Read More

Slide 1 Title Here

Slide 1 Description Here
Read More

Slide 2 Title Here

Slide 2 Description Here
Read More

Slide 3 Title Here

Slide 3 Description Here
Read More

Slide 4 Title Here

Slide 4 Description Here
Read More

Slide 5 Title Here

Slide 5 Description Here

Jumat, 26 Juni 2015

Pencarian Bunga Matahari yang Mekar Pertama*

Judul               : Bulan
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Umum
Tahun terbit     : 2015
Tebal               : 400 halaman

Sinopsis
Novel bulan ini menceritakan petualangan tiga orang anak yang datang dari klan yang berbeda. Ali dari Klan Bumi, Seli dari klan matahari, dan Raib dari klan bulan. Mereka berusia 15 tahun dan baru kelas sepuluh SMP, mereka sama seperti remaja lain yang hidup di Klan Bumi.
Ketiga anak tersebut mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Ali orangnya sangat aneh dan lucu, namun dia sangat genius dan pintar dibidang ilmu biologi dan fisika. Dia menciptakan benda-benda yang unik dan dia keturunan asli klan bumi. Seli seorang anak yang asli keturunan dari Klan Matahari mempunyai kekuatan dapat mengeluarkan petir dari telapak tanganya dan dapat menggerakkan benda dari jauh. Semua kekuatan yang dimiliki itu berasal dari sarung tangan yang dimiliki dari klan matahari. Sedangkan Raib mempunyai kekuatan dapat meruntuhkan salju dan dapat menghilangkan diri dengan sarung tangan yang dimiliki dari Klan Bulan.
Pada saat liburan sekolah mereka akan melakukan perjalanan ke Klan Matahari dengan tujuan untuk mengadakan diplomasi agar Klan Bulan dan Klan Matahari kembali bersekutu. Dengan ditemani Av, Ily (anak sulung Ilo, orang yang berjasa bagi Raib dan teman-temanya selama di klan bulan) dan Miss Selena, Raib dan kedua sahabatnya pergi ke Klan Matahari menggunakan buku ‘matematika’ milik Raib. Melalui portal tersebut, dengan sekejab mereka telah tiba di Klan Matahari tepat di stadion. Kedatangan mereka disambut dengan khusus, apalagi saat itu di Klan Matahari ada Festival Bunga Matahari, yaitu sebuah kompetisi untuk mencari bunga matahari yang mekar pertama kali. Kompetisi tersebut biasanya diikuti oleh sembilan kelompok, akan tetapi faestival kali ini berbeda. Kedatangan rombongan dari Klan Bulan membuat ketua konsil Matahari menginginkan rombongan dari Klan Bulan mengikuti kompetisi berbahaya tersebut. Akhirnya Raib, Ali, Seli, dan Ily menjadi kelompok kesepuluh.
Semua peserta mengambil pintu ke luar yang berbeda-beda dan mereka berpetualang ke pelosok negeri klan matahari untuk mencari bunga matahari yang mekar pertama kali. Berbagai rintangan harus mereka hadapi, mereka juga harus mendengarkan alam untuk mendapatkan petunjuk dalam menemukan bunga matahari. Dalam perjalanan mereka sangat seru, namun dalam kompetisi tersebut banyak peserta yang meninggal. Dalam kompetisi tersebut kelompok dari Klan Bulan banyak mendapatkan pengalaman dan mereka yang akhirnya berahasil memenangkan kompetisi tersebut.

Kelebihan
Kelebihan dari novel karangan Tere Liye tersebut yaitu penggambaran setting waktu dan tempatnya. Pada bagian tersebut yang sangat menarik, penggambaran tempatnya benar-benar membuat pembaca bisa membayangkanya dan seakan-akan berada di tempat tersebut walaupun hanya dengan membaca novelnya. Pada saat kompetisi mencari bunga matahari tersebutlah cerita yang paling seru.

Kekurangan

Bahasa yang digunakan dalam novel bulan ini masih ada yang sulit dipahami pembaca dan menggunakan istilah-istilah ilmiah.

Sri Utami, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Unnes Semester VI. Santri Pondok Pesantren Durrotu Ahlissunnah Waljama'ah Banaran Sekaran Gununpati. Asal Jeapara, bisa dihubungi via Fb di Sri Utami. 
Read More

Kamis, 30 April 2015

Negeri Saba itu adalah Indonesia

Negeri Saba itu adalah Indonesia

Oleh Noor Salamah

Judul Buku      : Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman
Penulis               : K.H. Fahmi Basya
Penerbit            : Zaytuna, Jakarta
Cetakan             : ke-V, September 2013
Tebal                    : VII + 251 Halaman
ISBN                     : 978-620-1835-13-5

