“Kau
tau Dahlia, layang-layang itu tak ubahnya seperti mimpi dan cita-cita kita. Dan
kita tak ubahnya anak kecil yang terus belajar dan berjuang untuk menerbangkan
layang-layang. Suatu ketika kita mengalami angin kencang yang menggoyahkan
kendali layang-layang, atau bahkan ketika kita hendak memulai menerbangkan
layang-layang kita tak memiliki cukup angin. Maka apakah kau akan berputus asa
menerbangkan layang-layangmu Dahlia? Sementara kau begitu menyukai
layang-layang, begitu ingin melihat layang-layang itu terus terbang.”

“Benar
kau tak boleh berputus asa. Teruslah belajar dan berusaha menerbangkan
layang-layangmu. Teruslah belajar dan berusaha untuk mewujudkan mimpimu.
Bukankah kau memiliki mimpi?” Dahlia sekali lagi mengangguk, matanya berbinar
membayangkan dirinya dalam busana laboratorium, berkutat dengan tabung reaksi.
Meramu senyawa kimia yang berguna untuk umat manusia. “Bagus, pegang eratlah mimpi itu jangan kau
lepaskan. Mimpi selalu punya jalan bagi mereka yang selalu berusaha dan tak
berputus asa. Nah, hari sudah sore saatnya kita pulang. Mamak pasti sudah ribut
karena aku mengajakmu bermain terlampu sore.”
Mereka
berdua berjalan bersisian bergandeng tangan. Di tangan Dahlia tergenggam botol
plastik berisi uang receh, sementara di tangan Santoso tergenggam ukelele yang
biasa mereka gunakan untuk mengamen.
Dahlia
menatap pucuk dari Tugu Muda yang tinggi menjulang ke langit luas. Tiba-tiba
saja ia teringat kenangan bersama kakaknya beberapa tahun silam persis di
tempat ini.
“Bagaimana tanggapanmu tentang tawaran dari
Ibu Atik tadi siang?”
“Entahlah,
aku masih ragu untuk memustuskan bagaimana. Mimpi untuk melanjutkan sekolah,
seperti mimpi yang terlalu tinggi. Aku anak orang miskin. Bapak pun sudah tak
ada. Ibu hanya buruh cuci. Adikku masih dua, kecil-kecil, mereka yang lebih
butuh sekolah. Aku, aku terlalu takut menyampaikan tawaran itu kepada ibu,”
“Apa
salahnya menerima tawaran itu Dahlia? Menurutku kau lebih beruntung daripada
aku. Setidaknya ada orang yang menawarimu, mengulurkan bantuannya untuk
membantumu menggapai mimpi. Sementara aku? Boro-borolah ada yang bantu,
berpikir bahwa aku juga memiliki mimpi pun nampaknya tidak ada dalam benak
mereka. Setidaknya kau masih memiliki peluang, kau cerdas, rajin, dan berbakat
dan kau di sukai banyak guru disekolah dapat peringkat disekolah lagi. Apalagi
yang menghambatmu untuk meraih mimpi?”
“Mamakku
sakit Hani, aku tak tega meninggalkannya sendiri mengurus keluarga. Apalagi
jika aku melanjutkan sekolah pasti ibu akan bertambah bebannya,” Hani terdiam,
ia sudah tidak ingin lagi berdebat dengan sahabatnya. Hani tau, sudah banyak
duka dalam hati Dahlia, terlebih semenjak ia kehilangan kakak yang begitu ia
sayangi secara mendadak akibat kecelakaan. Dunianya hampir-hampir saja berubah.
Pelita dimatanya semakin redup.
Dalam
situasi ini apa yang harus aku lakukan Mas? Akankah sudah menjadi takdirku
untuk tidak sekolah? Akankah sudah menjadi takdirku untuk terus mengamen di
jalanan yang kejam ini? Tuhan bimbinglah aku. Berikan petunjuk-Mu. Mudahkanlah
jalanku.
Bisik
Dahlia, sebuah bisikan yang hanya didengar oleh angin sore.
