Pesan Nisan untuk Nisa
Seekor burung
gagak hitam bertengger diranting pohon rambutan setelah sebelumnya mengitari
gubuk kecil di depannya. Suaranya parau. Gagak itu memandang sebuah gubuk kecil
di depannya dengan tajam. Mengawasi
setiap gerak-gerik di setiap sudut gubuk.
“BAPAAAAAKKKKKKK
.. ”
Sebuah teriakan
panjang terdengar dari arah gubuk. Gagak hitam mengepakkan sayap dan pergi.
Tiga orang anak
kecil menangis dihadapan sebuah keranda mayat. Mereka memeluk erat sebuah buku
ditangan mereka. Sampai mayat dikuburkan pun, mereka bertiga tetap memegangnya
dengan erat. Yang paling kecil namanya Imron usianya baru tujuh tahun,
selanjutnya Nisa usianya setahun lebih tua dan yang paling besar namanya
Ibrahim usianya sembilan tahun. Ibu mereka meninggal tatkala melahirkan Imron.
Kini mereka menjadi yatim piatu. Tanpa ibu tanpa bapak. Saudara yang mereka
miliki hanyalah kakak dari bapak mereka. Namun tak jauh beda dengan kondisi
ekonomi keluarga mereka. Tidak bisa sekolah. Tak bisa makan tiga kali sehari.
Ditambah lagi paman sudah memiliki lima orang anak yang masih kecil-kecil. Anak
paman yang terbesar berumur lima tahun. Dua tahun lebih muda dari Imron.
Bagaikan bergantung pada akar yang lapuk. Hidup bersama paman, mereka justru
dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, mengurus keponakan mereka, mencari
uang, bekerja di ladang memberi makan ternak dan tugas-tugas lainnya. Tak
mengapa bagi mereka, karena paman memang baik terhadap mereka bertiga.
¤¤¤
Suatu malam yang cerah ketika keluarga paman sedang makan bersama, seorang
tamu datang berkunjung. Penampilannya
sederhana. Hanya memakai baju koko sarung dan peci.
“Assalamualaikum ..”
“Waalaikumsalam ..”, paman menghampiri pintu dan membawa masuk seorang pria
paruh baya.
“Silahkan duduk, mari bergabung dengan kami. Tapi jika kau tak keberatan
tentunya karena lauk yang kami miliki seadanya.”
“Tak masalah bagiku, dirumah pun lauknya tak beda jauh kok, hehehe
..”, pria tersebut kemudian duduk
bersila di dekat paman.
“Anak-anak perkenalkan ini sahabat bapak namanya Pak Solikin.”
“Hai anak-anak, senang bertemu kalian. Ah iya, aku lupa. Aku membawa
sedikit buah segar untuk kalian.”
“Terima kasih teman. Ibu, tolong iriskan buah-buahan ini jadi potongan
kecil-kecil.” Paman menyerahkan buah-buahan tersebut kepada Bibi.
“Mari kita mulai makannya.”
Sambil menikmati buah segar mereka
berbincang-bincang.
“Apakah semua anak ini adalah anak-anakmu ?”
“Tidak, hanya lima yang anak kandungku tiga
yang lain adalah anak dari kakakku yang telah meninggal. Mereka yatim piatu,
karena saudara yang mereka miliki hanyalah aku maka akupun merawat mereka. Tapi
kesemuanya sudah aku anggap seperti anak kandungku sendiri. Bahkan Ibrahim,
Imron dan Nisa adalah anak yang baik dan patuh. Bagaimana denganmu ? apakah
sekarang kau sudah memiliki momongan ?”
“Belum, Allah masih belum menganugrahkan
seorang anak kepadaku. Padahal usia perkawinanku sudah sembilan tahun.”
“Sabar saja. Pasti ada hikmahnya.”
“Ngomong-ngomong apakah mereka sudah sekolah ?
kurasa yang paling besar umurnya sekitar sebelas tahunan. Seharusnya sudah
kelas lima SD jika sekolah.”
“Ahh kau ini, ngaco saja. Mana mungkin aku
mampu menyekolahkan mereka ? untuk makan sehari tiga kali saja harus kerja
keras setengah mati.”
Sunyi. Keduanya hanyut dalam pikirannya
masing-masing.
“Emm, sebelumnya aku minta maaf. Sebenarnya
aku berniat mengadopsi salah satu diantara anak kakakmu. Kau tahu sendiri,
sudah sembilan tahun aku menikah dan belum juga punya momongan. Aku harap kau
tak marah. Aku juga harap dengan niatku ini aku bisa membantumu dan juga
kakakmu. Itu jika kau setuju tentunya.”
