Ini dia cerpen pertamaku yang saya buat sewaktu masih duduk di bangku SMP kelas 9. Tepatnya, ini adalah cerpen pertama yang terarsip, sebenarnya ketika masih duduk di kelas 8 saya sudah membuat cerpen, cerita dan temanya masih terbawa masa kanak-kanak layaknya dongeng seorang putri. Guru bahasa Indonesia saya waktu, mengapresiasi karya dengan baik. Sehingga memotifasi saya untuk terus berkarya. Dari pernyataan beliau, saya dianggapnya mampu menjadi penulis cerpen.Saya pernah mencoba mengirimkannya ke Majalah Gaul, tapi tidak lolos. Tepatnya, ini adalah cerpen pertama yang terarsip, sebenarnya ketika masih duduk di kelas 8 saya sudah membuat cerpen, cerita dan temanya masih terbawa masa kanak-kanak layaknya dongeng seorang putri. Guru bahasa Indonesia saya waktu, mengapresiasi karya dengan baik. Sehingga memotifasi saya untuk terus berkarya. Dari pernyataan beliau, saya dianggapnya mampu menjadi penulis cerpen.
Senin, 25 November 2013
Janji Kebahagiaan
Puisi Janji Kebahagiaan merupakan satu paket dengan cerpen Ombrophobia. Kamu mungkin akan kebingungan jika hanya membaca puisinya saja, maka dari itu baca juga cerpennya.
Ombrophobia
Saya menyukai hujan, terlebih gerimis. Maka ketika saya mendapatkan informasi bahwa ada lomba cerpen bertema hujan. Saya tertarik untuk mencoba. Namun sayangnya, partisipasi saya mengirimkan cerpen ini tidak membuahkan hasil. Saya tak berhasil masuk nominasi. Cerpen itu pun akhirnya kembali tersimpan rapi di lapyku tercinta.
Kesemapatan lain datang dari Ikatan Santri Aswaja Jepara (Iswara), yang menagdakan lomba cipta cerpen puisi satu tema dengan hadiah juara pertama Rp.100.00,00. Cukuplah bagi saya yang sedang mencari pengalaman serta mengukur kemampuan diri. Namun permasalahan lain datang, saya belum menciptakan puisinya. Malam itu dengan meminjam lapy teman karena lapyku sendiri rusak, saya ngebut membuat puisi.
PERANG TAMADUN
Puisi ini merupakan salah satu diantara dua karya yang terpilih dalam event Pameran Sejuta Buku yang bertema Buku Sebagai Amunisi Peradaban, diadakan pada tanggal 06-12 November 2013 bertempat di gedung wanita semarang. Meski dibuat secara singkat, sangat singkat malah hanya berkisar kurang dari dua jam. Jadilah puisi seperti ini. Alhamdulillah, atas apresiasi dari dewan juri dan panitia, saya memperoleh tiga buku gratis. Ketiga buku tersebut adalh, Home (Novel), Pulpen (kumpulan cerpen anak SD istimewa) dan Emile Durkheim. Semoga barokah. Aamiin ..
Minggu, 24 November 2013
Benih yang Sempurna
Cerpen ini awal mulanya saya buwat manakala saya melihat ada lomba menulis cerpen dengan tema Islami. langsung ketika itu sub tema yang terpikirkan dari saya adalah IKHLAS. Entah mengapa ikhlas begitu berarti di hati saya. Jadilah saya merangkai kata demi kata hingga menjadi sebuah kisah. Saya kemudian mengirimkan cerpen saya ke panitia lomba, meski untuk itu saya harus merogoh kocek Rp.10.000,00. Namun cerpen pertama yang saya kirimkan tersebut tidaklah lolos, saya harus ikhlas.
