Selasa,
02 Agustus 2016
Beberapa
tahun setelah peristiwa di A3 yang melibatkan ketua jurusanku. Akhirnya pada 23
Juni 2016 tepat pada ulang tahunku yang ke 22, aku dinyatakan lulus dan
diwisuda pada tanggal 27 Juli 2016. Alhamdulillah, atas izin Allah aku mampu
lulus tepat waktu meski aku berstatus sebagai mahasiswa dan juga santri.
Jika
ada yang bertanya dapat apa kamu selama kuliah dan mondok? Akan aku jawab,
insyaallah dapat ilmu, pengalaman dan barokah. Lha mana buktinya? Lha ini aku
sedang dalam proses terus membuktikannya? Okke aku lulus kuliah dapat iajzah
dan transkrip. Lha kalau pondok? Kalau boleh lulus saja sebenarnya aku belum.
Hehe.. aku merasa aku masih belum bisa apa-apa. Terlalu susah menguasai
kitab-kitab. Lha wong membaca kitab bermkana pegon tulisanku sendiri aja masih
gratal-gratul. Apalagi diminta baca kitab kosong. Demikian dengan ngaji
Qur’anku. Aku masih belum bisa fasih pun istiqomah. Sempat kemarin ditawari
masku, aku disuruh ngulang ngaji privat anak-anak kecil. Aku enggan, bukan
enggan karena malas. Aku engggan karena aku tidak percaya diri. Aku masih bodoh
dalam banyak hal, terutama agama. Aku yang justru masih harus banyak belajar. Memang
sih kataku guruku, ilmu itu belum bisa dirasakan ketika masih belajar. Ilmu itu
milik Allah, justru dengan mengajar maka kita akan belajar. Tapi yang jadi
pertanyaanku disini adalah, jika aku privat ngaji atau ngelesi. Aku belum punya
pengalaman soal itu. Jika aku butuh teman bertanya, aku bertanya pada siapa?
Aku tak begitu dekat dengan orang disini yang sekiranya bisa aku tanyai. Daripada
privat akan lebih baik untukku di lembaga pendidikan agama saja. Maksudnya
jelas disana bakal ada teman diskusi dan berguru begitu, dan aku merasa tidak
sendiri. Sebenarnya soal ngulang ngaji itu pun adalah pesan dan wasiat Abah
(alm) yang disalurkan ke Guse, ketika aku pamit boyong.
Oke,
soal nanti aku bakal ngulang pikirkan besok-besok lagi saja.
Sekarang
aku mau berbagi kegalauanku setelah aku lulus kuliah. Yah masa transisi memang
selalu bikin galau. Sebagai lulusan PLS aku belajar banyak hal, yang justru
semakin membuatku sadar bahwa aku belum bisa banyak hal. Dalam perjalanan
belajar dan pengembaraanku, aku sadar bahwa keterampilan amat sangat penting.
Keterampilan adalah asset kesuksesan dan kebahagiaan. Kenapa aku bilang begitu?
Aku adalah lulusan PLS, secara teknis aku tak memiliki keterampilan selain
hal-hal teoritis. Aku tak mendapatkannya di kampus. bukan bidangku untuk jadi
guru PAUD, TK, SD, SMP, SMA-SMK. Karena memang aku bukan guru pendidikan
formal, aku aku tak memiliki kompetensi itu. Sejak dulu, kepala SKB Jepara
(tempat observasi), keluarga SKB Ungaran (tempat ppl) dan dosen, selalu
menekankan betapa pentingnya memiliki keterampilan. Bagaimana tidak, akan sulit
misalnya bagi sarjana PLS masuk dan bekerja di SKB apabila ia tidak memiliki
keterampilan. Ia mau mengajar apa? Ketika terjun ke masyarakat, butuh
pemberdayaan butuh pelatihan. Ilmu apa yang bisa kau berikan? Hal-hal seperti
itu mengusikku.
