Senin, 25 November 2013

Ombrophobia

Saya menyukai hujan, terlebih gerimis. Maka ketika saya mendapatkan informasi bahwa ada lomba cerpen bertema hujan. Saya tertarik untuk mencoba. Namun sayangnya, partisipasi saya mengirimkan cerpen ini tidak membuahkan hasil. Saya tak berhasil masuk nominasi. Cerpen itu pun akhirnya kembali tersimpan rapi di lapyku tercinta. 
Kesemapatan lain datang dari Ikatan Santri Aswaja Jepara (Iswara), yang menagdakan lomba cipta cerpen puisi satu tema dengan hadiah juara pertama Rp.100.00,00. Cukuplah bagi saya yang sedang mencari pengalaman serta mengukur kemampuan diri. Namun permasalahan lain datang, saya belum menciptakan puisinya. Malam itu dengan meminjam lapy teman karena lapyku sendiri rusak, saya ngebut membuat puisi. 


Ombrophobia 

Minggu pertama di bulan Oktober.
Sebuah sedan melaju pelan di tengah kota yang tak begitu ramai. Aku menyandarkan kepalaku pada pundak mama. Mama mengelus-elus kepalaku sayang. Pak Ben menghentikan sedan kami di depan sebuah rumah bercat coklat bata dengan pagar besi setinggi 1,5 meter yang tertutup. Di muka gerbang itu terpampang sebuah nama Drs. Zyen Achmed, S. Psi. Pak Ben turun dari mobil dan bercakap-cakap sebentar dengan Pak satpam yang sedang berjaga. Selang beberapa waktu kemudian Pak Ben kembali masuk ke mobil dan melajukan mobil memasuki rumah. Aku turun dari mobil mengikuti Mama dan Papa. Seorang pria paruh baya duduk di kursi tamu sedang membaca Koran. Menyadari kami datang, pria tersebut berdiri dan menyambut kami. 
“Selamat datang Tuan Han dan Nyonya Han.” Pria itu mencium pipi kanan kiri Papa dan Mama. “Silahkan duduk, silahkan dinikmati teh hijau hangatnya.” Pria itu menuangkan teh ke cangkir kami yang sudah tersedia di atas meja. 
“Terima kasih Pak Zyen.” Ucap Papa sopan. Aku menggenggam tangan Mama erat. Aku mengamati pemandangan dibalik jendela ruangan ini. Aku tidak suka ini. Aku tidak suka kondisi semacam ini. “Kamu tentu sudah tau saat ini sudah masuk bulan Oktober dan musim penghujan sudah tiba. Menjelang masuk bulan Oktober ini aku semakin cemas dengan kondisi Bunga.” Aku menghindar dari tatapan Papa yang penuh kekhawatiran terhadapku. Aku lebih memilih memainkan sendok di cangkir teh. Mengaduknya-aduknya sehingga terdengar bunyi yang cukup keras hingga tak terdengar olehku pembicaraan di antara keduanya karena memang aku tak ingin mendengarnya. Pembicaraan mereka berhenti. Mama mengajakku masuk ke sebuah ruangan sempit berdinding putih. Hanya ada aku dan Pak Zyen. Pak Zyen mulai menanyaiku beberapa pertanyaan.
“Bunga, apa kabarmu sore ini?”
“Buruk! sangat buruk!” Aku memandang keluar jendela memperhatikan segumpalan besar awan gelap. Aku mainkan jari-jariku. Jantungku berdegup kencang, aku merasa ketakutan.
“Kenapa kamu merasa keadaanmu buruk di sore hari ini? Bolehkah Pak Zyen tau?” 
“Karena segumpalan awan gelap itu datang sore ini.” Aku menuding awan gelap yang nampak dari kaca jendela. “Aku tidak suka!” Bentakku keras. “Aku benci hujan!” Aku semakin melengkingkan suara. 
“Bunga benci hujan kenapa?”
