”
            Mengobrol sebentar aku lantas ijin pamit. Aku terus berjalan tanpa terasa aku sudah berada di depan Tugu Kartini. Menyaksikan sosoknya yang masih tegak berdiri.
            Atau kita adalah Rukmini dan Kartini masa kini?
            Kartini itu adalah namaku, namun apakah aku telah mampu menjadi representasi dari RA. Kartini? Apa sebenarnya yang diharapkan Bapak dan Ibu ketika menamakanku Kartini?
            Perempuan itu jadi soko guru peradaban.
            Kalimat itu masih terngiang di telingaku. Semakin aku renungkan, yang muncul justru sebuah bayangan tawaran membantu mengajar ngaji anak-anak kampung di mushola depan rumah. Pekerjaan kantor, guru PAUD, guru ngaji? Manakah yang terbaik untukku? Jika aku menjadi guru  PAUD aku harus meninggalkan pekerjaan lamaku. Tapi jika kau menjadi guru ngaji aku tidak harus meninggalkan pekerjaan lamaku. Dunia dapat akhirat dapat. Ya, itu sepertinya keputusan yang bagus dan sesuai untukku. Meski kontribusiku kecil tak sebesar RA. Kartini, tapi aku ingin mengadikan diri untuk negeri ini demi menyongsong peradaban yang lebih baik. Aku, dan perempuan lain negara ini adalah soko guru peradaban, kami adalah guru utama bagi anak-anak kami bagi lingkungan kami. Anak-anak kami itulah yang kemudian akan berwarnai peradaban negeri ini. Di masa kini, berkat suara-suaramu wahai Ibu Kita Kartini, kami perempuan Indonesia telah mempu merasakan manisnya pendidikan setara dengan kaum pria. Tugas berikutnya adalah memanfaatkan fasilitas yang sudah kami terima untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini melalui peran kami sebagai soko guru peradaban. Betapa bahagianya, aku telah menemukan jawaban atas pertanyaan terbesarku. Terima kasih Ibu Kartini tanpamu apa jadinya aku.
***
Biodata Penulis
Noor Salamah, lahir di Kota Ukir Jepara. Putri pasangan Bapak M. Ma’ruf (Alm) dan Ibu S. Muzaronah yang berzodiak cancer ini sangat hobi menulis dan membaca. Ia bisa dihubungi melalui fb : salma van licht, twitter :@salma_skylight.


0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com