Memasuki bulan Juni, Pondok Pesantren Durrotu Ahli Sunnah Waljamaah mengadakan kegiatan Haflah Akhirussannah. Salah satu diantara sekian lombanya adalah lomba cipta cerpen dan puisi. Awalnya saya ragu mau mengirimkan atau tidak. Hari semakin berlalu mendekati batas akhir pengiriman karya. Hati saya menuntut untuk coba saja mengirimkan, pengecut kamu kalau tidak berani mencoba. Begitulah, saya akhirnya memantabkan hati untuk mencoba meski di hati terbersit rasa takut gagal.Kebetulan tema cerpen pada lomba HAS tahun ini adalah ikhlas. Kembali saya mengirimkan cerpen saya berjudul, "Benih yang Sempurna." Alhamdulillah, pada even kali ini cerpen saya berhasil masuk nominasi. Meski tak mampu menjadi juara. Bagi saya cerpen saya sudah bisa masuk dalam Antologi Asyahdu, saya sudah sangat bersyukur.
Berikut saya posting cerpen saya yang berjudul
Memasuki bulan Juni, Pondok Pesantren Durrotu Ahli Sunnah Waljamaah mengadakan kegiatan Haflah Akhirussannah. Salah satu diantara sekian lombanya adalah lomba cipta cerpen dan puisi. Awalnya saya ragu mau mengirimkan atau tidak. Hari semakin berlalu mendekati batas akhir pengiriman karya. Hati saya menuntut untuk coba saja mengirimkan, pengecut kamu kalau tidak berani mencoba. Begitulah, saya akhirnya memantabkan hati untuk mencoba meski di hati terbersit rasa takut gagal.Kebetulan tema cerpen pada lomba HAS tahun ini adalah ikhlas. Kembali saya mengirimkan cerpen saya berjudul, "Benih yang Sempurna." Alhamdulillah, pada even kali ini cerpen saya berhasil masuk nominasi. Meski tak mampu menjadi juara. Bagi saya cerpen saya sudah bisa masuk dalam Antologi Asyahdu, saya sudah sangat bersyukur.
Berikut saya posting cerpen saya yang berjudul
"BENIH YANG SEMPURNA"
Hiruk-pikuk suasana pasar baru Jepara pagi itu sesak
oleh orang-orang yang berjualan dan berbelanja. Tak jarang sikap ngotot dan
suara melengking mewarnai transaksi jual beli.
Ada yang berteriak.
“Serbet buuu serbetnya .. serbet sepuluh ribu tiga.”
Ada juga yang menyeru.
“Ikan… ikan… ikan… murah dan segar, ada bandeng,
tongkol, vaname, cumi, silahkan dipilih.”
Tapi ada juga yang sekadar menunggu barang
dagangannya laku. Tanpa harus capek-capek berkoar-koar.
Keramaian tidak hanya ada di dalam pasar tapi juga
di luar pasar.
Supir-supir angkot, kenek bus, dan becak juga tak
kalah sibuk dengan penjual yang ada di dalam pasar.
“Bangsri bangsri.”
“Kudus kudus.”
“Tahunan jepara.”
“Mantingan ngabul.”
“Becak becak.”
Di sebelah timur gerbang masuk pasar nampak
segerombolan tukang becak sedang mangkal. Seorang lelaki tua datang mendorong
becaknya menuju ke tempat biasa ia mangkal. Senyum sumringah di pagi hari
menghiasi wajah keriputnya.
“Assalamualaikum.”
Lelaki tua itu memarkir becaknya di sebelah becak milik seorang pemuda berkaos
hijau dengan rambut agak gondrong berkulit gelap.
“Waalaikumsalam.
Pak jamal.” Balas pemuda itu sambil sedikit bergeser dari tempat duduknya di sebuah
kursi papan kayu panjang mempersilahkan Pak Jamal untuk duduk.
“Terima kasih.” Pak Jamal duduk melepaskan topi baret
butut warna coklat yang sudah usang. Pemuda yang baik hati itu kemudian
menawari pak Jamal sebotol air mineral, Pak Jamal menolaknya dengan halus.