Aku diam tak menjawab. Pak Zyen masih menunggu jawabanku. Tapi aku tetap bungkam.
“Gluduk gluduk gluduk ctar ctar ..”
Terdengar suara guntur dan petir beriringan. Aku takut. Aku menjerit keras sangat keras. Aku berlari kesana kemari tak tentu arah. Aku tutupi kepalaku dengan kedua tanganku. Terus berlari berputar-putar dan menjerit-jerit. Pak Zyen menarikku dan memintaku untuk berhenti tapi aku tak mampu berhenti. Akhirnya aku berlindung dibawah meja, tubuhku menggigil, aku telungkupkan tubuhku melindungi diri dari bahaya yang mungkin akan terjadi.
¤¤¤
Aku, Mely, Nurma, Haikal dan Samuel mengitari sebuah meja ukuran sedang di laboratorium. Kami mengenakan baju lab lengkap dengan sarung tangan dan maskernya. Di tengah meja sebuah box plastik transparan berisi katak hidup menatap dengan curiga. Di sisi kanan box terdapat sebuah nampan berisi lilin yang sudah dibekukan sedang di sisi kirinya terbentang serbet putih berisi pisau, gunting, pinset, jarum pentul dan suntik berisi Chloroform  . Aku mengambil suntik, Mely mengambil pisau, Nurma mengambil pinset, Samuel mengambil jarum pentul. Haikal membuka box mengeluarkan katak di dalamnya melentangkannya di udara, katak itu melakukan perlawanan tapi cengkraman tangan Haikal yang besar berotot bukan tandingannya. Aku mendekati Haikal menyorongkan jarum suntik ke daerah pantat katak berwarna hijau itu. Jarum suntik sudah sangat dekat kurang beberapa milimeter lagi cairan Chloroform akan mengalir keseluruh tubuh si katak membuat ia tidak sadarkan diri. Tiba-tiba terdengar suara petir yang keras tepat di atasku. 
“Kyaaaaaaaaaaaaa..”
Aku menjerit keras, melepaskan jarum suntik yang aku pegang. Haikal terkejut oleh teriakanku. Ia gamang. Otot-ototnya yang bekerja memegang katak mengendur. Katak itu memanfaatkan keadaan, ia meronta melompat melepaskan diri dari cengkraman Haikal. Katak itu meloncat kesana-kemari mencari jalan keluar dari laboratorium. Sementara aku, aku menggigil di bawah meja. Keringat dingin membasahi tubuhku. Bayang-bayang mulai bekerja menjalari pikiranku. Bibirku bergetar. 
“Bunga? Kamu baik-baik saja?”
Aku tak kuasa menjawab pertanyaan Haikal. Nyatanya aku sedang tidak baik-baik saja saat ini. Ilusi kejadian hampir setahun yang lalu menyeretku menepikan aku dari kenyataan. Pikiranku berperang. 
“Kal, ambilkan tasku cepat, toloong!”
Sebuah tas selempang berwarna hijau toska bermerk Export bergerak dihadapanku. Cepat aku membuka tas itu, menggeledah isinya. Aku menemukannya, sebuah botol kecil berisi kapsul obat. Aku membuka penutupnya. Mengambil satu kapsul dan menelannya. Perlahan-lahan bayangan itu menjadi kabur dan hilang. Dengan sangat jelas aku dapat mendengar suara Haikal menyeru namaku.
“Bunga Bunga Bunga.”
Mataku membuka, sepasang tangan berwarna sawo matang dengan otot besar melambai di hadapanku. Kepalaku masih terasa sedikit pening. Diriku sudah mulai terkontrol seperti sedia kala. Aku tersenyum pada Haikal.