Kata Saba’ di dalam Alquran disebut sebanyak tiga kali, dua di antaranya terdapat dalam surah An-Naml ayat 22 dan surah Saba’ ayat 15. Berbicara tentang Negeri Saba’ tentu takkan terlepas dari kisah Nabi Sulaiman as bersama Ratu Bilqis, semut, dan burung Hud-hud. K.H. Fahmi Basya menjelaskan bahwa sesungguhnya kisah Nabi Sulaiman as itu terjadi di Negeri Saba’. Lantas di manakah negeri itu berada? Dalam bukunya yang berjudul Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman, K.H. Fahmi menjelaskan bahwa Negeri Saba’ itu tak lain adalah Indonesia.
Melalui ilmu Matematika Islam, penulis berusaha menjelaskan mengapa Indonesia disebut sebagai Negeri Saba’. Sebuah negeri yang digambarkan dalam Alquran sebagai negeri yang Baldatun Toyyibatun. Ada 40 bukti eksak yang menandakan bahwa  Indonesia adalah Negeri Saba’.  Ke-40 bukti itu di antaranya adalah ditemukannya sebuah plat emas dalam kolam di Istana Ratu Boko bertuliskan nama Tuhan yang Maha Tinggi.
Sesuai firman Allah Surah An-Naml ayat 30.  Banyak orang menyangka bahwa patung-patung di Borobudur dibuat dengan cara dipahat. Anggapan ini dibantah oleh penulis. Menurutnya patung-patung itu dibuat dengan cara dibentuk seperti halnya membentuk mentega. Ini terbukti dengan adanya beberapa relief rambut diplintir, patung dengan jenggot terulur, mayang terurai serta batu gangsing. Dan yang menarik ada sebuah relief yang menggambar seorang wanita sedang menyingsingkan kain, karena ia mengira ia berjalan di atas air.
Cerita ini serupa dengan apa yang Allah firmankan dalam Surah An-Naml ayat 44.  Di dekat daerah Candi Borobudur terdapat sebuah daerah bernama Wonosobo yang dalam bahasa Jawa Kawi artinya Hutan Saba. Bukti lain, adalah Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau jika diamati bentuk Indonesia seperti tulang yang berserakan. Hal terjadi karena Negeri Saba pernah mengalami sebuah banjir bandang sehingga menenggelamkan sebagian wilayahnya (Surah Saba ayat 16). Ayat ini juga menjelaskan bahwa setelah banjir tumbuhlah sebuah buah yang pahit rasanya, yang sekarang kita kenal dengan nama Majapahit. Nah, coba renungkan. Bukankah hanya Nabi Sulaiman yang sangat erat hubungannya dengan nama-nama Jawa? Seperti Supardi, Suparlan, Suparman, Suhendra, Sutrisno, Sukarno, Suharto? Nama itu diawali dengan kata Su.
                Dalam bukunya, penulis menyusun hipotesis itu berdasarkan pengolahan ilmu Matematika Islam dan firman-firman Allah dalam Alquran. Sangat sulit bagi orang awam untuk memahami Matematika Islam, ilmu ini mungkin tergolong baru. Dengan berbagai perhitungan yang melibatkan ayat dan surat dalam Alquran, penulis mengotak-atiknya menjadi sebuah rumusan sistem Balok Alquran.
Penulis mengutip ayat-ayat sebagai dasar dari hipotesisnya. Ini baik, karena Alquran adalah penjelas tiap sesuatu dan bahkan mengoreksi yang ada di hadapannya. Ini bukan ilmu yang mudah, mengambil ayat dalam Alquran haruslah berhati0hati. Karena seringkali menimbulkan multitafsir. Perlu ilmu yang dalam terutama dalam bidang Tafsir Alquran yang tidak boleh menggunakan pendapat sendiri (biro’yi)Hanya Allah yang tahu kebenaran atas semua ini. Namun, kita sebagai bangsa Indonesia wajib bersyukur karena dikaruniai negeri yang gemah ripah loh jinawi, baldatun toyyibun wa Robbun ghofuur.