“Capek ya pak? habis dapet pelanggan dari mana?”
“Iya lumayan, Ton. Itu daerah SD Pengkol situ.” Pak
Jamal mengibas-ngibaskan topi baretnya.
Belum lama mereka beristirahat dan bercengkrama
bersama, seorang Ibu membawa tas jinjing dengan seorang putrinya datang
menghampiri.
“Mas, becak sini-Pamatan berapa ya?”
“Tujuh ribu Bu.”
“Lima ribu apa gak boleh mas?” Si Ibu menawar. Terjadilah
tawar-menawar hingga kata sepakat muncul. Tak berselang lama setelah Toni
pergi, datang seorang wanita muda yang tengah mengandung sekitar sembilan bulan.
Wanita itu memakai gamis berwarna merah hati dengan jilbab besar.
“Assalamualaikum
wr.wb.”
“Waalaikumsalam,
ada apa ya buu?”
“Anu pak, bisa minta tolong?”
“Tolong apa bu?”
“Bisa anterin saya ke Rumah Sakit Masyitoh?” Sedikit
takut-takut wanita itu menjawab sambil matanya menatap perutnya yang sudah
membuncit.
“Oh ya bu bisa. Silahkan naik bu.”
Wanita
itu naik ke becak. Becak mulai dikayuh menelusuri jalanan yang cukup lenggang.
¤¤¤
Wanita itu keluar dari Rumah Sakit Masyitoh matanya
nampak berkaca-kaca, tangannya memegang Kelly
Bag dengan kuat. Senyumnya mengembang, membuat wajahnya menjadi semakin
bercahaya dan menambah kecantikannya di wajahnya yang bulat telur.
“Pak bisa minta tolong lagi, anterin saya ke Kauman
depan kantor cabang Suara Merdeka?”
Becak kembali dikayuh.
¤¤¤
Pak Jamal menghentikan laju becaknya di bawah pohon
mangga.
“Sudah sampai bu.”
“Eh iya pak.” Wanita itu turun dari becak dan
melangkah menuju pekarangan rumah. Baru beberapa langkah wanita tersebut berbalik
menghampiri Pak Jamal yang sedang memutar becaknya. “Pak, bapak bisa menunggu
saya sebentar disini? sepertinya saya masih membutuhkan bapak.” Wanita itu
tersenyum dan menyerahkan uang lima lembar seratus ribu sambil menunggu jawaban
dari Pak Jamal. Pak jamal mengangguk. Wanita itu pun pergi melanjutkan
langkahnya masuk kedalam rumah.
Di bawah rindangnya pohon mangga, bersandar busa
bangku becak yang tidak terlalu empuk. Pak Jamal mengistirahatkan tubuhnya,
pikirannya menerawang. Betapa baik hatinya wanita muda yang jadi penumpangnya itu.
Padahal harga sebenarnya yang mesti dibayar hanyalah sepuluh ribu. Uang lima ratus
ribu itu lima puluh kali lipat dari harga sebenarnya. Batinnya masih
bertanya-tanya? tapi ia mensyukurinya. Pikirannya mengembara kembali ke rumah, mengingat
kejadian beberapa hari yang lalu.
“Dok dok dok.” Suara pintu yang diketuk dengan
keras. Belum ada sahutan dari dalam rumah. “Dok dok dok, pak Jamal .. pak
Jamal!” Pintu diketuk dengan semakin keras.
“Iya sebentar .” Pak Jamal dengan masih mengenakan
sarung membuka pintu hingga terdengar bunyi decit yang keras. Seorang wanita
paruh baya dengan dandanan menor menyelonong masuk, melihat sekeliling sambil
mengipas dengan kipas besar merahnya.
“Mana uang kontrakan rumahmu yang sudah nunggak tiga
bulan?!” Wanita itu menodongkan tangannya ke arah Pak Jamal tanpa memandang
wajah Pak Jamal. “Satu juta lima ratus ribu!”
