Kartini Masih Tegak Berdiri
Dari kecil hingga aku dewasa, ia masih saja tegak berdiri.
Tangannya memegang obor sedangkan satu tangan lainnya memegang erat lengan
seorang anak kecil. Aku tak tau pun aku tak kenal siapakah anak kecil yang
mendapat kehormatan dipegang oleh sang penerang di kala gelap. Apakah aku iri
kepada si anak kecil itu, tidak buat apa aku iri. Apakah aku cemburu, entahlah
barang kali iya.
Hari ini genap sudah 136 sang penerang itu hadir dengan obor mimpi
dan cita-citanya, sudah sangat tua namun ia masih tegak berdiri. Ia masih saja
awet muda, dan anak kecil itu tak kunjung dewasa jua. Ia menjadi saksi
perjalanan peradaban negeri ini. Apakah pencapaian peradaban bangsa ini
sekarang sudah sesuai dengan yang dicita-citakannya dahulu, entahlah. Banyak
demonstrasi menuntut diwujudkannya emansipasi wanita, katanya kesetaraan gender.
Seperti inikah yang diharapkan sang penerang di kala gelap? Entahlah.
Pertanyaan pertanyaan itu masih juga belum terjawab, begitu pula dengan sebuah
pertanyaan besar dalam hidupku. Mengapa aku dilahirkan di dunia ini? Apa tujuan
hidupku? Dan mengapa aku mesti memiliki nama yang sama dengan sang penerang?
Namaku Kartini, tapi
aku bukan ningrat yang menyandang gelar raden ayu. Apakah aku keturunan Kartini
yang diidolakan semua anak bangsa?
Bukan. Aku hanya anak Jepara yang terlahir dari keluarga biasa. Tinggal di desa
anak seorang petani biasa. Sekolahku tak tinggi, hanya mampu tamat SMK. Sudah
setahun lebih aku bekerja di sebuah meubel di Jepara Kota, alhamdulillah
keahlianku di bidang akutansi cukup mampu menolongku untuk mendapatkan
pekerjaan lebih baik daripada sekedar buruh amplas atauh buruh semprot.
Setiap hari ketika
pagi dan sore aku selalu melewati tugu Kartini yang masih berdiri tegak di
lingkar jalan RA. Kartni, Jalan Pemuda, jalan KS. Tubun dan jalan HOS
Cokroaminoto. Dalam perjalanan itu waktuku seringkali tersita dengan berbagai
pertanyaan dalam hidup, terutama tentang maksud dari namaku.
“Happy Kartini
Day’s and Happy Birthday Kartini.”
Teman satu
kerjaku, Retha mencium pipi kiri dan kananku. Aku cukup glagapan dengan
tingkahnya. Terakhir ia memasukkan sebuah kado besar dan berat ke dalam tasku
sambil mengedipkan mata dan tersenyum centil.
“Terima kasih
Retha,” ucapku singkat, Retha kembali tersenyum.
Mataku masih
mengekor sosok patung Kartini yang semakin mengabur. Angkot ini rasanya
berjalan terlalu cepat sehingga aku tidak bisa lama-lama menikmati perjumpaanku
dengan sang penerang.
“Kakak sudah
pulang?”
Adikku Sarah yang
berumur empat belas tahun menyodorkan segelas air putih untukku. Aku
menerimnya, meneguknya air di dalamnya tandas tak bersisa.
“Adik mau kemana?”
“Ngaji kak, sebuah
kelas pengajian Al Qur’an baru saja di bukak di mushola depan rumah. Ustadznya
cakep lho kak, hehehe... Sarah berangkat dulu ya Kak, assalamualaikum,”
Sarah mencium punggung tanganku lantas pergi.
Sebentar
mengendorkan badan, aku lantas mandi dan mendirikan salat magrib. Membaca
beberapa lembar Al Quran, dilanjut beberapa doa yang aku hapal. Tiba-tiba aku
teringat kado pemberian Retha. Aku ambil tas kerja, membuka kado. Ternyata
isinya sebuah buku biografi RA. Kartini. Di sana terselip sebuah tulisan tangan
Retha yang rapi.