Hening
“Entahlah, aku tak tau. Aku tak bisa
memutuskan secara sepihak. Keinginanmu harus aku musyawarahkan dulu dengan
istri dan keponakan-keponakanku.”
“Baiklah, aku akan menunggu.”
“Diantara mereka bertiga siapa yang paling kau
harapkan untuk kau adopsi ?”
“Nisa. Aku rasa dia gadis kecil yang cantik,
pintar, baik dan penurut.”, ia memperhatikan Nisa yang dengan cekatan
membereskan piring-piring kotor diatas tikar.
“Ya, perasaanmu memang tidak keliru. Nisa adalah
gadis kecil yang cantik, pintar, baik dan penurut. Ia terlihat lebih dewasa
daripada anak lain seusianya.”
¤¤¤
Nisa turun dari
sepeda motor Jupiter Mx milik Pak Solikin. Nisa mengecup tangannya dan pergi
sekolah. Hari ini adalah pertama kalinya ia masuk sekolah. Meski terlambat
setahun ia tetap bersemangat untuk sekolah. Sebulan yang lalu, Nisa memutuskan
untuk bersedia menerima ajakan Pak Solikin jadi anak adopsi. Nisa hanya
berpikir Pak Solikin adalah orang yang baik, mungkin dengan ia ikut bersamanya
Nisa bisa meringankan beban keluarga paman, dan juga karena Nisa ingin sekolah.
Waktu sebulan, Nisa tampaknya mudah untuk beradaptasi. Pada kenyataanya ayah
dan bunda barunya memperlakukannya dengan sangat baik. Banyak hal yang mereka
berikan, belum Nisa dapatkan sebelumnya dari ibu, bapak maupun pamannya. Pak Solikin dan istri juga tidak menyesal
telah mengadopsi Nisa. Nisa gadis kecil yang cantik, penurut, suka membantu dan
nerimaan.
Seiring
berjalannya waktu. Nisa mulai bisa membaca dan menulis dengan baik. Suatu
ketika di hari minggu yang cerah diruang makan. Ayah sedang menikmati secangkir
kopi hangat sambil membaca koran, dan bunda sedang menyiapkan gorengan untuk
cemilan. Nisa kecil datang dengan berlari dan sedikit menjerit memanggil ayah
sambil menenteng sebuah buku.
“Ayaaahh..
tolong bantu Nisa. Nisa tak bisa baca buku ini. Ini enggak pernah diajarin di
sekolah Nisa. Padahal Nisa pengen bisa baca buku ini. Tolong Nisa ayah ..”
Nisa duduk
disamping ayahnya dan menunjukkan buku yang ia maksud. Ternyata buku yang Nisa
maksud adalah Juz Amma. Pantaslah Nisa tidak faham, karena memang di sekolah
formal SD tidak diajarkan bahasa arab.
“Juz Amma ?
emm, ayah rasa jika kamu ingin bisa membaca Juz Amma, Nisa harus belajar huruf
arab dulu. Karena dasar dari membaca juz Amma adalah huruf arab atau hijaiyah.
Nah biar Nisa lebih pintar lagi bacanya Nisa mau ayah sekolahin di TPQ ? TPQ
adalah taman pendidikan Quran. Disana Nisa bakal diajarin bagaimana caranya
membaca Juz Amma dan Al Qur’an. Jadi nanti sepulang sekolah siangnya Nisa
sekolah lagi. Nisa kan pulang sekolah jam sebelas dan nanti jam dua siang tiap
hari sabtu sampai kamis Nisa ke TPQ. Gimana Nisa tertarik ?”
“Nisa mau.
Meskipun nanti Nisa jadi gak bisa bobok siang tapi Nisa mau. Nisa pengen bisa baca
Juz Amma warisan bapak ini. Nisa pikir, dengan Nisa bisa baca Juz Amma bapak
pasti seneng. Nisa juga jadi ngerasa bisa lebih deket sama bapak.”
“Nah sebagai
awalan, ayah bakal jelasin apa itu juz amma dan huruf hijaiyah serta dasar
membaca Al Qur’an.”
Ayah kemudian
menjelaskan apa itu Juz Amma serta mengajari Nisa dasar membaca Al Qur’an.
¤¤¤
Besok adalah
genap sepuluh tahun meninggalnya mendiang bapak Nisa. Keinginan untuk
menziarahi pusaranya tak dapat lagi dibendung. Meski jaraknya jauh karena berbeda
kabupaten, rasa rindunya terhadap saudara-saudara kandungnya tak mampu ditunda.