Read More

Memaknai Kartini di Era Globalisasi

Memaknai Kartini di Era Globalisasi

“Habis gelap terbitlah terang,” quotes itu begitu terkenal dan melekat erat dengan sosok Kartini. Namun tak banyak orang yang tau dengan quotes Kartini yang lain yaitu, “Perempuan itu jadi soko guru peradaban.” Quotes itu ditulis Kartini dalam sebuah suratnya yang dikirim kepada Abendanon pada tanggal 21 Januari 1901. Pernyataan itu menjelaskan bahwa jauh dimasanya Kartini telah berpikir tentang kemajuan bangsanya, Bangsa Indonesia, dan kemajuan bangsa tidak akan lepas dari peran seorang wanita sebagai pendidik di dalam keluarga.
Tugas utama Ibu adalah mendidik anak. Ia adalah guru pertama dan yang utama. Ironis bila pendidikan anak yang nantinya akan jadi penentu peradaban bangsa justru diserahkan kepada orang lain, baby sitter misalnya hanya karena orang tua terutama Ibu sibuk dengan pekerjaannya. Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi diketahui jumlah wanita bekerja pada tahun 2006 sejumlah 33.312.775.000 orang. Berdasarkan hasil penelitian Deni (2008), terkait dampak peran ganda pada ibu bekerja menunjukkan bahwa 1) Bagi ibu yang berperan ganda, keluaga dan pekerjaan sama pentingnya, meski begitu keluarga tetap menjadi prioritas utama. 2) Usia anak sangat berpengaruh pada tingkat bersalah kecemasan dan kesedihan yang dialami ibu bekerja. 3) Penyebab utama stres pada ibu bekerja adalah perannya sebagai pekerja yang meliputi beban pekerkaan dan konflik rekan kerja namun keluarga yang menjadi "kambing hitam". 4) Ketidakberdayaan muncul sebagai akibat dari frustasi yang dialami ibu bekerja karena tidak mampu menjalankan perannya dengan maksimal. 5) kondisi ekstrim yang sangat berpengaruh pada kondisi ibu bekerja dalam menjalankan peran gandanya adalah ketika anak sedang sakit. 6) Sekalipun lebih banyak dampak negatif dibandingkan dampak postif yang muncul saat menjalankan peran gandanya namun tidak semua ibu bekerja bersedia meninggalkan pekerjaannya.
Meskipun ibu bekerja tetap memprioritaskan keluarga namun padanya kenyataanya ketika terdapat masalah seputar pekerjaan keluarga pulalah yang menjadi kambing hitam. Dalam kondisi seperti ini siapakah yang mampu menenangkan sang Ibu? Apakah ayah? Sangat riskan jika pada saat itu Ayah juga mengalami masalah dengan pekerjaannya. Konflik bukannya mereda tapi justru semakin memanas. Akibat terparah yang muncul adalah perceraian. Lagi keluarga terutama anak menjadi korban.
Apakah Tenaga Kerja Wanita (TKW) penyumbang devisa terbesar negara adakah sosok Kartini di era globalisasi?
Jika predikat Kartni dilekatkan dengan indikator pengabdian kepada negara dan seberapa besar ia menyumbang uang untuk negara, barangkali TKW termasuk sosok Kartini di era globalisasi. Namun, apakah kriteria itu benar-benar mencerminkan Kartini? Jika dilihat dari pemikiran Kartini, betapa Kartini begitu memperhatikan kaum perempuan terutama nasib dan pendidikannya hal ini didasari bahwa Kartini percaya perempuan adalah soko guru peradaban. Kartini sadar betul bahwa seorang Ibu secara kodrati adalah seorang pendidikan yang pertama dan pertama. Keberhasilan pendidikan anak tidak akan lepas dari seberapa terdidiknya sang Ibu. Keberhasilan pendidikan anak inilah yang kemudian menjadi penentu maju tidaknya peradaban sebuah bangsa.
Apakah kondisi seperti ini dimana banyak ibu menjalani peran ganda, menjadikan keluarga sebagai kambing hitam dikala ada masalah pekerjaan, rasa frustasi yang seringkali muncul, serta dampak negatif lainnya merupakan bentuk emansipasi yang diharapkan dari Kartini?
Bukan maksud penulis melarang wanita untuk bekerja. Namun sebagai wanita yang cerdas dan tau kodrat, seorang wanita harus pintar memilih pekerjaan. Mencari nafkah adalah tugas utama Ayah, Ibu hanya membantu sedangkan fungsi utama ibu dalam keluarga adalah mendidik anak, sebaliknya Ayah hanya membantu. Pernyataan ini juga tidak bermaksud mengesampingkan peran Ayah sebagai seorang pendidik, bagaimana pun keberhasilan pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh kedua orang tua. Mengapa peran Ibu lebih dominan dalam usaha pendidikan anak? Karena sejak di dalam kandungan anak telah mendapatkan pendidikan dari sang Ibu. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah jenis pekerjaan apakah yang bisa dijalankan seorang Ibu agar tetap mampu menjalankan perannya sebagai pendidik secara optimal? Ada banyak sekali jenis pekerjaan di dunia ini, setidaknya kriteria yang bisa digunakan untuk menjadi masukan bagi ibu bekerja adalah sebagai berikut ;
1.      Prosentase waktu bekerja lebih sedikit daripada prosentase waktu di rumah bersama keluarga
2.      Jenis pekerjaan tidak terlalu mengikat sang Ibu, akan lebih baik jika Ibu menjadi pengusaha home industry yang bebas dan bisa mengatur waktunya sendiri tanpa aturan dari siapapun
3.      Libatkan sang anak dalam pekerjaan sang Ibu, hal ini akan membuat anak paham kondisi Ibu di dalam keluarga selain itu menjadi sebuah pelajaran tersendiri bagi anak tentang nilai-nilai kerja keras dan berbakti pada orang tua
4.      Hindari pekerjaan yang menuntut waktu lebih lama di luar rumah seperti TKW, buruh yang seringkali lemburan
5.      Libatkan Ayah-suami dalam memutusakan pekerjaan, karena mau tidak mau jika nanti Ibu tidak mampu menjalankan perannya maka Ayahlah yang akan mengambil alih peran Ibu.
6.      Ibu yang mawas diri haruslah mampu bertindak profesional dengan tidak mencampur adukkan urusan/masalah pekerjaan dengan urusan rumah
7.      Jika memang sangat terpaksa delegasikankan anak kepada orang yang dipercaya, bisa orang tua, saudara, tetangga atau baby sitter.
Sekali lagi, yang diharapkan Kartini adalah seorang Ibu yang mampu menjalankan perannya sebagai pendidik secara optimal terlebih di era globalisasi yang seluruh informasi entah baik atau buruk membaur menjadi satu. Ironis ketika penulis membaca dalam sebuah artikel bahwa ada ibu baru yang lebih mempercayakan mekanisme perlakuan kepada anaknya yang masih kecil berdasarkan informasi di internet semata. Ironis pula bila predikat wanita hebat lebih dilekatkan pada sosok wanita yang hanya sukses karirnya di dunia saja. Wanita yang hebat adalah wanita yang sukses menghantarkan suami dan anak-anaknya menjadi pribadi yang hebat, membanggakan agama, bangsa dan negara, mewujudkan peradaban bangsa sesuai dengan yang dicita-citakan. Perempuan itu jadi soko guru peradaban.
***
Daftar Pustaka : Ratnawati, Deni. 2008. Dampak Peran Ganda Pada Ibu Bekerja. Semarang : Skripsi Universitas Katolik Sugiprajanoko.
***
Biodata Penulis
Noor Salamah, lahir di Kota Ukir Jepara. Putri pasangan Bapak M. Ma’ruf (Alm) dan Ibu S. Muzaronah yang berzodiak cancer ini sangat hobi menulis dan membaca. Ia bisa dihubungi melalui fb : salma van licht, twitter :@salma_skylight.