“Maaf bu
Hani, saya masih belum punya uang sebanyak
itu. Saat ini saya cuma punya uang tiga ratus ribu.” Pak Jamal membuka dompet,
mengeluarkan uang sejumlah tiga ratus ribu lalu menyerahkannya pada bu Hani.
“Ingat, pokoknya kamu hanya punya sisa waktu satu
minggu untuk melunasi kekurangannmu! Kalau kamu sampai tidak bisa melunasinya
pada hari itu. Kamu dan keluargamu mesti pergi dari rumah ini!” Wanita itu keluar
dari rumah dengan membanting pintu keras.
“Pyaaarr ..” Terdengar suara gelas pecah dari balik
tirai berwarna hijau kelabu. Pak Jamal menghampiri seseorang yang terbaring
diranjang. Dari mata wanita itu seolah terpancar permintaan maaf entah minta
maaf karena apa.
“Sudah tidak apa-apa bu, semua akan baik-baik saja.
Bapak pasti bisa mengatasi masalah ini. Melunasi tanggungan kontrakan kita pada
bu Hani, melunasi hutang kita pada pak Cipto dan membiayai biaya pengobatan
ibu. Ibu tenang saja, masalah-masalah ini janganlah ibu pikirkan, janganlah
menjadi beban bagi ibu.” Pak Jamal menggenggam tangan istrinya, menguatkannya
dan meyakinkannya.
Mata coklat itu berkaca-kaca memandang suaminya. Ia yang
menderita gagal ginjal tidak bisa melakukan perannya dengan baik sebagai
seorang istri. Ia tidak mampu melayani suaminya dengan baik. Bahkan ia
senantiasa merepotkan suaminya. Betapa tidak saban minggu ia mesti cuci darah,
dan itu tidak gratis. Pak Jamal mesti ekstra banting tulang. Pemasukannya
sebagai seorang tukang becak tidaklah seberapa. Apapun pekerjaan asalkan halal
akan ia lakukan demi mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan usaha seperti itu
saja kebutuhan keluarga tetap tidak tercukupi. Ketika waktunya cuci darah Pak Jamal
terpaksa menghutang sana-sini yang paling ia sesalkan adalah karena sampai saat
ini ia belum mampu memberikan keturunan. Hatinya makin teriris memikirkan semua
itu. Ia hanyalah seorang istri yang bisanya cuma merepotkan saja. Selalu itu
yang ia pikirkan. Meski kondisi istrinya sudah sedemikian rupa. Pak Jamal
ikhlas menjalaninya, ia tidak pernah mengeluh, ia tetap setia pada istrinya.
Padahal umur pak Jamal masih 47 tahun, untuk menikah lagi ia pikir tentulah
masih ada yang mau dengannya. Perawakannya masih cukup gagah, meski ada uban di
sana sini. Itu terlebih karena beban pikiran yang ditanggungnnya. Tapi Pak
Jamal tidak menikah lagi. Pak Jamal tetap setia mencintai Bu Fatma. Sehingga
membuat Bu Fatma semakin cinta.
Terdengar suara pintu dibanting dengan keras dari
arah rumah. Membuat lamunan Pak Jamal buyar seketika. Pak jamal menoleh
mendapati penumpangnya tengah jatuh tersungkur di muka pintu rumah. Wanita itu
bangkit sambil mengelus janin di dalam perutnya yang besar dan berucap beberapa
patah kata. Langkahnya gontai. Darah segar mengalir dibalik gamisnya. Pak Jamal
tertegun.
“Bu, ibu pendaharan.”
“Iya saya tau, maka dari itu cepatlah antarkan saya
ke Rumah Sakit Masyitoh.” Pinta wanita itu. Wajahnya sudah mulai terlihat
memucat. Segera becak kembali dikayuh tujuannya adalah RS Masyitoh.