Memang
selaman ini hobiku menulis cita-citaku menjadi penulis. Tapi apakah ilmu
kepenulisan menarik bagi orang-orang desa yang justru kurang bisa membaca dan
menulis? Apakah menghasilkan uang? Sementara mereka mengoperasikan komputer
saja belum bisa? Apalagi sejauh ini aku sendiri belum cakap benar, terbukti
dari belum bisanya aku produktif (menghasilkan uang) dalam aktivitas menulisku.
Maka aku melirik keterampilan yang lain, tentu yang aku suka. Menjahid? Aku
sudah pernah kursus menjahid ketika SMP, tapi tidak tuntas. Saat itu aku tidak
tau kalau ada ujian tes kompetensi segala. Tidak ada yang memberitahuku pun
tidak ada yang membimbingku. Jadi aku tak bisa membuktikan kalau aku cakap
menjahid, pertama karena aku tidak memiliki sertifikat kedua karena aku sudah
jarang latihan menjadit baju. Tapi kalau untuk yang ringan-ringan bisalah.
Menjahid sarung, bikin celemek, bisalah. Meskipun enggak bagus amat. Keterampilan
multimedia yang aku dapat di SMK juga rasa-rasanya juga kurang cocok untuk
masyarakat yang masih buta teknologi, lagi pula modalnya terlalu besar. Aku
butuh keterampilan lain untuk memperkaya diriku. untuk menjadikan diriku
manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Pilihanku
jatuh pada keterampilan membatik. Batik, iya batik. Aku cinta batik. Aku suka
mengenakan batik. Batik adalah budaya khas indonesia. Perlu dilestarikan. Aku
suka menggambar (meski hasilnya masih jauh dari bagus). Aku suka mendesain. Aku
suka hal-hal yang menggunakan daya kreatifitas (karena logika matematiku lemah,
dan malas berhitung). Dan potensi itu ada di sekitar rumahku sendiri. Aku sadar
kalau ikut kursus biayanya mahal pun belum tentu aku bisa langsung mahir.
Karena dan untuk menjadi terampil perlu banyak sekali latihan. Akan lebih baik
bagiku belajar sambil bekerja. Tentu aku sadar dengan metode ini gajiku tentu
tidak seberapa. Tak apa, wong aku niatnya belajar. Berinvestasi untuk masa
depan. Gaji adalah nilai plus saja. Ibu mendukung keinginan ini. Tapi godaan
datang dari banyak sisi. Tawaran bekerja datang dari beberapa orang (meski
belum pasti adanya, yang bilang kan pihak kedua), tentu dengan gaji yang
keliatannya lebih besar. Aku kembali berpikir.
Akhirnya
kemarin sore aku menemui Mbak Ira, wanita muda pemiliki Batik Sekar Panggang
Jepara. Aku melamar bekerja. Awalnya Mbak Ira keget. S1 melamar bekerja sebagai
pembatik di tempatnya, hal pertama yang ia pikirkan tentu saja ketidak mampuan
menggaji standar S1. Dan itu diutarakannya padaku, tak masalah aku niatkan ini
untuk belajar, berinvestasi masa depan. Sebenarnya aku datang diwaktu yang
tepat, ketika salah satu pekerja Mbak Ira keluar karena hamil. Namun aku masih
menunggu kepastiannya. Kata Mbak Ira beberapa hari kedepan ia akan
menghubungiku. Semoga ini jalanku untuk meraih kesuksesan dunia akhirat.
Menjadi manusia yang berguna bagi sesama. Bismillah.
Setelah
ini, aku juga masih harus memikirkan caraku menambah penghasilan dan menabung
untuk mewujudkan mimpi menerbitkan buku. Yah, naskah sudah hampir jadi. Tinggal
diedit, diberi cover dan mengumpulkan uang. Tentu aku tak bisa meminta uang
pada Ibu. Terutama karena kondisi Ibu pun sedang sulit. Ahh, andai ada naskahku
yang lolos masuk koran. Nampaknya aku masih harus banyak belajar, latihan,
bersabar, dan berdoa.