Aku masih ingat
kau pernah bercerita bahwa kau belum juga menemukan jawaban atas pertanyaanmu.
Mengapa namamu Kartini? Sahabat aku tidak tau bagaimana cara pasti yang bisa
membantumu menjawab pertanyaan itu. Buku ini hanyalah kado sederhana yang
semoga bisa membantu menjawab pertanyaanmu. Kartini, jika kedua orang tuamu
mengharapkan kau mampu mewujudkan cita-cita RA. Kartini, dan menjadi sosok
Kartini masa kini, maka hendaknya kamu harus membaca biografi Kartini. Memahami
pemikiran RA. Kartini, memahami apa yang benar-benar dicitakannya, dan memahami
pergolakannya. Semangat Kartni J
Rasa penasaran
membuat Kartini segera membuka lembar demi lembar buku biografi itu. Malam
semakin larut, ketika ia sudah mencapai cerita masa kanak-kanak kartini. Sebuah
paragraf begitu melekat dihatinya.
Tanda-tanda
perjuangan emansipasi yang dilakukan Kartini, telah nampak sejak ia baru
berumur enam setengah tahun. Kartini ingin sekolah. Inilah yang menimbulkan
kebingungan keluarganya. Sebab pada masa itu, yang boleh sekolah hanya anak
laki-laki dan anak perempuan keturunan
Belanda yang boleh sekolah. Sementara anak perempuan orang pribumi, dilarang.
Membaca
paragraf itu membuat aku berpikir tentang mimpi yang sempat aku kubur.
Melanjutkan studi. Jika dimasa RA. Kartini, halangan untuk belajar terletak
pada tradisi, lain halnya dengan diriku halangan itu ada pada biaya. Aku anak
pertama, kedua orang tuaku sudah tiada, aku masih harus menanggung biaya
kehidupan keluarga juga sekolah adik-adikku. Ada Sarah yang masih SMP dan ada
Faruq yang masih SD. Melanjutkan studi, bisakah
mimpi itu terwujud? S1, S2, hingga S3? Bayang bayang diriku memakai
kebaya yang indah bertutup jubah serta toga melayang-layang dalam khayalku.
Hingga bayang-bayang itu menghantarkanku terlelap terbuai dengan mimpi indah.
Disela-sela
pekerjaanku aku menyempatkan untuk membaca biografi RA. Kartini. Hasratku untuk
menuntaskan buku itu sungguh menggebu-gebu. Kali ini aku sampai pada
surat-surat Kartini. Bergetar hatiku membaca surat-surat itu. Membayangkan
betapa Kartini amat tersiksa dengan problematika bangsa. Kartini begitu memikirkan
nasib kaum perempuan pribumi. Mereka kaum yang mendapatkan perlakuan tidak
adil.
Perempuan itu
jadi soko guru peradaban.
Kalimat itu begitu
melekat di hatinya. Apa maksudnya kalimat itu?
Sabtu itu, aku
pula lebih cepat. Kesempatan ini kemudian aku gunakan untuk jalan-jalan sekedar
menikmati suasana kota. Tanpa arah aku berjalan seturut langkah. Langkahku
melambat ketika aku menyaksikan, di dalam sebuah balai dengan atap rumbia
seorang wanita seumuranku sedangkan mengajar sekelompok anak usia dini. Anak-anak
itu terlihat ceria dan bersemangat tak kalah dengan sang guru. Tiba-tiba
segerombolan anak itu berpencar, aku masih berdiri mematung, menyaksikan setiap
adegan yang diputar dihadapanku. Seorang gadis kecil berkuncir dua, matanya
besar dan jernih mengingatkan aku pada Sarah di waktu kecil, menyodorkanku
sebungkus permen. Dengan lidah cadelnya ia berkata.
“Emen, ukak...”
