Rabu, 17 Mei 2017

Menerbangkan Layang-layang



“Kau tau Dahlia, layang-layang itu tak ubahnya seperti mimpi dan cita-cita kita. Dan kita tak ubahnya anak kecil yang terus belajar dan berjuang untuk menerbangkan layang-layang. Suatu ketika kita mengalami angin kencang yang menggoyahkan kendali layang-layang, atau bahkan ketika kita hendak memulai menerbangkan layang-layang kita tak memiliki cukup angin. Maka apakah kau akan berputus asa menerbangkan layang-layangmu Dahlia? Sementara kau begitu menyukai layang-layang, begitu ingin melihat layang-layang itu terus terbang.”
Dahlia menggeleng kuat, gadis yang masih duduk di bangku SMP kelas satu itu membayangkan dirinya semasa kecil yang begitu gemar bermain layang-layang.
“Benar kau tak boleh berputus asa. Teruslah belajar dan berusaha menerbangkan layang-layangmu. Teruslah belajar dan berusaha untuk mewujudkan mimpimu. Bukankah kau memiliki mimpi?” Dahlia sekali lagi mengangguk, matanya berbinar membayangkan dirinya dalam busana laboratorium, berkutat dengan tabung reaksi. Meramu senyawa kimia yang berguna untuk umat manusia.  “Bagus, pegang eratlah mimpi itu jangan kau lepaskan. Mimpi selalu punya jalan bagi mereka yang selalu berusaha dan tak berputus asa. Nah, hari sudah sore saatnya kita pulang. Mamak pasti sudah ribut karena aku mengajakmu bermain terlampu sore.”
Mereka berdua berjalan bersisian bergandeng tangan. Di tangan Dahlia tergenggam botol plastik berisi uang receh, sementara di tangan Santoso tergenggam ukelele yang biasa mereka gunakan untuk mengamen.
Dahlia menatap pucuk dari Tugu Muda yang tinggi menjulang ke langit luas. Tiba-tiba saja ia teringat kenangan bersama kakaknya beberapa tahun silam persis di tempat ini.
 “Bagaimana tanggapanmu tentang tawaran dari Ibu Atik tadi siang?”
“Entahlah, aku masih ragu untuk memustuskan bagaimana. Mimpi untuk melanjutkan sekolah, seperti mimpi yang terlalu tinggi. Aku anak orang miskin. Bapak pun sudah tak ada. Ibu hanya buruh cuci. Adikku masih dua, kecil-kecil, mereka yang lebih butuh sekolah. Aku, aku terlalu takut menyampaikan tawaran itu kepada ibu,”
“Apa salahnya menerima tawaran itu Dahlia? Menurutku kau lebih beruntung daripada aku. Setidaknya ada orang yang menawarimu, mengulurkan bantuannya untuk membantumu menggapai mimpi. Sementara aku? Boro-borolah ada yang bantu, berpikir bahwa aku juga memiliki mimpi pun nampaknya tidak ada dalam benak mereka. Setidaknya kau masih memiliki peluang, kau cerdas, rajin, dan berbakat dan kau di sukai banyak guru disekolah dapat peringkat disekolah lagi. Apalagi yang menghambatmu untuk meraih mimpi?”
“Mamakku sakit Hani, aku tak tega meninggalkannya sendiri mengurus keluarga. Apalagi jika aku melanjutkan sekolah pasti ibu akan bertambah bebannya,” Hani terdiam, ia sudah tidak ingin lagi berdebat dengan sahabatnya. Hani tau, sudah banyak duka dalam hati Dahlia, terlebih semenjak ia kehilangan kakak yang begitu ia sayangi secara mendadak akibat kecelakaan. Dunianya hampir-hampir saja berubah. Pelita dimatanya semakin redup.
Dalam situasi ini apa yang harus aku lakukan Mas? Akankah sudah menjadi takdirku untuk tidak sekolah? Akankah sudah menjadi takdirku untuk terus mengamen di jalanan yang kejam ini? Tuhan bimbinglah aku. Berikan petunjuk-Mu. Mudahkanlah jalanku.