¤¤¤
“Ibu baik-baik saja kah? si tuan rumah yang ibu
kunjungi tadi apakah memperlakukan ibu dengan kasar?” Tidak ada jawaban. Pak
Jamal bertambah cemas. Dia takut kalau-kalau wanita itu sudah meninggal di
dalam becaknya. Pak Jamal menepikan becak untuk melihat kondisi penumpangnya.
Wanita itu sudah tidak sadarkan diri sepertinya pingsan. Pak Jamal berfikir
untuk sampai ke Rumah Sakit dengan becak membutuhkan waktu cukup lama dibanding
dengan mobil. Maka pak Jamal mencari mobil yang sekiranya bisa ia gunakan untuk
menumpang. Tapi betapa tidak beruntungnya ia, karena jalanan kala itu sepi
sekali. Tidak ada mobil yang lewat sepeda motor pun tidak ada. Maka dengan
sekuat tenaga walau di kala puasa Pak Jamal mengayuh becaknya.
Sampai di Rumah Sakit Pak Jamal menggotong wanita
itu. Beberapa suster dan petugas membantunya.
“Apakah Bapak suaminya?” Tanya sesorang suster
bidang administrasi.
“Bukan. Saya bukan suaminya. Saya hanya tukang becak
yang kebetulan menolongnya sewaktu pendarahan.”
“Oh, kalau begitu Bapak ikutlah dengan saya untuk
mengurus biaya perawatan wanita itu.” Pak Jamal mengangguk dan mengikuti dari
belakang. Sampai di teler administrasi Pak Jamal disodorkan sebuah formulir. Di
situ tertera biaya awal perawatan adalah Rp. 520.000. Pak Jamal mengeluarkan
sejumlah uang dari dompetnya. Uang lima ratus dua puluh ribu itu adalah uang
pemberian wanita itu ditambah uang hasil becaknya dua hari ini.
Pak Jamal keluar dari rumah sakit mencari becaknya.
Tapi ia tidak menemukan becak yang ia parkir di tempat tadi, mencari di tempat
lain pun becak itu tidak diketemukan. Becaknya telah raib dicuri. Akhirnya ia
pulang dengan tangan kosong dan berjalan kaki.
¤¤¤
Pak Jamal menaruh karung plastik besar berisi
botol-botol plastik disudut ruangan sempit yang hanya berdindingkan
kardus-kardus untuk menahan hawa dingin memasuki rumah.
“Maaf Bu, lagi-lagi untuk minggu ini Ibu belum bisa
cuci darah. Bapak sudah berusaha mencari pinjaman. Tapi tidak ada yang bisa
meminjami. Maafkan bapak bu.”
“Tidak apa-apa pak. Mungkin belum rejeki Ibu untuk
cuci darah saat ini.” Bu Fatma tersenyum dan mengelus tangan pak Jamal.
Memandang lekat wajah suaminya yang terlihat keletihan seharian memulung.
Guratan keriput di wajahnya dari hari ke hari semakin terlihat jelas.
“Assalamualaikum.”
seseorang di luar rumah menyeru memanggil nama Pak Jamal. Pak jamal beranjak
pergi meninggalkan bu Fatma. “Benarkah anda Bapak Jamaluddin Al Anshori?”
“Iya benar, ada apa ya?”
“Ada surat untuk Bapak” Tukang pos itu menyerahkan
sepucuk surat untuk pak Jamal. Pak Jamal mengucapkan terima kasih dan tukang
pos itu pun pergi berlalu.
“Siapa pak?”
“Tukang pos Bu, katanya ada surat untuk Bapak. Tapi
bapak gak tau dari siapa?”
“Coba suratnya Bapak buka dan baca isinya keras. Ibu
juga pengen tau isinya.”
Pak Jamal pun membuka surat itu dan dibacanya cukup
keras hingga dapat terdengar oleh Bu Fatma yang ada disampingnya.