                                                                                                                           
Read More

Jepara Kota Kartini

Jepara Kota Kartini

Tersebutlah Kartini, maka orang akan ingat Jepara
Bukan Kartini pemiliki pasir putih yang indah
Bukan pula Kartini pemilik kura-kura yang gagah
Ia Kartini sang penyuluh suci sang penyuluh budi
Jepara tentu bangga memiliki putri seperti Kartini
Penerus perjuangan Ratu Shima juga Ratu Kalinyamat yang kharismatik

Jepara tak rindukah kau pada Kartini?
Ataukah kau kini telah temukan sosok Kartini dalam diri putri-putrimu?
Apakah sosok itu kau temukan dalam ajang pemilihan putra-putri Jepara?
Atau kau temukan sosok itu dalam diri seorang guru yang tengah mendidik bangsamu?
Ataukah kau temukan sosok itu dalam diri seorang ibu yang sedang berjuang mendidik anaknya?

Kartini, dengan obornya yang terus membara ia tegak berdiri di jantung peradaban Jepara
Menjadi saksi hasil pendidikan bangsa
Tak miriskah engkau Kartini melihat putri-putrimu berlalu lalang dengan rok mini?
Muda-mudi menyudutkan diri di sudut kota yang remang-remang?
Apakah pendidikan seperti ini yang kau harapkan terwujud?
Sebuah pendidikan yang terus kau perjuangan.
Ahh Kartini, barangkali bangsa ini telah membuatmu terluka lagi kecewa
Tentulah dalam diammu dalam tegak tegarmu kau teteskan air mata untuk bangsamu
***
Biodata Penulis

Noor Salamah, lahir di Kota Ukir Jepara. Putri pasangan Bapak M. Ma’ruf (Alm) dan Ibu S. Muzaronah yang berzodiak cancer ini sangat hobi menulis dan membaca. Ia bisa dihubungi melalui fb : salma van licht, twitter :@salma_skylight.
Read More