“Aku tidak apa-apa. Aku hanya terkejut tadi. Ngomong-ngomong di mana katak itu sekarang?” aku celingak-celinguk mencari ke mana katak itu pergi. Ah, itu dia aku melihatnya. Mely, Nurma dan Samuel masih berusaha menangkapnya. Katak itu, dengan pongah seolah menantang. “Tangkap aku kalau bisa dengan lidah terjulur menghina”. Katak itu meloncat kesana kemari dan Mely, Nurma serta Samuel berusaha menangkapnya. Begitu pikirku. Aku kembali menghadap Haikal. Aku lihat dia sedang memegang sebuah botol kecil. Aku tak asing dengan botol itu. Sedetik kemudian aku baru tersadar itu adalah botol obatku. Aku segera mengambil botol itu dari tangan Haikal. Semoga ia tidak sempat membaca tulisan “Obat Penenang” di obat itu. Doaku. 
“Itu pil apa?”
“Tidak, bukan pil apa-apa. Ini hanya obat penambah vitamin. Kau taukan musim seperti ini. Mudah sekali penyakit masuk.” Aku tersenyum, aku masukkan botol itu kembali ke dalam tas. Aku tak ingin berlama-lama dalam situasi seperti ini. Aku bangkit. 
“Aww!” Aku mengaduh, aku lupa bahwa aku berada di bawah meja. Tentu saja jika aku langsung berdiri pastilah aku terbentur. Bodohnya aku.
“Hahaha, makanya neng hati-hati. Sudah tau di bawah meja malah langsung berdiri. Ckckck.. sakit kan jadinya.” Diseberang sana Haikal menertawakanku. 
“Euhh, malah diketawain bukannya dibantuin. Dasar nyebelin”. Dengan bersungut-sungkut aku menggerutu, lalu berjalan jongkok ke arahnya. Sudah didekatnya, aku timpuk dia dengan tas. 
“Adduh sakit ..”
“Rasain loe!”
Saat ini hujan sudah reda, rintik suaranya sudah tidak terdengar, guntur dan petir ikut bungkam. Aku bisa lebih tenang selagi aku harus menyelesaikan pekerjaan membedah katak untuk memenuhi tugas dari Pak Jun yaitu meneliti organ-organ apa sajakah yang ada pada diri katak disertai dengan foto.
¤¤¤
Udara malam dari dulu hingga kini tak pernah berubah tetap saja sama, dingin. Namun dinginnya udara malam tak pernah sekalipun menyurutkan semangat penjual di daerah sekitar SCJ (Shopping Centre Jepara). Seperti namanya SCJ adalah pusat belanja di Jepara. Lokasinya berdekatan dengan Alun-alun Jepara dan Pasar Ratu Jepara. Setiap harinya daerah itu selalu ramai, mudah ditemukan makanan di daerah sini, dari yang khas Jepara seperti Adon-Adon Coro dan Es Gempol Pleret sampai yang khas luar kota seperti Kerak Telur, masakan Lamongan, Soto Kudus, Kue Bandung dll. Boleh jadi disini adalah pusat referensinya orang Jepara soal isi perut. 
“Pak, Adon-Adon Coronya dua.”
“Bungkus?”
“Tidak, minum disini saja.”
Aku mengambil sebuah bakwan dan mengunyahnya sambil memperhatikan Bapak penjual Adon-adon Coro itu menyiapkan dagangannya untuk kami. Bapak itu mengambil dua buah cangkir kecil, kemudian Bapak itu mengambil potongan-potongan dadu kelapa muda dari sebuah wadah di rak atas. Menaruhnya di cangkir. Tangan Bapak itu beralih pada botol kaca ukuran sedang. Mengambil sesendok kecil butiran berwarna coklat, jahe serbuk. Tangan itu kembali bergerak menuju lubang besar, didalamnya ada dandang berisi adonan gula merah yang dihangatkan. Campuran yang terakhir adalah santan. 
“Kamu mau makan apa?”
