Taman
Baca Masyarakat (TBM) tak ubahnya titik cahaya yang menerangi ruang tergelap
masyarakat. Bagaikan lilin kecil yang menerangi setiap sudut, hingga teranglah
bumi ini. Saya membayangkan masyarakat Indonesia tinggal di pulau tanpa cahaya,
hingga mata menjadi buta dan langkah terseok-seok. Bukan cahaya dalam arti fisik,
tapi cahaya hidup, cahaya ilmu. Bukankah ilmu adalah cahaya dan buku adalah
sumber ilmu. Karena buku adalah jendela dunia. Sebaik apapun tayangan televisi
yang katanya mendidik, tetap akan berbeda dengan buku. Buku memiliki kelebihan yang
tak dimiliki oleh televisi maupun sumber informasi lain. Buku adalah cara
tertua untuk mewariskan ilmu. Lalu bagaimana jika masyarakat kita jauh dari
akses buku? Jauh dari suka terhadap buku? Jauh dari minat membaca? apalagi jauh
dari minat menulis? Jauh dari aktivitas literasi?
Sudah
banyak negara maju yang telah membuktikan bahwa kemajuan suatu bangsa tak lepas
dari pendidikan, dari budaya baca dan literasi. Seperti Jepang, inggris,
amerika, dll. Lalu bagaimana kondisi
Indonesia? Dilansir dari data Unesco pada tahun 2012, minat baca masyarakat
Indonesia hanya sebesar 0,001 % yang berarti hanya satu orang di antara 1000
orang yang memiliki minat baca. Bahkan literasi Indonesia berada di urutan
kedua dari bawah diantara 65 negara yang diteliti dalam penelitian yang
dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA).
Dengan kondisi seperti ini, bagaimana Indonesia akan siap menghadapi bonus
demografi yang disebut sebagai generasi emas? Yakin generasi 2045 bisa menjadi
generasi emas melihat kondisinya masih seperti ini?
Saya
kagum dan salut sekali, kepada teman-teman yang gigih berjuang lewat TBM demi
mempersiapkan bonus demografi untuk Indonesia hebat. Seperti yang di lakukan
oleh Bu Tirta (Warung Pasinaon), Den Hasan (RBI), Mbak Lizna (RBC), Mbak Desi
(Imara), Mbak Anis (Tabaca) dll. Seringkali saya malu sendiri, kata hati
berkata, “Lho Sal, dirimu yang lulusan PLS harusnya bisa lakukan kayak mereka
juga dong.” Lalu di jawablah oleh saya sendiri, “Iya, semua ada masanya kok.
Sekarang nabung buku dan pengalaman dulu. Besok bareng suami bakal berjuang
bareng-bareng.” Diskusi dalam khayalan pun terputus, tersebab sesuatu yang
masih rahasia. Hehehe. Ngerasa lebih adem ces pleng lagi ketika ditawari
jadi ranger (relawan) untuk bantu kegiatan TBM. Intinya enggak usah
nunggu punya TBM baru bergerak dan berjuang mewujudkan Jepara ramah literasi.
Apapun sekecil apapun yang dilakukan asal bermanfaat, itu sudah lebih baik
daripada hanya diam.
Saya
ingin sedikit bercerita, tentang awal mula saya yang enggak punya TBM kok bisa
gabung di komunitas TBM Jepara. Hari itu adalah hari buku. Kebetulan teman
facebook saya Mas Redy Kuswanto sedang mengadakan give away dengan
hadiah buku terbarunya “101 Dongeng Sebelum Tidur” yang berisi 80 dongeng
Nusantara dan 21 dongeng mancanegara. Sejak lihat covernya jauh-jauh hari saya
sudah naksir. Namun saya belum bisa beli, karena uang sedang dianggarkan untuk
yang lain. Kebetulan pas ada GA iseng-iseng saya coba ikut, syaratnya
menuliskan harapan tentang perbukuan di Indonesia. Dari tulisan itu saya
kemudian update status tentang cita-cita saya mendirikan TBM. Bukan main
beruntungnya saya ketika kemudian Den Hasan menawari mengajak acara diskusi TBM
bersama Bu Tirta di Dewan Kerja Jepara.
Dan beruntung pula karena meski telat saya masih sempat ikut acara itu.
Peserta yang hadir kemudian sepakat membuat grup WhatsApp sebagai
ajang komunikasi. Diskusi berlanjut hingga visi untuk membentuk Jepara ramah literasi.
Berdasarkan
pertemanan yang sederhana itu, saya kemudian dapat menyimpulkan bahwa tidak
penting kamu lulusan apa, dari sekolah mana, bagaimana status sosialmu, asal
bisa menjadikan hidup yang amat singkat ini menjadi bermanfaat untuk sesama,
bangsa dan agama. Itu baru hebat. Karena mereka yang hebat bukan mereka yang
berdasi, berlabel PNS, atau memilki rekening gendut. Mereka yang hebat adalah
mereka yang tak henti belajar dan mengabdi. Banyak belajar banyak berbagi. Dan
semua itu kuncinya hanya mau, mampu dan menyempatkan. Sebagaimana apa yang di dawuhkan
oleh Abah M. Masyrokhan (Pengasuh PP. Durrotu Aswaja Gunungpati Semarang)
bahwa hidup adalah perjuangan. Perjuangan adalah pengorbanan. Pengorbanan
adalah keihkhlasan. Keikhlasan adalah ruh penggerak kehidupan. Hidup itu
indahnya menggarap PR surga.
Memiliki
kemauan, niat, tekad, adalah awal membuka jalan. Banyak tokoh anime seperti
Naruto dan Luffy (one piece) mampu melampaui batas kekuatan mereka
karena tekad mereka kuat dan kokoh. Apalagi kemauan yang baik, niat yang sholih
itu akan membuka 70 pintu hidayah Allah. Dan barang siapa yang mendapat hidayah
tentulah mendapat kemuliaan dari Allah. Hal tersebut disampaikan oleh Al Habib
Hasan Al Jufry (Semarang) dalam majlis selapanan Nurusholihin di Masjid Agung
Jepara. Selanjutnya adalah kemampuan. Kemampuan bisa dimiliki dengan belajar.
Namun yang tersulit dari semua itu adalah menyempatkan, istiqomah.
Mempertahankan TBM tetap eksis, bermanfaat dan menarik minat warga. Karena
kecenderungan setiap orang adalah mementingkan ego sendiri dan mudah bosan.
Saya
berharap visi Jepara ramah literasi, dapat terwujud. Tentu hal tersebut
membutuhkan bantuan dan kerjasama dari semua pihak tidak saja TBM di Jepara
namun juga keluarga, sekolah, pemerintah dan masyarakat Jepara pada umumnya.
Dari Jepara ramah literasi untuk Indonesia yang berdikari.
Jepara, 29 Juli 2017
Identitas
Penulis
Noor
Salamah, atau akrab juga disapa Salma. Saking lebih populer nama akun medsosnya
Salma Van Licht daripada nama aslinya. Hanyalah manusia biasa yang ingin
menjadikan hidup lebih bermaanfaat dan berguna. Lahir bulan Juni tahun 1994,
berzodiak cancer. Bercita-cita sebagai penulis dan mendirikan TBM.