Sabtu, 27 Agustus 2016

Galau, Justru Setelah Lulus Kuliah

Selasa, 02 Agustus 2016
Beberapa tahun setelah peristiwa di A3 yang melibatkan ketua jurusanku. Akhirnya pada 23 Juni 2016 tepat pada ulang tahunku yang ke 22, aku dinyatakan lulus dan diwisuda pada tanggal 27 Juli 2016. Alhamdulillah, atas izin Allah aku mampu lulus tepat waktu meski aku berstatus sebagai mahasiswa dan juga santri.
Jika ada yang bertanya dapat apa kamu selama kuliah dan mondok? Akan aku jawab, insyaallah dapat ilmu, pengalaman dan barokah. Lha mana buktinya? Lha ini aku sedang dalam proses terus membuktikannya? Okke aku lulus kuliah dapat iajzah dan transkrip. Lha kalau pondok? Kalau boleh lulus saja sebenarnya aku belum. Hehe.. aku merasa aku masih belum bisa apa-apa. Terlalu susah menguasai kitab-kitab. Lha wong membaca kitab bermkana pegon tulisanku sendiri aja masih gratal-gratul. Apalagi diminta baca kitab kosong. Demikian dengan ngaji Qur’anku. Aku masih belum bisa fasih pun istiqomah. Sempat kemarin ditawari masku, aku disuruh ngulang ngaji privat anak-anak kecil. Aku enggan, bukan enggan karena malas. Aku engggan karena aku tidak percaya diri. Aku masih bodoh dalam banyak hal, terutama agama. Aku yang justru masih harus banyak belajar. Memang sih kataku guruku, ilmu itu belum bisa dirasakan ketika masih belajar. Ilmu itu milik Allah, justru dengan mengajar maka kita akan belajar. Tapi yang jadi pertanyaanku disini adalah, jika aku privat ngaji atau ngelesi. Aku belum punya pengalaman soal itu. Jika aku butuh teman bertanya, aku bertanya pada siapa? Aku tak begitu dekat dengan orang disini yang sekiranya bisa aku tanyai. Daripada privat akan lebih baik untukku di lembaga pendidikan agama saja. Maksudnya jelas disana bakal ada teman diskusi dan berguru begitu, dan aku merasa tidak sendiri. Sebenarnya soal ngulang ngaji itu pun adalah pesan dan wasiat Abah (alm) yang disalurkan ke Guse, ketika aku pamit boyong.
Oke, soal nanti aku bakal ngulang pikirkan besok-besok lagi saja.
Sekarang aku mau berbagi kegalauanku setelah aku lulus kuliah. Yah masa transisi memang selalu bikin galau. Sebagai lulusan PLS aku belajar banyak hal, yang justru semakin membuatku sadar bahwa aku belum bisa banyak hal. Dalam perjalanan belajar dan pengembaraanku, aku sadar bahwa keterampilan amat sangat penting. Keterampilan adalah asset kesuksesan dan kebahagiaan. Kenapa aku bilang begitu? Aku adalah lulusan PLS, secara teknis aku tak memiliki keterampilan selain hal-hal teoritis. Aku tak mendapatkannya di kampus. bukan bidangku untuk jadi guru PAUD, TK, SD, SMP, SMA-SMK. Karena memang aku bukan guru pendidikan formal, aku aku tak memiliki kompetensi itu. Sejak dulu, kepala SKB Jepara (tempat observasi), keluarga SKB Ungaran (tempat ppl) dan dosen, selalu menekankan betapa pentingnya memiliki keterampilan. Bagaimana tidak, akan sulit misalnya bagi sarjana PLS masuk dan bekerja di SKB apabila ia tidak memiliki keterampilan. Ia mau mengajar apa? Ketika terjun ke masyarakat, butuh pemberdayaan butuh pelatihan. Ilmu apa yang bisa kau berikan? Hal-hal seperti itu mengusikku.