Sammy lelaki berumur 19 tahun, tiga tahun di atasku dengan rambut hitam model Park Jee Sung. Tingginya 171cm dengan berat badan 54 Kg. Matanya sedikit sipit dengan sedikit kerutan pada matanya. Alisnya tebal melengkung. Sorot matanya meneduhkan. Bibirnya tipis dengan rona merah. Kulitnya coklat bersih. 
“Emm, apa ya enaknya?” Pandanganku kuarahkan berkeliling. Ada banyak makanan disini. Diantaranya, Siomay, Bakso, Mie Ayam, Nasi Goreng, Ayam Bakar, dan Ayam Goreng. Tapi justru karena banyaknya pilihan itulah aku jadi bingung. “Kalau kamu pengennya makan apa?”
“Kalau aku.. Bakso saja deh.”
“Kalau gitu aku juga bakso.”
Kepulan asap hangat dari cangkir berisi adon-adon coro di hadapanku menggugah selera. Disaat udara dingin semacam ini memang paling enak minum yang hangat-hangat. Sementara Sammy memesankan bakso untuk kami, aku menikmati teguk demi teguk adon-adon coro. 
Sammy pacarku, orangnya ganteng, tubuh berisi, otak encer, baik hati, dan tau sopan santun. Dia adalah aktifis OSIS dan Pramuka sewaktu masih SMK. Dia kakak kelasku, tapi sekarang dia sudah lulus.  Sammy kini kuliah di Universitas Negeri Semarang jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, semester tiga. Aku sendiri tak habis pikir kenapa dia mau denganku, padahal fans dia banyak. Aku sendiri saat itu termasuk diantara fansnya, tapi aku tak sampai mengkhayalkan bisa menjadi pacarnya karena itu mustahil bagiku. Tubuhku sangat tidak bisa dibilang berisi apalagi sampai seksi. Warna kulitku? Tidak putih. Otakku ? emm, biasa-biasa saja. Aku tidak pernah menduduki juara satu pararel, paling mentok ya peringkat 3 dikelas. Soal kaya? Ayahku hanyalah pengusaha mebel seperti umumnya orang Jepara. Ibuku? Hanyalah seorang pegawai negeri kabupaten bidang administrasi dengan gaji standar. Jadi apa pula yang bisa dibanggakan? Harta ayah ibu? Toh harta mereka, bukan hartaku. Jadi aku tak perlu bangga. Suatu ketika aku pernah bertanya pada Sammy, kenapa kamu memilihku jadi pacarmu? Emang apa yang kamu suka dari diriku? Dengan enteng Sammy cuma menjawab. Karena aku suka senyummu. Senyumku? Memang ada apa dengan senyumku? Batinku bertanya.
“Mangkok berisi bakso cinta siap untuk disantap Bungaku pemilik senyum paling indah.”
“Terima kasih” aku melemparkan senyum untuknya sambil menyeret mangkok berisi bakso lebih dekat ke arahku. Sudah keburu lapar.
“Ahh, lagi. Kamu membiusku dengan senyummu. Rasanya aku tidak perlu makan bakso ini, karena laparku sudah terobati dengan senyummu.”
Sammy memang pandai menggombal, merajuk dan merayu. Sebenarnya aku sudah menangkap apa yang ia mau. Sederhana saja, Sammy cuma ingin disuapi olehku. Dasar. 
“Bunga gak mau kakak kelaparan di rumah nanti karena senyum Bunga tidak lagi kakak lihat. Makanya kakak harus makan. Disamping kakak juga makan multivitaminku.” Aku tersenyum padanya, ku arahkan sendok berisi potongan bakso ke arah mulutnya yang sudah menganga lebar. 
Ditemani rintik hujan, kebersamaan kami terasa menjadi lebih lengkap.
“Bunga?”
“Ya.”
“Kamu tau?”
“Tau apa?”
“Aku sangat meyukai hujan. Apalagi hujan kali ini. Hujan kali ini pasti akan mengingatkanku akan kisah kita. Hujan pertama di bulan November. Aku takkan mampu melupakannya.”