Sekar
mendengarkan dengan serius apa yang dikatakan oleh Atik, guru muda yang begitu
peduli dengan Dahlia. Hampir-hampir ia tak percaya dengan apa yang dikatakan
oleh Atik tentang anaknya, Dahlia. Dahlia tidak pernah bercerita tentang
masalah ini kepadanya. Memang Dahlia adalah sosok yang pendiam dan tertutup,
tapi Sekar tak menyangka bahwa dalam hal sepenting ini pun Dahlia tidak
bercerita padanya.
“Dahlia
gadis yang cerdas, rajin dan berbakat Bu, sangat disayangkan apabila Dahlia
tidak melanjutkan pendidikannya.”
Kalimat
itu terus berulang di benak Sekar. Sementara di balik tirai jarik, Dahlia
mencuri dengar pembicaraan ibunya bersama Ibu Atik, wali kelasnya. Ingatan
Dahlia melesat jauh kembali ke masa lalu, tentang sore yang begitu indah
bersama almarhum sang kakak. Akankah ia harus menyerah menerbangkan
layang-layangnya?
“Tapi
Bu, saya tidak punya cukup biaya untuk menanggung biaya sekolah Dahlia. Kami
hanya hidup sebatang kara, Mas Didik dan Santoso sudah tiada, sementara Dahlia
masih memiliki adik yang kecil-kecil.”
“Soal
biaya, jangan terlalu dipikirkan Bu. Banyak beasiswa yang bertebaran di luar
sana. Kami dari pihak sekolah akan membantu Dahlian dan kawan-kawan dalam hal
pengajuan beasiswa bidikmisi dan pemilihan jurusan serta universitas. Tapi kami
tentu tak bisa berjuang sendirian. Dahlia butuh motivasi, dukungan, restu dan
doa dari Ibu untuk melanjutkan pendidikannya.”
“Tapi
tentu beasiswa-beasiswa itu belumlah cukup untuk membiayai sekolah Dahlia.
Seberapa besar sih beasiswa itu? Tentu ada biaya-biaya lain yang harus
dikeluarkan. Bukannya saya keberatan Dahlia sekolah lagi, tapi kami ini orang
miskin Bu. Apalah yang bisa kami lakukan sebagai orang miskin ditengah
kehidupan yang semakin kejam dan tak adil?”
“Kalau
beasiswa bidikmisi itu berbeda Bu. Beasiswa ini insyaallah menjamin
penerimanya. Karena, penerima bidikmisi sudah dibebaskan dari biaya perkuliahan
ditambah lagi setiap bulannya akan mendapatkan living cost atau biaya
hidup, untuk membayar tempat kost, buku, makan dan lain-lain. Kalau di sekiatar
semarang ya berkisar enam ratus ribu lah. Tinggal anak itu mengelolanya
bagaimana sehingga dana beasiswa yang diberikan untuknya bisa cukup untuk
memenuhi kebutuhannya,” sekali lagi Atik berusaha menyakinkan Sekar agar
merestui Dahlian melanjutkan sekolah.
Diseberang
sana, Sekar nampak berpikir. Apakah enam ratus ribu sebulan itu cukup untuk
Dahlia?
“Bagaimana
jika begini saja Bu? Mari kita tanyakan Dahlia, apakah ia berkeinginan untuk
melanjutkan sekolah atau tidak? Jika dia memang berniat melanjutkan sekolah, pihak
sekolah akan membantunya. Dan mohon pihak keluarga juga mendukung Dahlia.”
“Dahlia, kemarilah Nduk!” Dahlia
yang sedari tadi mencuri dengar dari balik tirai jarik datang memenuhi
panggilan mamaknya. Ia duduk dengan tatapan menunduk disisi mamak.