Besok merupakan momen yang pas sebagai ajang reuninan. Nisa sedang
mempersiapkan segala bekal yang hendak dibawa. Rencananya Nisa dan ayah akan
menginap beberapa hari. Kedatangan Nisa dan ayahnya disambut hangat oleh
keluarga paman. Selama kurang lebih satu jam mereka melepas rindu. Kemudian
Nisa mengutarakan niatnya untuk bersama-sama berziarah ke makam bapak. Mereka
semua menyambut dengan baik. Sore itu mereka berangkat bersama-sama. Lokasi
pemakaman lumayan jauh, karena berbeda desa. Kurang lebih setengah jam dengan
mobil.
Akhirnya mereka
tiba dilokasi. Proses nyekar yang dipimpin oleh Ayah berjalan dengan lancar.
Makam bapak terlihat cukup terawat. Nisa pikir bang Iib dan dek Imron cukup
rutin kesini dan merawat pusara bapak. Selesai nyekar, ayah mengajak
rombongan makan bakso. “Dalam suasana santai mereka mengobrol”.
Pergi ke makam
bapak mengingatkanku akan pesan beliau sebelum pergi. “Ucap Nisa sambil
menerawang melepas memori jauh kebelakang.”
“Ya, aku juga.
Aku ingat betul saat itu. Saat dimana masing-masing dari kita mendapatkan harta
warisan.”, sambung Imron.
“Ya harta
warisan yang sangat berharga. Meski bukan uang, bukan harta, bukan tanah tapi
lebih dari itu.”, Ibrahim mengeluarkan sebuah buku panduan Sholat dari tas
kecilnya disusul dengan bukua panduan tahlil dan juz Amma oleh Imron dan Nisa.
Ketiga benda itu terlihat begitu lusuh, mungkin karena terlalu sering dibuka.
Nisa membuka
lembar pertama juz Amma dengan pikiran menerawang ke masa laluu, “Ketika itu,
bapak kondisinya sangat kritis. Diatas depan tanpa alas bapak terbaring lemah
tak berdaya. Kita bertiga menungguinya disisinya ..”
¤¤¤
Seorang lelaki
tua terbaring lemah diatas depan panjang disudut ruangan. Tiga anak kecil
menjaganya disisi kanan depan. Tanpa selimut, hanya beralaskan sarung dan jarik
sebagai penahan dingin.
“Ibu, tolong
ambilkan bapak bungkusan plastik di lemari”. Ibrahim berjalan ke arah lemari
kecil yang hampir lapuk disamping depan kemudian meletakkan bungkusan tersebut
disisi bapaknya.
“Anak-anak maafkan bapak. Bapak tidak bisa memberikan kalian rumah yang
nyaman, pendidikan yang baik, mainan yang banyak, makanan yang enak dan
bergizi. Karena bapakmulah hidup kita sekeluarga menjadi serba kekurangan.
Maafkan bapak.”
Hening
menyergap kebisuan mengisi kekosongan.
Bapak membuka
bungkus plastik dengan sedikit susah payah. Mengambil buku panduan sholat lalu
meletakkan dihadapan Ibrahim. Mengambil Juz Amma lalu meletakkan dihadapan
Nisa. Mengambil buku panduan tahlil kemudian meletakkan dihadapan Imron. Kini
dihadapan Ibrahim, Imron dan juga Nisa tergeletak sebuah buku yang asing bagi
mereka. Mereka tak ada yang bisa membaca dan menulis, tak heran jika mereka
tidak mampu membaca judul dari buku-buku tersebut.
“Bapak hanya
bisa memberikan ini kepada kalian. Semoga ini bisa menjadi bekal dan pedoman
kalian dalam mengarungi kehidupan. Bapak harap pula, semoga apa yang bapak
wariskan ini dapat menolong kalian juga menolong bapak. Jadilah kalian
anak-anak yang baik, anak yang sholeh sholehah. Maafkan bapak, bapak hanya
mampu sampai segini membimbing kalian. Waktu bapak sudah habis, bapak lelah
bapak ingin istirahat.”
Tangan yang
lemah itu jatuh terkulai, matanya terpejam, sedikit senyum mengembang dari
bibirnya. Ketiga anak tersebut memegang tangan bapaknya sambil menjerit keras
memanggil bapak. Seolah dengan jeritan yang keras tersebut bapak akan terbangun
kembali. Tapi bapak tidak bangun juga. Bapak memang benar telah beristirahat,
beristirahat untuk selamanya.
¤¤¤
Gemeretak suara sendok beradu dengan mengisi
kekosongan hati mereka.
Emm,
ngomong-ngomong cerita seperti apa yang kalian lalui bersama buku warisan tersebut
? “Nisa melontarkan pertanyaan tersebut sambil memainkan es batu dalam gelas
minumnya”.