Kartini Masih Tegak Berdiri

Kartini Masih Tegak Berdiri

Dari kecil hingga aku dewasa, ia masih saja tegak berdiri. Tangannya memegang obor sedangkan satu tangan lainnya memegang erat lengan seorang anak kecil. Aku tak tau pun aku tak kenal siapakah anak kecil yang mendapat kehormatan dipegang oleh sang penerang di kala gelap. Apakah aku iri kepada si anak kecil itu, tidak buat apa aku iri. Apakah aku cemburu, entahlah barang kali iya.
Hari ini genap sudah 136 sang penerang itu hadir dengan obor mimpi dan cita-citanya, sudah sangat tua namun ia masih tegak berdiri. Ia masih saja awet muda, dan anak kecil itu tak kunjung dewasa jua. Ia menjadi saksi perjalanan peradaban negeri ini. Apakah pencapaian peradaban bangsa ini sekarang sudah sesuai dengan yang dicita-citakannya dahulu, entahlah. Banyak demonstrasi menuntut diwujudkannya emansipasi wanita, katanya kesetaraan gender. Seperti inikah yang diharapkan sang penerang di kala gelap? Entahlah. Pertanyaan pertanyaan itu masih juga belum terjawab, begitu pula dengan sebuah pertanyaan besar dalam hidupku. Mengapa aku dilahirkan di dunia ini? Apa tujuan hidupku? Dan mengapa aku mesti memiliki nama yang sama dengan sang penerang?
            Namaku Kartini, tapi aku bukan ningrat yang menyandang gelar raden ayu. Apakah aku keturunan Kartini yang diidolakan semua  anak bangsa? Bukan. Aku hanya anak Jepara yang terlahir dari keluarga biasa. Tinggal di desa anak seorang petani biasa. Sekolahku tak tinggi, hanya mampu tamat SMK. Sudah setahun lebih aku bekerja di sebuah meubel di Jepara Kota, alhamdulillah keahlianku di bidang akutansi cukup mampu menolongku untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik daripada sekedar buruh amplas atauh buruh semprot.
            Setiap hari ketika pagi dan sore aku selalu melewati tugu Kartini yang masih berdiri tegak di lingkar jalan RA. Kartni, Jalan Pemuda, jalan KS. Tubun dan jalan HOS Cokroaminoto. Dalam perjalanan itu waktuku seringkali tersita dengan berbagai pertanyaan dalam hidup, terutama tentang maksud dari namaku.
            “Happy Kartini Day’s and Happy Birthday Kartini.”
            Teman satu kerjaku, Retha mencium pipi kiri dan kananku. Aku cukup glagapan dengan tingkahnya. Terakhir ia memasukkan sebuah kado besar dan berat ke dalam tasku sambil mengedipkan mata dan tersenyum centil.
            “Terima kasih Retha,” ucapku singkat, Retha kembali tersenyum.
            Mataku masih mengekor sosok patung Kartini yang semakin mengabur. Angkot ini rasanya berjalan terlalu cepat sehingga aku tidak bisa lama-lama menikmati perjumpaanku dengan sang penerang.
            “Kakak sudah pulang?”
            Adikku Sarah yang berumur empat belas tahun menyodorkan segelas air putih untukku. Aku menerimnya, meneguknya air di dalamnya tandas tak bersisa.
            “Adik mau kemana?”
            “Ngaji kak, sebuah kelas pengajian Al Qur’an baru saja di bukak di mushola depan rumah. Ustadznya cakep lho kak, hehehe... Sarah berangkat dulu ya Kak, assalamualaikum,” Sarah mencium punggung tanganku lantas pergi.
            Sebentar mengendorkan badan, aku lantas mandi dan mendirikan salat magrib. Membaca beberapa lembar Al Quran, dilanjut beberapa doa yang aku hapal. Tiba-tiba aku teringat kado pemberian Retha. Aku ambil tas kerja, membuka kado. Ternyata isinya sebuah buku biografi RA. Kartini. Di sana terselip sebuah tulisan tangan Retha yang rapi.
            Aku masih ingat kau pernah bercerita bahwa kau belum juga menemukan jawaban atas pertanyaanmu. Mengapa namamu Kartini? Sahabat aku tidak tau bagaimana cara pasti yang bisa membantumu menjawab pertanyaan itu. Buku ini hanyalah kado sederhana yang semoga bisa membantu menjawab pertanyaanmu. Kartini, jika kedua orang tuamu mengharapkan kau mampu mewujudkan cita-cita RA. Kartini, dan menjadi sosok Kartini masa kini, maka hendaknya kamu harus membaca biografi Kartini. Memahami pemikiran RA. Kartini, memahami apa yang benar-benar dicitakannya, dan memahami pergolakannya. Semangat Kartni J
            Rasa penasaran membuat Kartini segera membuka lembar demi lembar buku biografi itu. Malam semakin larut, ketika ia sudah mencapai cerita masa kanak-kanak kartini. Sebuah paragraf begitu melekat dihatinya.
            Tanda-tanda perjuangan emansipasi yang dilakukan Kartini, telah nampak sejak ia baru berumur enam setengah tahun. Kartini ingin sekolah. Inilah yang menimbulkan kebingungan keluarganya. Sebab pada masa itu, yang boleh sekolah hanya anak laki-laki  dan anak perempuan keturunan Belanda yang boleh sekolah. Sementara anak perempuan orang pribumi, dilarang.
            Membaca paragraf itu membuat aku berpikir tentang mimpi yang sempat aku kubur. Melanjutkan studi. Jika dimasa RA. Kartini, halangan untuk belajar terletak pada tradisi, lain halnya dengan diriku halangan itu ada pada biaya. Aku anak pertama, kedua orang tuaku sudah tiada, aku masih harus menanggung biaya kehidupan keluarga juga sekolah adik-adikku. Ada Sarah yang masih SMP dan ada Faruq yang masih SD. Melanjutkan studi, bisakah  mimpi itu terwujud? S1, S2, hingga S3? Bayang bayang diriku memakai kebaya yang indah bertutup jubah serta toga melayang-layang dalam khayalku. Hingga bayang-bayang itu menghantarkanku terlelap terbuai dengan mimpi indah.
            Disela-sela pekerjaanku aku menyempatkan untuk membaca biografi RA. Kartini. Hasratku untuk menuntaskan buku itu sungguh menggebu-gebu. Kali ini aku sampai pada surat-surat Kartini. Bergetar hatiku membaca surat-surat itu. Membayangkan betapa Kartini amat tersiksa dengan problematika bangsa. Kartini begitu memikirkan nasib kaum perempuan pribumi. Mereka kaum yang mendapatkan perlakuan tidak adil.
            Perempuan itu jadi soko guru peradaban.
            Kalimat itu begitu melekat di hatinya. Apa maksudnya kalimat itu?
            Sabtu itu, aku pula lebih cepat. Kesempatan ini kemudian aku gunakan untuk jalan-jalan sekedar menikmati suasana kota. Tanpa arah aku berjalan seturut langkah. Langkahku melambat ketika aku menyaksikan, di dalam sebuah balai dengan atap rumbia seorang wanita seumuranku sedangkan mengajar sekelompok anak usia dini. Anak-anak itu terlihat ceria dan bersemangat tak kalah dengan sang guru. Tiba-tiba segerombolan anak itu berpencar, aku masih berdiri mematung, menyaksikan setiap adegan yang diputar dihadapanku. Seorang gadis kecil berkuncir dua, matanya besar dan jernih mengingatkan aku pada Sarah di waktu kecil, menyodorkanku sebungkus permen. Dengan lidah cadelnya ia berkata.
            “Emen, ukak...”
            Aku membungkuk agar lebih dekat dengan gadis kecil itu, aku sobek bungkus permen lalu aku serahkan permen itu untuknya. Ia balik badan, tapi dihalangi oleh sang guru. Guru itu menuntun gadis kecil ke arahku.
            “Ayo bilang apa sama kakak? Makasih...”
            Gadis kecil itu menirukan ucapan sang guru.
“Makashih..”
“Pintar, salim dulu sama kakak,” guru itu mengarahkan tangan gadis kecil arahku, aku menerimanya. “Tiara gabung sama temen-temennya ya disana,” gadis kecil bernama Tiara itu menurut.
“Apakah Mbak calon guru baru disini? Kenalkan namaku Rukmini,” pertanyaan itu membuatku kaget.
“Namaku Kartini, tapi aku bukan calon guru baru Mbak. Aku kesini sekedar jalan-jalan aja, hehe...”
“Oh begitu, tak kira calon guru baru. Maklumlah disini kita kekurangan guru. Barangkali Mbak berminat? Datang aja kesini, minimal lulusan SMA sederajat, sabar, cinta sama anak-anak, itu udah cukup. Oh ya namaku Rukmini namamu Kartini barangkali kita kakak adik? Hehehe...”
“Bisa jadi Mbak, dikehidupan sebelumnya tapi. Atau kita adalah Rukmini dan Kartini masa kini?” balasku dengan canda.
“Wah bisa jadi itu mbak.”
            Mengobrol sebentar aku lantas ijin pamit. Aku terus berjalan tanpa terasa aku sudah berada di depan Tugu Kartini. Menyaksikan sosoknya yang masih tegak berdiri.
            Atau kita adalah Rukmini dan Kartini masa kini?
            Kartini itu adalah namaku, namun apakah aku telah mampu menjadi representasi dari RA. Kartini? Apa sebenarnya yang diharapkan Bapak dan Ibu ketika menamakanku Kartini?
            Perempuan itu jadi soko guru peradaban.
            Kalimat itu masih terngiang di telingaku. Semakin aku renungkan, yang muncul justru sebuah bayangan tawaran membantu mengajar ngaji anak-anak kampung di mushola depan rumah. Pekerjaan kantor, guru PAUD, guru ngaji? Manakah yang terbaik untukku? Jika aku menjadi guru  PAUD aku harus meninggalkan pekerjaan lamaku. Tapi jika kau menjadi guru ngaji aku tidak harus meninggalkan pekerjaan lamaku. Dunia dapat akhirat dapat. Ya, itu sepertinya keputusan yang bagus dan sesuai untukku. Meski kontribusiku kecil tak sebesar RA. Kartini, tapi aku ingin mengadikan diri untuk negeri ini demi menyongsong peradaban yang lebih baik. Aku, dan perempuan lain negara ini adalah soko guru peradaban, kami adalah guru utama bagi anak-anak kami bagi lingkungan kami. Anak-anak kami itulah yang kemudian akan berwarnai peradaban negeri ini. Di masa kini, berkat suara-suaramu wahai Ibu Kita Kartini, kami perempuan Indonesia telah mempu merasakan manisnya pendidikan setara dengan kaum pria. Tugas berikutnya adalah memanfaatkan fasilitas yang sudah kami terima untuk mewujudkan cita-cita bangsa ini melalui peran kami sebagai soko guru peradaban. Betapa bahagianya, aku telah menemukan jawaban atas pertanyaan terbesarku. Terima kasih Ibu Kartini tanpamu apa jadinya aku.
***
Biodata Penulis
Noor Salamah, lahir di Kota Ukir Jepara. Putri pasangan Bapak M. Ma’ruf (Alm) dan Ibu S. Muzaronah yang berzodiak cancer ini sangat hobi menulis dan membaca. Ia bisa dihubungi melalui fb : salma van licht, twitter :@salma_skylight.