Assalamualaikum
wr.wb.
Sebelumnya
perkenalkan nama saya adalah Ikfina Azzahra. Seorang wanita muda yang mengalami
pendarahan ketika menjadi penumpang becak Bapak.
Pak Jamal berhenti membaca surat. Pikirannya kembali
ke kejadian beberapa bulan lalu. Kejadian yang tidak pernah dilupakannya.
“Pak.” Bu Fatma menegurnya, mengingatkannya untuk
kembali meneruskan bacaannya.
Saya
sangat berterima kasih atas bantuan bapak kala itu.Sebagai balas jasa atas
kebaikan bapak.. Datanglah besok pagi ke rumah sakit Masyitoh pukul sembilan
pagi untuk menemui Dokter Habibi dan pengacara saya Ibu Aira Qanita. Dengan serta membawa surat
kuasa atas ginjal, rumah dan anak yang telah saya lahirkan. Berkenaan dengan
ginjal saya sudah mengecek kecocokannya dengan ginjal yang dibutuhkan istri
bapak.Bapak mungkin kebingungan membaca surat dari saya kejelasan lebih lanjut
akan Bapak dapatkan dari Dokter dan Pengacara saya. Percayalah saya bukan orang
jahat dan berniat jahat pada bapak.
Terima
kasih.
Tangan Pak Jamal
melemas, air mata tak mampu ia bendung. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi.
Ternyata Tuhan punya rencana lain untuknya. Ketika ia ikhlas menerima ujian
dari Allah berupa istrinya yang sakit, tidak tercukupinya kebutuhan keluarga,
uang hasil becak dan pemberian wanita itu mesti ia relakan demi perawatan
penumpangnya, ia juga harus rela kehilangan becak yang menjadi sumber mata
pencaharian satu-satunya dan Pak Jamal juga harus tetap ikhlas diusir dari
kontrakan karena tidak mampu membayar tunggakan. Dengan kemurahan hati Allah.
Pak Jamal justru menuai hasil dari benih dihatinya yaitu niat ikhlas.
Langganan:
Postingan (Atom)
Follow
Popular Posts
-
Kritik Pendidikan Dalam Novel Rindu Judul Buku : Rindu Karya : Tere Liye Penerbit : Re...
-
Hidup itu pilihan. Kita boleh memilih A juga boleh memlih B, tapi bagaimana jika aku memutuskan bahwa aku memilih A juga memilih B? Sulit ...
-
Kajian Interaktif Berpikir Logis dan Agamis Hukum Puasa Daud Kita mengenal banyak jenis puasa sunnah, ada puasa senin kami, puasa ...
-
Rufaidah, Teladan Juru Rawat Islam Buku ini mengisahkan tentang sosok wanita bernama Rufaidah. Seorang perawat muslim pertama di zamanny...
-
Teringat dulu ketika aku masih bersekolah di SMP N 5 Jepara, dimana disitu ada pelajaran ukir. Setiap pertemuan kami diminta untuk membuat ...
-
Sebenarnya buku ini sudah sering aku lihat rak perpustakaan daerah Jepara. Namun entah mengapa aku belum tersentuh untuk membacanya, b...
-
Memaknai Kartini di Era Globalisasi “Habis gelap terbitlah terang,” quotes itu begitu terkenal dan melekat erat dengan sosok Kartini....
-
Prularisme dalam Novel Dua Ordo Karya Hermes Dione adalah karya risensi pertama saya. Sebelumnya saya belum pernah merisensi buku. Iseng m...
-
اِنَّ صَلاَ تِى وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَا تَى الِلهِ رَبِّ العَا لَمِيْنَ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku han...
-
BUKU TERBIT EVENT SURAT UNTUK CAPRESKU mulai tanggal 10 April s/d 20 April 2014 ======================================== Judul: Kepada...