“Kalau aku,
kita tau sendiri ketika kita mendapatkan warisan itu dari ayah tak ada satupun
dari kita yang bisa membaca. Maka ketika aku mendapatkan warisan tersebut aku
sempat bingung ini buku apa ? apa gunanya ? kita juga tau, dari keluarga paman
juga tidak ada yang bisa baca tulis. Aku sudah pernah mencobanya menanyakannya.
Makanya aku berfikir, jika bapak sampai berkata begitu dulu. Ini artinya buku
ini amat penting. Dan jika aku terus di desa ini aku tidak akan memperoleh
kemajuan informasi tentang buku ini. Aku jadi memutuskan untuk merantau kekota
mengikuti salah seorang tetangga paman. Disamping aku bermaksud mencari uang
untuk meringankan beban keluarga paman tentunya. Selain bekerja, aku bertanya
pada orang-orang disekelilingku perihal buku warisan ini. Hingga aku akhirnya
dipertemukan dengan seorang ustad masjid setempat. Dari beliau aku dijelaskan
bahwa buku yang ayah berikan padaku adalah buku panduan sholat. Aku juga
dijelaskan bahwa sholat adalah rukun islam yang kedua. Dimana sholatlah amal
yang pertama kali dihisab yang akan menentukan kita masuk surga atau neraka.
Sholat hukumnya wajib. Jadi karena buku warisan bapaklah aku pertama kali
mengenal sholat. Dan memotovasiku untuk selalu menjaga sholatku tak lupa aku
juga mangajak Imron dan keluarga paman untuk belajar sholat. Ibrahim menerawang
kisah masa lalunya. Setiap detik yang ia lalui bersama warisan bapaknya.
“Sedangkan aku,
ketika mas Iib pulang kerumah dan mengabarkan bahwa ia sudah tau tentang buku
warisan yang ia miliki. Aku hanya tau dari mas Iib yang sudah bisa baca bahwa
pemberian bapak adalah buku panduan tahlil. Tanpa aku tahu tahlil itu apa. Aku
kemudian ikut mas Iib ke kota. Belajar dari ustad Malik, akhirnya aku pun tau
bahwa dalam tahlil kita bertawasul menjadikan kekasih Allah sebagai perantara
dalam doa. Dengan tahlil kita juga bisa mengirim doa bagi orang yang telah
meninggal. InsyaAllah akan sampai pada almarhum yang dituju. Bagaimana denganmu mbak ?”
“Aku sama
dengan kalian. Awal aku mendapatkan buku ini aku pun tak faham karena aku belum
bisa membaca. Kemudian aku diadopsi oleh ayah. Dan ayah kemudian
menyekolahkanku di SD. Namun dari pendidikan di SD aku hanya mampu membaca
tulisan latin di Juz Amma. Aku kemudian bertanya pada ayah, ternyata tulisan
yang tak mampu aku baca adalah tulisan arab. Oleh ayah aku kemudian diajarkan
dasar membaca tulisan arab dan dijelaskan pula apa itu juz Amma. Akhirnya untuk
memperdalam ilmu, aku memutuskan mengaji di Taman Pendidikan Alquran. Karena
juz Amma pemberian bapak aku jadi termotivasi untuk rajin membaca Al Qur’an,
membaca dengan tartil fasih, pandai qiroah dan bahkan aku bermimpi untuk
menjadi penghafal dan penjaga Al Qur’an, yaitu seorang hafidzoh. Aku ingin
memberikan jubah kemenangan di akhirat nanti untuk bapak dan ibu. Tidak hanya
bapak dan ibu, aku pun ingin memberikannya pada ayah dan bunda serta paman dan
bibik.”
Aku kagum pada
bapak kalian. Meski beliau tidak mampu memberikan kalian warisan harta, bukan
pula warisan ilmu, namun beliau mewariskan pesan-pesan motivasi. Sebuah harapan
melalui warisannya kepada kalian, beliau berharap bekal yang ia berikan telah
mampu menolong kalian dunia dan akhirat serts menolong dirinya sendiri. Dan aku
bangga pada kalian yang mampu dengan baik menangkap dan memahami pesan yang
beliau isyaratkan. Jadilah kalian orang yang hebat, sukses dan berprestasi
dunia dan akhirat. Buatlah bapak dan ibu kalian semakin bangga memiliki anak
seperti kalian. Oh ya, kalau kalian butuh bantuan apa-apa kalian bisa minta tolong
padaku. Anggaplah aku ayah kalian sendiri ...
“Siap paman”.
Jawab Ibrahim dan Imron kompak.
Suasana makan
kali itu terasa semakin hangat. Banyak cerita yang dibagi. Banyak mimpi yang
digantungkan. Banyak visi yang akan diwujudkan. Insya Allah....
Sabtu, 31
Agustus 2013