Bisik Dahlia, sebuah bisikan yang hanya didengar oleh angin sore.
Sekar mendengarkan dengan serius apa yang dikatakan oleh Atik, guru muda yang begitu peduli dengan Dahlia. Hampir-hampir ia tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Atik tentang anaknya, Dahlia. Dahlia tidak pernah bercerita tentang masalah ini kepadanya. Memang Dahlia adalah sosok yang pendiam dan tertutup, tapi Sekar tak menyangka bahwa dalam hal sepenting ini pun Dahlia tidak bercerita padanya.
“Dahlia gadis yang cerdas, rajin dan berbakat Bu, sangat disayangkan apabila Dahlia tidak melanjutkan pendidikannya.”
Kalimat itu terus berulang di benak Sekar. Sementara di balik tirai jarik, Dahlia mencuri dengar pembicaraan ibunya bersama Ibu Atik, wali kelasnya. Ingatan Dahlia melesat jauh kembali ke masa lalu, tentang sore yang begitu indah bersama almarhum sang kakak. Akankah ia harus menyerah menerbangkan layang-layangnya?
“Tapi Bu, saya tidak punya cukup biaya untuk menanggung biaya sekolah Dahlia. Kami hanya hidup sebatang kara, Mas Didik dan Santoso sudah tiada, sementara Dahlia masih memiliki adik yang kecil-kecil.”
“Soal biaya, jangan terlalu dipikirkan Bu. Banyak beasiswa yang bertebaran di luar sana. Kami dari pihak sekolah akan membantu Dahlian dan kawan-kawan dalam hal pengajuan beasiswa bidikmisi dan pemilihan jurusan serta universitas. Tapi kami tentu tak bisa berjuang sendirian. Dahlia butuh motivasi, dukungan, restu dan doa dari Ibu untuk melanjutkan pendidikannya.”
“Tapi tentu beasiswa-beasiswa itu belumlah cukup untuk membiayai sekolah Dahlia. Seberapa besar sih beasiswa itu? Tentu ada biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan. Bukannya saya keberatan Dahlia sekolah lagi, tapi kami ini orang miskin Bu. Apalah yang bisa kami lakukan sebagai orang miskin ditengah kehidupan yang semakin kejam dan tak adil?”
“Kalau beasiswa bidikmisi itu berbeda Bu. Beasiswa ini insyaallah menjamin penerimanya. Karena, penerima bidikmisi sudah dibebaskan dari biaya perkuliahan ditambah lagi setiap bulannya akan mendapatkan living cost atau biaya hidup, untuk membayar tempat kost, buku, makan dan lain-lain. Kalau di sekiatar semarang ya berkisar enam ratus ribu lah. Tinggal anak itu mengelolanya bagaimana sehingga dana beasiswa yang diberikan untuknya bisa cukup untuk memenuhi kebutuhannya,” sekali lagi Atik berusaha menyakinkan Sekar agar merestui Dahlian melanjutkan sekolah.
Diseberang sana, Sekar nampak berpikir. Apakah enam ratus ribu sebulan itu cukup untuk Dahlia?
“Bagaimana jika begini saja Bu? Mari kita tanyakan Dahlia, apakah ia berkeinginan untuk melanjutkan sekolah atau tidak? Jika dia memang berniat melanjutkan sekolah, pihak sekolah akan membantunya. Dan mohon pihak keluarga juga mendukung Dahlia.”
            “Dahlia, kemarilah Nduk!” Dahlia yang sedari tadi mencuri dengar dari balik tirai jarik datang memenuhi panggilan mamaknya. Ia duduk dengan tatapan menunduk disisi mamak.