Memang selaman ini hobiku menulis cita-citaku menjadi penulis. Tapi apakah ilmu kepenulisan menarik bagi orang-orang desa yang justru kurang bisa membaca dan menulis? Apakah menghasilkan uang? Sementara mereka mengoperasikan komputer saja belum bisa? Apalagi sejauh ini aku sendiri belum cakap benar, terbukti dari belum bisanya aku produktif (menghasilkan uang) dalam aktivitas menulisku. Maka aku melirik keterampilan yang lain, tentu yang aku suka. Menjahid? Aku sudah pernah kursus menjahid ketika SMP, tapi tidak tuntas. Saat itu aku tidak tau kalau ada ujian tes kompetensi segala. Tidak ada yang memberitahuku pun tidak ada yang membimbingku. Jadi aku tak bisa membuktikan kalau aku cakap menjahid, pertama karena aku tidak memiliki sertifikat kedua karena aku sudah jarang latihan menjadit baju. Tapi kalau untuk yang ringan-ringan bisalah. Menjahid sarung, bikin celemek, bisalah. Meskipun enggak bagus amat. Keterampilan multimedia yang aku dapat di SMK juga rasa-rasanya juga kurang cocok untuk masyarakat yang masih buta teknologi, lagi pula modalnya terlalu besar. Aku butuh keterampilan lain untuk memperkaya diriku. untuk menjadikan diriku manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Pilihanku jatuh pada keterampilan membatik. Batik, iya batik. Aku cinta batik. Aku suka mengenakan batik. Batik adalah budaya khas indonesia. Perlu dilestarikan. Aku suka menggambar (meski hasilnya masih jauh dari bagus). Aku suka mendesain. Aku suka hal-hal yang menggunakan daya kreatifitas (karena logika matematiku lemah, dan malas berhitung). Dan potensi itu ada di sekitar rumahku sendiri. Aku sadar kalau ikut kursus biayanya mahal pun belum tentu aku bisa langsung mahir. Karena dan untuk menjadi terampil perlu banyak sekali latihan. Akan lebih baik bagiku belajar sambil bekerja. Tentu aku sadar dengan metode ini gajiku tentu tidak seberapa. Tak apa, wong aku niatnya belajar. Berinvestasi untuk masa depan. Gaji adalah nilai plus saja. Ibu mendukung keinginan ini. Tapi godaan datang dari banyak sisi. Tawaran bekerja datang dari beberapa orang (meski belum pasti adanya, yang bilang kan pihak kedua), tentu dengan gaji yang keliatannya lebih besar. Aku kembali berpikir.
Akhirnya kemarin sore aku menemui Mbak Ira, wanita muda pemiliki Batik Sekar Panggang Jepara. Aku melamar bekerja. Awalnya Mbak Ira keget. S1 melamar bekerja sebagai pembatik di tempatnya, hal pertama yang ia pikirkan tentu saja ketidak mampuan menggaji standar S1. Dan itu diutarakannya padaku, tak masalah aku niatkan ini untuk belajar, berinvestasi masa depan. Sebenarnya aku datang diwaktu yang tepat, ketika salah satu pekerja Mbak Ira keluar karena hamil. Namun aku masih menunggu kepastiannya. Kata Mbak Ira beberapa hari kedepan ia akan menghubungiku. Semoga ini jalanku untuk meraih kesuksesan dunia akhirat. Menjadi manusia yang berguna bagi sesama. Bismillah.

Setelah ini, aku juga masih harus memikirkan caraku menambah penghasilan dan menabung untuk mewujudkan mimpi menerbitkan buku. Yah, naskah sudah hampir jadi. Tinggal diedit, diberi cover dan mengumpulkan uang. Tentu aku tak bisa meminta uang pada Ibu. Terutama karena kondisi Ibu pun sedang sulit. Ahh, andai ada naskahku yang lolos masuk koran. Nampaknya aku masih harus banyak belajar, latihan, bersabar, dan berdoa. 

0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com