Read More

Kamis, 05 Maret 2015

Izzuddin Al-Qassam, Namanya Abadi dan Selalu Terkenang

[Ukhuwah]
Izzuddin Al-Qassam,
Namanya Abadi dan Selalu Terkenang

Brigade al-Qassam, adalah sekelompok pasukan jihat di tanah Palestina, yang berjuang melawan penindasan yang dilakukan oleh kaum zionis Israel. Al-Qassam nama ini diambil dari seorang tokoh, Izzudin al-Qassam. Seorang ulama’ dan juga pejuang.
Syaikh Izzuddin al-Qassam dilahirkan di Jabalah, Suriah, 19 November 1882. Nama lengkapnya Muhammad Izzuddin bin Abdul Qadir bin Musthafa bin Yusuf bin Muhammad al-Qassam. Dari sisi bahasa, Izzuddin artinya kemuliaan, kebanggaan atau harga diri agama (Islam). Sedangkan al-Qasam mempunyai makna keseriusan, sumpah, orang yang mengikat sumpah. Izzuddin al-Qassam dapat diartikan sebagai orang yang bersumpah untuk menjaga kemuliaan Islam.
Izzuddin al-Qassam kecil tumbuh dan berkembang di tengah keluarga yang taat dan berpegang teguh terhadap ajaran Islam. Pada masa mudanya, saat berumur sekitar 14 tahun, ayahnya mengirimkan Izzuddin ke negeri tetangga, Mesir untuk belajar di Universitas al-Azhar Kairo. Waktu itu, belajar di al-Azhar Mesir masih berbentuk talaqqi’ di masjid, yakni belajar ilmu agama Islam secara langsung kepada guru yang mempunyai keilmuan Islam. Izzuddin muda banyak menimba ilmu dari beberapa ulama berpengaruh pada masanya. Antara lain, ia banyak menimba ilmu dan ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh Syaikh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad ‘Abduh dan Abdurrahman Al-Kawakibi.
“Inilah jihad, menang atau mati syahid!” begitulah Syi’ar yang dikumandangkan bersama mujahidin Haifa, Palestina ketika melawan penjajahan Inggris, sekutu Yahudi. Izzudin melancarkan pergerakan bawah tanah dan rahasia yang tak terendus oleh musuh, dan hanya diketahui oleh sahabat-sahabat dan para mujahid yang membantunya. Namun akhirnya, aktivitas pergerakannya tercium juga oleh penjajah. Pada tanggal 20 November 1935, dalam usia 53 tahun Al-Qassam mati syahid di daerah Jenin yang kemudian lebih dikenal dengan Jenin Al-Qassam dalam perang melawan Inggris. Di balik bajunya dijumpai Al-Qur’an, uang senilai 14 junaih, dan sebuah pistol besar.
Al-Qassam dikenal luas sebagai pejuang yang semasa hidupnya mencurahkan segenap tenaganya untuk merangkul kalangan pekerja dan para petani, karena mereka adalah kelompok yang paling banyak dan siap berkorban di jalan Allah. Para pejuang Palestina selanjutnya pun menjadikan revolusi yang diawali oleh Syaikh Izzuddin al-Qassam merupakan revolusi bagi seluruh pemuda Palestina dalam melawan penjajah Inggris dan Yahudi yang ikut di belakangnya.
Oleh para tokoh pergerakan Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah(HAMAS), seperti Syekh Ahmad Yassin, Dr Ibrahim al-Muqadama, Syekh Shalah Syahadah, dan para pionir Hamas lainnya, nama Izzuddin al-Qassam dipilih sebagai nama sayap militer mereka. Brigade al-Qassam merumuskan setidaknya tiga langkah perjuangannya, yaitu menumbuhkan semangat jihad kepada kaum Muslimin di Palestina dan dunia Arab, mempertahankan setiap jengkal tanah kaum Muslimin Palestina dari pendudukan dan agresi Zionis, dan membebaskan tanah Palestina. (Salamah)