Aku tatap awan diatas sana. Kuamati setiap rintik hujan yang turun membasahi bumi. Aku baru sadar bahwa ini adalah hujan pertama di bulan November.  
“Oh ya, sudah jam berapa ini? Ternyata sudah jam Sembilan lewat lima menit. Kita terlambat. Aku harus segera mengantarmu pulang ke rumah. Aku harus minta maaf kepada om Han karena membawa putri kesayangannya pulang terlambat. Ayo bunga lekas kamu habiskan bakso dan adon-adon coro itu.”
Sammy bergerak ke arah penjual adon-adon coro guna membayarkan biaya kami. sementara aku berusaha secepat mungkin menghabiskan sisa makananku.
Vario tekno berwarna merah yang kami kendarai melaju dengan cepat. Jalanan cukup langgang, mungkin karena orang-orang malas keluar hujan begini disamping itu ini bukan malam minggu. Jadi wajarlah. Mendekati perempatan antara SCJ, Alun-Alun, Puskesmas, dan Penjara kondisi jalanan tetap lenggang. Tidak ada tanda-tanda kendaraan lain yang melaju selain kami. Sammy menggas motor dengan lebih kuat. Hujan masih turun bahkan bertambah deras. Dari arah kiri kami, aku seperti mendengar samar dengung suara motor. Aku melihat setitik kecil hitam. Semakin besar. Semakin dekat. Dan hanya gelap yang kulihat. 
“Hah hah hah hah ..”
Aku terjaga dari tidurku. Ternyata itu cuma mimpi. Bayangan yang sama yang selalu menghantuiku. Aku mengambil botol obat di laci meja dekat ranjang. Mengambil satu lalu menelannya. Aku dorong pil itu agar cepat turun dengan air putih yang kuambil dari gelas di samping lampu kamar. 
Aku mendengar rintik hujan. Ku pandangi hujan lewat jendela kamarku. Aku benci hujan. 
Aku meletakkan gelas kosong disamping kalender diatas meja. Tak sengaja mataku bertumbukan dengan lingkaran merah di angka satu pada bulan November. Aku baru sadar ini adalah tanggal satu tepat dihari kematian Sammy. Artinya hujan saat ini adalah hujan pertama di bulan November. Dadaku terasa panas. Kepalaku pusing. Jantungku berdetak tiga kali lebih cepat. Tubuhku menggigil. Bayangan darah yang mengalir bersama dengan tetes air hujan menepikanku dari kenyataan. Suara jeritku memanggil Sammy yang teredam oleh guntur, terus berdengung ditelingaku. Bayangan ini muncul kembali dan semakin terasa kuat malam ini. Aku menjerit, meronta. Gambar keadaan kamarku mengabur, berganti bayang-bayang kejadian tepat setahun yang lalu. 
Aku mulai membuka mata. Di sampingku Papa dan Mama menatapku dengan cemas. Aku dibantu Mama setengah berdiri. Papa menyodoriku segelas air putih hangat. Aku lalu meminumnya. 
“Kamu sudah baikkan bunga?”
Aku mengangguk.
“Kami khawatir padamu. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Selalu merasa cemas ketika hujan akan turun. Selalu takut bila hujan akan turun. Kau akan panik bila melihat awan hitam menggantung di awan. Kau selalu berfikir bahaya akan datang karenanya. Ombrophobia, Kapan kamu akan sembuh bunga..?” Desah mama parau. Mama mengelus-elus kepalaku. 
“Bunga pasti bisa sembuh ma! Bukankah bunga selalu rajin kontrol sama Dokter Zyen? Mama tidak usah khawatir, Bunga pasti sembuh. Bunga pasti bisa mengalahkan ketakutan pada diri Bunga akan hujan. Tenang saja Ma Pa!”