Aku membungkuk
agar lebih dekat dengan gadis kecil itu, aku sobek bungkus permen lalu aku
serahkan permen itu untuknya. Ia balik badan, tapi dihalangi oleh sang guru.
Guru itu menuntun gadis kecil ke arahku.
“Ayo bilang apa
sama kakak? Makasih...”
Gadis kecil itu
menirukan ucapan sang guru.
“Makashih..”
“Pintar, salim dulu sama kakak,” guru itu mengarahkan tangan gadis kecil
arahku, aku menerimanya. “Tiara gabung sama temen-temennya ya disana,” gadis
kecil bernama Tiara itu menurut.
“Apakah Mbak calon guru baru disini? Kenalkan namaku Rukmini,”
pertanyaan itu membuatku kaget.
“Namaku Kartini, tapi aku bukan calon guru baru Mbak. Aku kesini
sekedar jalan-jalan aja, hehe...”
“Oh begitu, tak kira calon guru baru. Maklumlah disini kita
kekurangan guru. Barangkali Mbak berminat? Datang aja kesini, minimal lulusan
SMA sederajat, sabar, cinta sama anak-anak, itu udah cukup. Oh ya namaku
Rukmini namamu Kartini barangkali kita kakak adik? Hehehe...”
“Bisa jadi Mbak, dikehidupan sebelumnya tapi. Atau kita adalah
Rukmini dan Kartini masa kini?” balasku dengan canda.
“Wah bisa jadi itu mbak.”
Mengobrol sebentar
aku lantas ijin pamit. Aku terus berjalan tanpa terasa aku sudah berada di depan
Tugu Kartini. Menyaksikan sosoknya yang masih tegak berdiri.
Atau kita
adalah Rukmini dan Kartini masa kini?
Kartini itu adalah
namaku, namun apakah aku telah mampu menjadi representasi dari RA. Kartini? Apa
sebenarnya yang diharapkan Bapak dan Ibu ketika menamakanku Kartini?
Perempuan itu
jadi soko guru peradaban.
Kalimat itu masih
terngiang di telingaku. Semakin aku renungkan, yang muncul justru sebuah bayangan
tawaran membantu mengajar ngaji anak-anak kampung di mushola depan rumah.
Pekerjaan kantor, guru PAUD, guru ngaji? Manakah yang terbaik untukku? Jika aku
menjadi guru PAUD aku harus meninggalkan
pekerjaan lamaku. Tapi jika kau menjadi guru ngaji aku tidak harus meninggalkan
pekerjaan lamaku. Dunia dapat akhirat dapat. Ya, itu sepertinya keputusan yang
bagus dan sesuai untukku. Meski kontribusiku kecil tak sebesar RA. Kartini,
tapi aku ingin mengadikan diri untuk negeri ini demi menyongsong peradaban yang
lebih baik. Aku, dan perempuan lain negara ini adalah soko guru peradaban, kami
adalah guru utama bagi anak-anak kami bagi lingkungan kami. Anak-anak kami
itulah yang kemudian akan berwarnai peradaban negeri ini. Di masa kini, berkat
suara-suaramu wahai Ibu Kita Kartini, kami perempuan Indonesia telah mempu
merasakan manisnya pendidikan setara dengan kaum pria. Tugas berikutnya adalah
memanfaatkan fasilitas yang sudah kami terima untuk mewujudkan cita-cita bangsa
ini melalui peran kami sebagai soko guru peradaban. Betapa bahagianya, aku
telah menemukan jawaban atas pertanyaan terbesarku. Terima kasih Ibu Kartini
tanpamu apa jadinya aku.
***
Biodata Penulis
Noor Salamah, lahir di Kota Ukir Jepara. Putri pasangan Bapak M.
Ma’ruf (Alm) dan Ibu S. Muzaronah yang berzodiak cancer ini sangat hobi menulis
dan membaca. Ia bisa dihubungi melalui fb : salma van licht, twitter
:@salma_skylight.