Read More

Jumat, 27 Februari 2015

Bukti Kekuasaan Allah Melalui Situs-situs dalam Al Qur’an

Bukti Kekuasaan Allah Melalui Situs-situs dalam Al Qur’an

Judul                   : Situs-situs dalam Alqur’an: Dari Hebron Hingga Borobudur
Penulis               : Syahruddin El-Fikri
ISBN                     : 978-602-8997-68-3
Penerbit            : Republika
Tebal                    : x, 192 hal: 15x23 cm
Cetakan             : I, Maret 2013

Al Qur’an merupakan salah satu mukjizat Nabi Muhammad Saw. Selain itu Al Qur’an juga sebagi pembeda, dan penjelas. Al Qur’an begitu istimewa hingga Allah sendiri telah berjanji untuk menjaga kemurnianya sampai akhir zaman. Al Qur’an tidak saja merupakan kalam yang indah, berisi petunjuk, kewajiban untuk taat dan larangan untuk maksiat. Di dalamnya juga terdapat berbagai cerita-cerita yang dapat kita ambil hikmahnya. Banyak cerita-cerita nabi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa depan yang diceritakan di dalam Al Qur’an.
Buku Situs-situs dalam Alqur’an: Dari Hebron Hingga Borobudur ini, penulis yaitu  Syahruddin El-Fikri berusaha menguraikan beberapa situs yang yang ada di Al Qur’an. Buku Situs-situs dalam Alqur’an: Dari Hebron Hingga Borobudur, merupakan buku seri ketiga dan  merupakan seri terakhir. Dua seri sebelumnya berjudul Situs-situs dalam Alqur’an : Dari Banjir Nuh Hingga Bukit Tursina dan Situs-situs dalam Alqur’an : Dari Peperangan Daud Melawan Jalut Hingga Gua Ashabul Kahfi. Buku seri ketiga meyoritas berisi tulisan tentang tempat yang masih berkaitan dengan masa-masa kenabian. Seperti Masjid Kubah batu, Masjid Jum’at, Masjid Jin, Masjid Sa’bah, khaibar dll.
Sebagai referensi dari tulisannya penulis banyak menggunakan : terjemah tafsir Ibnu Katsir, As-Sirah an-Nabawiyah Ash-Shahihah, Terjemah Hiyatu Muhammad, Pustaka Sains Populer Islami: Jejak-jejak Bangsa Terdahulu, Ensiklopedia islam, Ensiklopedia Islam pelajar dll. Injil dan Taurat juga digunakannya sebagai pembanding.
Buku ini menjadi menarik karena ketika membaca buku ini pembaca diajak untuk kembali ke masa lalu. Menelusuri jejak perjuangan dan kisah Nabi terdahulu. Adanya situs-situs tersebut menjadi bukti kebenaran Al Qur’an dan kekuasaan Allah.   (Salamah)



Read More

Kritik Pendidikan Dalam Novel Rindu

Kritik Pendidikan Dalam Novel Rindu

Judul Buku          : Rindu
Karya                     : Tere Liye
Penerbit              : Republika
Cetakan               : 1
Tahun                   : Oktober, 2014
Tebal                     : ii+544 hal, 13.5 x 20,5 cm
ISBN                      : 978-602-8997-90-4