Aku tersenyum pada Mama dan Papa. Berusaha meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja dan suatu saat nanti akan sembuh dari Ombrophobia. Nampaknya lebih mudah menyakinkan mereka daripada diriku sendiri bahwa aku bisa sembuh. Ombrophobia, mulai ku derita tepat setahun yang lalu. Tepat di hujan pertama bulan November. Tepat di saat kematian Sammy. Hujan selalu menyeretku kembali mengingat peristiwa setahun yang lalu. Aku benci itu. 
¤¤¤
Aku menggeliat bangun, menggambil jaket disampingku dan keluar dari tenda. Udara pagi yang sejuk di Kebun Pinus menyapaku. Awan biru menggantung diatasku. Sedikit pemanasan untuk tubuhku dengan perenggangan ringan.
“Bunga! Kesini, ayo kita sarapan.” 
Aku melihat Haikal di depan sebuah kompor gas kecil di atasnya ada panci yang mengeluarkan aroma mie yang sedap. Aku menghampirinya. Duduk disebelahnya. Mulai hari ini dan besok disini akan diadakan acara Pelantikan Bantara Ambalan Sultan Hadi Wijaya dan Nimas Ratu Cempaka. Aku dan Haikal dulu adalah dewan ambalan. Haikal sebagai Pradana Putra dan aku sebagai Pradana Putri. Berhubung kami sudah naik kelas dua belas. Maka kami menyerahkan tugas dan wewenang ini kepada adik kelas kami. Kami berada di sini hanya berstatus sebagai tamu.
“Mienya sudah siap, mari kita makan!” Haikal mengambil sebagian mie dari panic, menuangkannya dalam piring plastik dengan sepasang garpu dan sendok sudah siap menyertainya. “Kamu pilih pake sendok atau pake garpu?”
“Garpu sajalah.”
Pagi itu kami menyantap mie dalam satu piring bersama. Terkadang kami bertukar sendok dan garpu. Beberapa teman yang sudah terbangun ikut nimbrung bersama kami memakan masakan Haikal. 
“Adik-adik kelas satu lagi pada ngapain?”
“Mereka lagi pada makan kak.” Ilo Pradana putra yang menjabat saat ini menjawab.
“Emm, makanannya mereka buat sendiri apa udah disediain panitia?” Tanya Haikal lagi
“Untuk makan pagi ini mereka masak sendiri kak.”
“Owh, bagus deh kalau begitu.”
“Lalu setelah ini agendanya apa?”
“Setelah makan, mereka akan ada sedikit review kembali mengenai materi kepramukaan yang pernah diajarkan lalu LBB kemudian mereka akan jalan menuju Jurang Nganten.”
“Lalu dimana pengambilan Dek Bantaranya?”
“Di kompleks kuburan dibawah kak.”
Dalam situasi yang hangat ini obrolan kami berlanjut dari satu topik ke topik yang lain. Adik-adik kelas orangnya ramah, sopan dan baik. 
Matahari kian meninggi. Setelah para peserta selesai Latihan Baris Berbaris. Kami mengemasi barang-barang. Padahal baru semalam kami menginap disini, tapi kami harus sudah berbenah. Setelah ini kami berjalan bersama adik-adik melewati Jurang Nganten. Sebuah air terjun yang bernama Jurang Nganten. Aku sendiri tidak tau sebabnya mengapa air terjun ini dinamakan Jurang Nganten. Mitos yang beredar pantangan bagi pengantin baru melewati Jurang Nganten katanya bisa bikin celaka. Aku kurang tau kebenaran dari mitos ini. Tapi sudah banyak peristiwa yang terjadi yang cukup kuat untuk aku mempertimbangkan kebenaran mitos ini.  
Aku menggendong tas ukuran sedang yang tidak terlalu berat. Aku memang membawa sedikit perlengkapan. Adik-adikku cukup bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti tenda dan makanan. Kami berjalan beriringan. Berbanjar dua-dua. Di barisan belakang aku dan Haikal membuntuti. 