            “Dahlia, soal tawaran dari sekolah untuk melanjutkan sekolah, Bu Atik sudah menceritakannya pada mamak. Sekarang mamak ingin bertanya padamu. Apakah kamu berniat dengan sungguh-sungguh tidak sekedar ikut temanmu yang kaya-kaya dan suka gaya itu untuk melanjutkan sekolah?” Dahlia mengangguk. Ia sudah memantapkan hati. Mencoba tak ingin memikirkan apa reaksi mamaknya. Dahlia ingin layang-layangnya terbang tinggi, untuk itu Dahlia tidak boleh berhenti berusaha, tidak boleh berputus asa. Atik tersenyum mendapati jawaban Dahlia. Inilah jawaban yang ditunggu-tunggu. “Baiklah kalau, begitu. Jika Dahlia memang sudah mantap dengan pilihannya. Mamak bisa apa? Mamak hanya bisa berdoa untuk kebaikannya,” terharu Dahlia mendengar jawaban mamak. Dipeluknya mamak erat dan hangat. Mamak membalasnya dengan pelukan dan tepukan sayang.
            “Tapi Mak, jika Dahlia benar-benar bisa melanjutkan sekolah. Mamak nanti sendirian di rumah, trus yang mengurus adik-adik nanti siapa? Sementara Mamak sendiri sering sakit- sakitan?” pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Dahlia ketika Atik sudah pulang.
            “Sudah jangan kau pikirkan. Mamak sudah sehat kok. Mamak masih mampu mengurus rumah dan adik-adikmu. Toh adik-adikmu adalah anak yang mandiri, mereka pasti bisa mengurus dirinya sendiri. Lihatlah Rara, ia sudah mulai belajar mencuci pakaiannya sendiri. Sementara Kholil sepulang sekolah ia membantu di warung Cik Akong. Jadi janganlah terlalu cemaskan adik-adikmu. Belajarlah yang tekun, banyaklah berdoa dan jadilah kebanggaan mamak dan keluarga kita. Sebentar lagi kamu ujian to? Jadi jangan bebanban pikiranmu untuk hal-hal seperti ini. Oh ya mamak juga minta, berhentilah mengamen di jalanan. Mamak tak ingin pikiranmu pecah. Apalagi tindak kriminal semakin tinggi. Mamak khawatir padamu,” Dahlia sekali lagi mengangguk, tak tau lagi harus berkata apa.
            Tengah malam, katika rumah sudah sepi sekali. Di atas depan kayu beralas tikar lusuh, Dahlia mendengar rintih, tangis serta doa mamak dalam salat malamnya.
            “Ya Allah yang Maha Mendengar. Mudahkanlah urusan Dahlia, berikanlah ia ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat. Ya Allah, bimbinglah ia agar ia senantiasa berada di jalan yang Enagkau ridai. Hanya atas kuasa dan kehendakmu ya Allah, Dahlia bisa melanjutkan sekolah menggapai cita-citanya. Menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat. Tuhan, Dahlia adalah yang membanggakan bagiku, tapi janganlah ia Engkau jadikan hanya kebanggaanku seorang tapi juga kebanggan-Mu, kebanggaan nusa, bangsa dan agama. Ya Allah mantapkanlah hatinya dalam melangkah. Kuatkanlah hamba, agar bisa selalu mendampinginya agar selalu mampu mendidik anak-anak hamba menjadi hambamu yang Engkau banggakan,”
            Tanpa Dahlia sadari tetes air mata jatuh membasahi pipinya. Ia peluk erat Rara dan Khalil yang tertidur pulas di sampingnya. Air mata semakin turun deras, manakala terdengar suara batuk Mamaknya.
            Ya Allah, kuatkanlah aku. Bimbinglah aku. Mudahkanlah urusanku. Mamak, aku berjanji padamu. Aku akan berusaha menjadi apa yang engkau harapkan. Selalu menjadi anak yang membanggakan dan membahagiakanmu.
***



Noor Salamah, putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan S. Muzaronah lahir pada  23 Juni 1994. Beralamat di Jalan H.M. Sahid No. 11 Panggang Jepara. 


0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com