“Dahlia, soal tawaran dari sekolah
untuk melanjutkan sekolah, Bu Atik sudah menceritakannya pada mamak. Sekarang
mamak ingin bertanya padamu. Apakah kamu berniat dengan sungguh-sungguh tidak
sekedar ikut temanmu yang kaya-kaya dan suka gaya itu untuk melanjutkan
sekolah?” Dahlia mengangguk. Ia sudah memantapkan hati. Mencoba tak ingin
memikirkan apa reaksi mamaknya. Dahlia ingin layang-layangnya terbang tinggi,
untuk itu Dahlia tidak boleh berhenti berusaha, tidak boleh berputus asa. Atik
tersenyum mendapati jawaban Dahlia. Inilah jawaban yang ditunggu-tunggu.
“Baiklah kalau, begitu. Jika Dahlia memang sudah mantap dengan pilihannya.
Mamak bisa apa? Mamak hanya bisa berdoa untuk kebaikannya,” terharu Dahlia
mendengar jawaban mamak. Dipeluknya mamak erat dan hangat. Mamak membalasnya dengan
pelukan dan tepukan sayang.
“Tapi Mak, jika Dahlia benar-benar
bisa melanjutkan sekolah. Mamak nanti sendirian di rumah, trus yang mengurus
adik-adik nanti siapa? Sementara Mamak sendiri sering sakit- sakitan?”
pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Dahlia ketika Atik sudah pulang.
“Sudah jangan kau pikirkan. Mamak
sudah sehat kok. Mamak masih mampu mengurus rumah dan adik-adikmu. Toh
adik-adikmu adalah anak yang mandiri, mereka pasti bisa mengurus dirinya
sendiri. Lihatlah Rara, ia sudah mulai belajar mencuci pakaiannya sendiri.
Sementara Kholil sepulang sekolah ia membantu di warung Cik Akong. Jadi
janganlah terlalu cemaskan adik-adikmu. Belajarlah yang tekun, banyaklah berdoa
dan jadilah kebanggaan mamak dan keluarga kita. Sebentar lagi kamu ujian to?
Jadi jangan bebanban pikiranmu untuk hal-hal seperti ini. Oh ya mamak juga
minta, berhentilah mengamen di jalanan. Mamak tak ingin pikiranmu pecah.
Apalagi tindak kriminal semakin tinggi. Mamak khawatir padamu,” Dahlia sekali
lagi mengangguk, tak tau lagi harus berkata apa.
Tengah malam, katika rumah sudah
sepi sekali. Di atas depan kayu beralas tikar lusuh, Dahlia mendengar rintih,
tangis serta doa mamak dalam salat malamnya.
“Ya Allah yang Maha Mendengar.
Mudahkanlah urusan Dahlia, berikanlah ia ilmu yang bermanfaat dunia dan
akhirat. Ya Allah, bimbinglah ia agar ia senantiasa berada di jalan yang
Enagkau ridai. Hanya atas kuasa dan kehendakmu ya Allah, Dahlia bisa
melanjutkan sekolah menggapai cita-citanya. Menjadi orang yang sukses dunia dan
akhirat. Tuhan, Dahlia adalah yang membanggakan bagiku, tapi janganlah ia
Engkau jadikan hanya kebanggaanku seorang tapi juga kebanggan-Mu, kebanggaan
nusa, bangsa dan agama. Ya Allah mantapkanlah hatinya dalam melangkah.
Kuatkanlah hamba, agar bisa selalu mendampinginya agar selalu mampu mendidik
anak-anak hamba menjadi hambamu yang Engkau banggakan,”
Tanpa Dahlia sadari tetes air mata
jatuh membasahi pipinya. Ia peluk erat Rara dan Khalil yang tertidur pulas di
sampingnya. Air mata semakin turun deras, manakala terdengar suara batuk
Mamaknya.
Ya Allah, kuatkanlah aku.
Bimbinglah aku. Mudahkanlah urusanku. Mamak, aku berjanji padamu. Aku akan
berusaha menjadi apa yang engkau harapkan. Selalu menjadi anak yang
membanggakan dan membahagiakanmu.
***
Noor Salamah, putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan S. Muzaronah lahir
pada 23 Juni 1994. Beralamat di Jalan
H.M. Sahid No. 11 Panggang Jepara.
0 komentar:
Posting Komentar