Mendung bergantung diatas sana. Aku melihatnya. Cemas mulai mulai mengusikku. Aku tak bisa tenang. Aku panik. Perjalanan baru seperempatnya. Haikal memperhatikanku dengan kebingungan. Aku turunkan tasku, mencari botol obatku. Ketemu. Aku menelannanya satu.
“Kamu tidak apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Tenang saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan.” Aku mendahului langkah Haikal, baru beberapa langkah. Aku merasa bingung.
“Nah lho bingung kan? Sini ikuti aku.” Haikal meraih tanganku memaksaku mengikuti setiap langkahnya. Untuk mencapai Air Terjun Jurang Nganten kami harus melewati pematang sawah. Sesekali Haikal membantuku. 
Bayang gelap tertangkap olehku ketika aku melangkah. Aku mendongak ke atas, langit sudah gelap. Mendung kali ini merata, hujan akan turun sepertinya akan lama. Aku membuka kapsul obat di tanganku, menelannya satu. Belum sempat aku menutupnya, Haikal sudah menyeretku untuk segera mengikuti langkahnya. Botol itu terjatuh, bergulir entah kemana dibawah sana.
“Bunga ayo cepat, sebentar lagi kita akan sampai ke Jurang Nganten.” 
“Sebentar barangku ada yang jatuh.” Aku berjongkok, meneliti kemana botol obatku terjatuh. 
“Barang apaan sih yang jatuh? aku bisa bantu nyari. Bentuknya kayak gimana?”
Aku tidak menjawab pertanyaan Haikal. Tanganku sibuk meraba-raba akar pohon dibawah. Tadi sepertinya aku melihatnya. Botol obatku. Aku menemukannya. Aku mengangkatnya. Tapi yang kulihat adalah botol bening berukuran 5 cm tanpa tutup juga tanpa isi. Pil-pilku sudah jatuh entah kemana. Aku bertambah panik. Bagaimana bila nanti hujan benar-benar turun? Ombrophobiaku pasti kumat. Lagi? Dihadapan Haikal? Aku memandang Haikal. Haikal memandangku dengan bingung. 
“Barangmu sudah ketemu?” Aku mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lanjutkan perjalanan, Air Terjunnya sudah kelihatan.”
Aku mengikuti arah pandang Haikal. Dia benar air terjunnya sudah kelihatan. Timbul semangat baru dari dalam diriku. Sejenak persoalan tentang obat-obatku yang terjatuh terlupakan. Aku mengikuti langkah Haikal. Cepat semakin cepat. Langkahku berlomba dengan mendung. Kami sampai di bawah Air Terjun. Tinggiku yang Cuma 155cm paling Cuma sepersepuluh dari tinggi air terjun ini. Gemericik air yang jatuh menyebar kemana-mana. Suaranya keras membahana. Aku mendekat. Berpijak pada batu besar menikmati desir suaranya, menikmati cipratan air yang mengenai tubuhku. Ku pejamkan mata kulentangkan kedua tangan. Kian lama cipratan yang mengenai tubuhku semakin deras. Cipratan ini, bukan dari samping tapi dari atas.
“Bunga! Hujan! Ayo berteduh, aku sudah mendirikan bifak ”
Benar hujan. Hujan sudah turun. Jantungku berdegup dengan sangat cepat. Pilku? Aku mencari pilku. Baru kuingat pilku sudah jatuh semua. Haikal menuntunku  yang sudah lemas ini menuju bifak yang sudah didirikan. Didalam bifak aku menggigil. Menggigil karena kedinginan juga ketakutan. Bayang peristiwa kematian Sammy tatkala hujan menyergapku dari segala penjuru. Aku mengigau menyebut nama Sammy. 
“Sammy .. Sammy .. Sammy ..”
“Gluduk gluduk gluduk ctar..”
Aku beringsut mundur memeluk tas besar milik Haikal. 