Tere Liye, siapa tak kenal nama penulis berbakat ini? Ia telah mengahasilkan begitu banyak karya. Dan kali ini ia mengusung tema rindu dalam novelnya yang berjudul Rindu, tepat seperti namanya. Namun perlu diketuahi bahwa rindu ini bukan rindu kepada sesama manusia biasa. Novel ini tidak bercerita tentang romantisme rindu muda-mudi yang dimabuk cinta. Rindu ini lebih murni, datang dari hati tergerak oleh iman.
Novel ini bermula tentang kisah para jama’ah haji nusantara dengan setting tahun 1938 yang hendak memuaskan rasa rindu mereka. Melihat ka’bah dan masjidil haram. Menunaikan rukun iman terakhir. Ada banyak jama’ah yang berangkat haji tentu dari berbagai wilayah di Nusantara. Persinggahan kapal Blitar Holland, kapal pengangkut jama’ah haji dimulai dari Makassar, berlanjut ke Surabaya, Semarang, Batavia, Bengkulu, Padang, dan Aceh. Dikisahkan bahwa terdepat lima penumpang yang membawa berbagai pertanyaan tentang hidup ini. Pertanyaan yang sebenarnya begitu dekat dengan kita. Namun mungkin kita sendiri tak tau jawabannya atau barangkali lalai untuk melihat pembelajaran disekitar kita yang semestinya sudah menjawab pertanyaan tersebut.
Pertanyaan pertama datang dari seorang tokoh bernama Bonda Upe atau Ling-ling, ibu-ibu chainis dengan masa lalu kelam. “Aku seorang cabo (pelacur), Gurutta, Apakah Allah, apakah Allah akan menerimaku di tanah suci?” Seorang ulama’ masyhur dari Gowa, menjawab, “Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain. Dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin. Pahami tiga hal itu Nak, semoga hati kau menjadi lebih tenang.”
Pertanyaan kedua muncul dari seorang berpendidikan, pedagang kaya, memiliki keluarga bahagia, orang selalu menyangka ia, Daeng Andipati hidup bahagia. Tapi apakah benar ia hidup bahagia? Padahal yang sesungguhnya ia menyimpan kebencian yang amat sangat terhadap ayahnya sendiri. Ayahnya seorang yang ringan tangan, pedagang culas yang suka menggunakan tukung pukul. “Bagaimana mungkin aku pergi naik haji membawa kebencian sebesar ini?” kembali ulama’ yang biasa dipanggil Gurutta itu yang menjawab. “Berhenti membenci ayahmu, karena kau sedang membenci dirimu sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru, buka lembaran baru. Semoga kau memiliki lampu kecil dihatimu.”
Pertanyaan ketiga muncul dari Mbah Kakung, ia begitu sedih mendapati kenyataan Mbah Putri Slamet telah mininggalkannya. Tak bisalagi mereka bergandeng tangan menyaksikan megahnya Masjidil Haram. Mereka pasangan suami istri yang terlihat selalu mesrameski di usia yang begitu sepuh. “Kenapa harus sekarang Mbah Putri pergi? Kenapa sekarang? Disaat mereka sedang dalam perjalanan haji? Menunaikan bukti cinta mereka?” lagi-lagi Gurutta yang menjawabnya. “Pertama, yakinlah kematian Mbah Putri adalah takdir Allah yang terbaik. Kedua, biarkan waktu mengobati semua kesedihan. Ketiga, lihatlahdari penjelasan ini dari kacamata berbeda.”
Pertanyaan keempat datang dari satu-satunya kelasi pribumi, Ambo Uleng yang bermakna pemuda yang bersinar bak purnama. Seorang pemuda usia dua puluhan yang sedang patah hati karena cinta. Pergi melamar menjadi kelasi kapal Blitar Holland hanya karena ingin lari sejauh-jauhnya dari masa lalu. Melupakan orang yang amat ia cintai. “Apa itu cinta sejati? Apakah esok lusa Ambo akan berjodoh dengan gadis itu? Apakah ia masih memiliki kesempatan?” “Cinta sejati adalah melepaskan. Jika ia cinta sejatimu, dia akan kembali dengan cara mengagumkan. Jika ia tidak kembali, maka sederhana jadinya itu bukan cinta sejatimu. Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud maka teruslah memperbaiki diri sendiri. Sibuklah dengan belajar teruslah berbuat baik. Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apapun wujud kehilangan kau akan siap menghadapinya.”
Dan ini adalah pertanyaan terakhir, dari seseorang yang selama ini selalu mampu menjawab berbagai pertanyaan dari orang-orang. Namun pertanyaannya sendiri justru tak mampu ia jawab. “Apakah kemerdekaan harus dibayar dengan harga mahal? Dengan darah dan air mata? Tiadakah cara lain?” dan jawaban atas pertanyaanya ia dapat dari seseorang pelaut bugis paling tangguh, pemuda dengan sinar rembulan, Ambo Uleng. “Saat ini kemerdakaan memang hanya bisa didapat dengan pengorbanan air mata darah, tidak ada cara lain!.”
Begitu seiring berjalannya waktu, seirama kapal yang mengikuti gelombang lautan. Satu demi satu pertanyaan telah terjawab. Dengan latar belakang pra kemerdekaan, novel ini tidak saja menyajikan sebentuk pemahaman akan para perindu pemilik Cinta yang Hakiki. Namun ada sisi historisnya, sejarah para pejuang dan inilah salah satu bagian menarik dari serangkain cerita Rindu. Secara tidak langsung, penulis berusaha mengkritik model pembelajaran zaman sekarang. Sebuah pendidikan yang terlalu terpaku pada ruang kelas dan nilai-nilai raport. Diceritakan dalam novel ini bahwa Gurutta menggagas sebuah sekolah sementara untuk anak-anak penumpang kapal. Tidak ada sistem nilai, guru bekerja ikhlas tanpa memikirkan gaji, proses belajar bisa dimana saja di pantai, di dek kapal, di kantin, di ruang mesin, di pelabuhan dan dimana saja. Yang utama adalah bagaimana anak memiliki pemahaman yang baik tentang alam, tentang dunia, tentang negaranya, tentang kehidupan sosialnya. Bukankah ini salah satu bentuk kritik akan sistem pendidikan kita? Mari renungkan.

Pada bab bab awal membaca buku ini saya merasa cukup jenuh, saya pikir basa-basinya terlalu panjang. Kenapa konfliknya tidak mulai terlihat? Kenapa semuanya seolah datar? Kenapa semuanya seolah tidak saling terpaut. Tapi demi melihat bahwa penulisnya adalah Tere Liye, penulis terkenal favorit saya. Saya kembali meneruskan membaca, pasti ada sesuatu yang mengejutkan. Batin saya. Dan benar, di bab tengah hingga akhir semuanya mulai terang. Hingga akhirnya lengkap sudah rangkaian panjang ceritanya. Semuanya berakhir bahagia. Bahkan Ambo Uleng dapat menikah dengan kekasih idamannya. Tak terlalu banyak alur mundur atau flash back yang panjang dalam cerita ini. Seperti biasa Tere Liye selalu mempu mengemas pesan moral, tanpa harus terkesan menggurui. Bahasanya indah. Enak dibaca. (Salamah)
Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com