“Kamu takut guntur dan petir?” 
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Haikal. Haikal menyelimutiku dengan jaket miliknya. Aku merasa lebih hangat.
“Sudah tidak apa-apa, itu hanyalah guntur dan petir saja. Mereka tidak akan mencelakaimu lagipula kamu sudah bersamaku. Kamu aman tenang saja.” 
Haikal mengelus kepalaku. Aku bagaikan kucing miliknya saja. 
“Bunga? Kamu pernah mendengar tentang kisah seorang anak katak yang takut pada hujan? Kisahnya itu seperti ini. Suatu ketika ibu dan anak katak sedang melakukan perjalanan. Di seperempat perjalanan mendung datang. Anak katak ketakutan melihat mendung itu dan bersembunyi di balik punggung Ibunya. Kemudian Ibunya berkata, tidak apa-apa sayang itu cuma mendung ia tidak akan mencelakaimu mendung itu justru membawa pertanda baik bahwa kita akan segera sampai tujuan. Anak katak kembali tenang dan meneruskan perjalanan. Di setengah perjalanan guntur dan petir datang bersahut-sahutan. Anak katak ketakutan lalu bersembunyi dibalik punggung Ibunya. Si Ibu berkata, jangan takut nak itu adalah guntur dan petir ia tidak akan mencelakaimu itu justru menjadi pertanda langkah kita sudah semakin dekat marilah melangkah menghadapinya. Anak katak bertanya pada Ibunya, apakah perjalanan mereka sudah dekat dengan tujuan? Ibu katak menjawab, belum sayang masih kurang satu pertanda lagi. Apa itu? tiba-tiba hujan turun, anak katak berlari kebalik punggung induknya. Ini dia tandanya sudah datang. Hujan. Tidak perlu takut sayang, tinggal melewati hujan ini maka sampailah kita. Ibu dan anak katak kembali meneruskan perjalanan. Langkah mereka terhenti. Mereka memandang pemandangan yang begitu menakjubkan. Mereka sudah sampai di tujuan. Kau tau apa yang mereka lihat?” Aku menggeleng. “Sama seperti yang kulihat saat ini.” 
Aku mengikuti arah pandang Haikal. Diatas air terjun seberkas sinar berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu melengkung anggun. Pelangi. Itulah yang aku lihat. Indah mempesona. Hujan sudah berhenti, mendung guntur dan petir tak nampak lagi.  
“Bunga, ketakutanmu akan hujan mungkin berkaitan dengan kematian kak Sammy. Tapi Bunga, kamu tak bisa terus-menerus menghindar dari hujan. Hujan akan tetap turun meski kamu membencinya. Kamu mesti menghadapinya, seperti anak katak itu yang menghadapi ketakutannya. Ia trus melangkah, yakin bahwa tujuannya akan tercapai. Sampai di tujuan ia mendapatkannya Pelangi. Itu adalah gambaran kebahagiaan bagi dirinya. Ketakutan harus dihadapi jangan terus di hindari. Kamu jangan tergantung pada obat penenang.” Haikal  mengangkat botol obat kosong milikku. “Tapi di sini.” Haikal menuding bagian kepalanya. “Kamu harus menciptakan sugesti dari sini. Sugesti bahwa kamu tidak takut hujan. Sugesti bahwa kamu bisa menghilangkan bayang-bayang kematian kak Sammy setahun yang lalu dari otakmu. Sugesti bahwa mendung, guntur, petir dan hujan akan mendatangkan pelangi. Kebahagiaan.”
Aku terdiam mendengar semua perkataanya. Aku mencoba mencernanya. Semua kata-katanya benar. Mulai detik ini juga aku harus menghilangkan ketergantunganku pada obat penenang. Aku harus melawan ketakutan ini. Aku harus menciptakan sugesti seperti apa yang dikatakan Haikal. Aku bisa. Aku pasti bisa. 


0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com