Sabtu, 02 April 2016

Lukisan Terakhir

Lukisan Terakhir

Sebuah lukisan berukuran 1x0,5 m dengan bingkai kayu jati berukir terpajang di dinding dengan kokoh. Banyak pengunjung pameran yang sejenak memperhatikan lukisan tersebut. mengagumi keindahan seni lukisannya. Hingga satu persatu mulai pergi, namun seorang wanita berumur tiga puluhan mengenakan gamis berwarna hitam dengan pashmina hijau masih diam, tegak berdiri. Dipandanginya terus lukisan yang bergambar seorang pengantin wanita dengan gaun dan jilbab putih gading berdiri diantara taman bunga sedang menatap purnama. Di sebelah bulan purnama, terdapat sebuah bintang yang bersinar amat terang dan sebuah bintang jatuh. Kedua tangan wanita tersebut  memegang setangkai bunga krisan, bunga lambang kematian. Beberapa ekor kupu-kupu besar bewarna hitam terbang disampingnya. Bibir wanita itu tersenyum tapi matanya menangis.
Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu, tujuh tahun yang lalu. Pada sesosok laki-laki yang amat dekat dihatinya. Pria yang telah mengetuk pintu hatinya. Pria yang membuatnya jatuh hati. Namanya Bagas. Saat itu ia sedang duduk di suatu sudut kota lama, di depannya sebuah kanvas dan berbagai perlengkapan melukis siap menjadi media penuangan perasaannya. Seorang wanita berumur belasan tahun, berdiri dibelakangnya. Kedua tangannya erat memegang kendali kursi roda.
“Bisa tolong pesankan aku secangkir coklat panas?” pinta pria dengan kursi roda.
“Tentu kak, kakak tolong tunggu sebentar ya,” gadis kecil itu segera berlari menuju kafe yang tak jauh dari posisinya.
Pria itu hendak memulai melukis. Dipandanginya Greja Blenduk, sebuah gereja tua zaman Belanda yang masih tegak berdiri. Pria itu menggeser posisi kursi roda, dan saat itulah kuasnya jatuh. Dengan susah payah pria itu berusaha mengambil kuas yang terjatuh. Tapi sebuah tangan lain telah mendahuluinya. Pria itu mendongak, sebuah wajah manis berjilbab biru memandangnya tanpa bicara hanya menyodorkan kuas.
“Terima kasih,” gadis di hadapannya tersenyum. Kembali ke tempat duduknya berkutat dengan laptop. “Hai kamu,” pria berkusi roda berteriak kepada gadis yang baru menolongnya.”Bolehkah aku meminta tolong sekali lagi?”tanpa bicara gadis itu kembali mengangguk menghampiri pria berkusi roda. Wajahnya seolah bertanya bantuan apa yang bisa diberikan olehnya. “Bisakah kau bantu aku dengan mendorong kursi roda ini pergi ke sudut sebelah sana? Sepertinya sudut disana lebih bagus untukku melukis.” Gadis itu kembali mengangguk. “Oh ya, namaku Bagas. Lintang Bagaskara. Namamu siapa?” diberikan pertanyaan seperti itu, gadis di belakangnya bukannya menjawab malah menghentikan kursi roda.
Apakah ia marah? Tersinggung oleh sikapku yang tiba-tiba mengajak kenalan?
Terka Bagas dalam hati. Ia menanti dengan cemas apa yang akan dilakukan oleh gadis tersebut.
Namaku Kartika Sari. Panggil saja Sari. Senang berkenalan denganmu. Maaf aku hanya bisa berkomunikasi seperti ini. Semoga hal ini tidak menganggumu.
Bagas tersentak membaca sebuah tulisan di pangkuannya.
Apakah ini artinya? gadis bernama sari yang mendorong kursi rodanya tak bisa bicara? bisu?
Tapi Bagas tak berani bertanya lebih jauh, takut melukai perasaannya.
“Tak apa, setiap orang memiliki kekurangan. Mungkin itu kekuranganmu, tapi lihatlah, aku pun memiliki kekurangan. Aku terlahir tak sempurna, aku tak memiliki kaki yang utuh, jemariku pun hanya ada tiga. Tapi tak mengapa, aku tetap bersyukur. Aku bersyukur masih diberi kehidupan dan dipertemukan dengan orang-orang yang sangat menyanyangiku. Kekurangan ini tak boleh menjadi penghambatku untuk maju. Mimipiku adalah menjadi seorang pelukis besar, pelukis yang karyangnya abadi. Jadikan kekurangan menjadi pelecut untuk maju. Bolehkah aku tau mimpimu?”
Menjadi penulis terkenal yang karyanya mampu menginspirasi semua pembacanya. Itulah mimipiku.
Jawab Sari di selembar kertas.
“Bagus. Lanjutkan, mari kita usahakan untuk mewujudkan mimpi kita! Buktikan pada dunia bahwa kita bisa!” ucap Bagas berapi-api di belakangnya Sari hanya mengangguk dan tersenyum.
“Maaf Kak, menunggu lama. Ini cokelat panasmu. Aku taruh sini ya.”
“Iya, makasih ya Rachel. Oh ya, kenalin ini teman baru kakak, namanya Kartika Sari. Biasa di panggil Sari. Sari, ini sepupuku. Namanya Rachel.”
“Rachel, senang bertemu dengan Kak Sari. Semoga Kak Sari bisa bersahabat baik dengan Kak Bagas,” Rachel mengulurkan tangan, Sari membalas uluran tangan tersebut mengangguk dan pergi kembali ke kursinya. “Temanmu kenapa Kak, kenapa dia hanya menggangguk lalu pergi tanpa bekata apa pun?”
“Karena memang dia tidak bisa berkata-kata Rachel. Dia Bisu. Dia hanya bisa berkomunikasi lewat tulisan,” Rachel mengangguk maklum.
Pertemuannya dengan Sari, meski singkat namun mampu mengusik dirinya. Beberapa kali skesta Gereja Blenduk tiba-tiba saja berubah menjadi wajah manis Sari ketika tersenyum. Ini membuatnya tak tenang dan sulit berkonsentrasi.
Waktu terus berlalu tanpa peduli apa yang sedang terjadi. Sari seperti biasa, sedang menikmati seduhan coklat panas sambil merampungkan proyek menulisnya. Untuk beberapa lama kafe ini akan menjadi tempat favoritnya, dan selama itu pula Sari selalu menemukan Bagas di tempat yang sama. Tapi Kali ini Bagas sendiri tanpa Rachel, dan lagi-lagi kuas Bagas terjatuh.
“Terima kasih,” Bagas memperhatikan siapa yang telah membantu menolongnya, betapa terkejut dirinya menemukan wajah manis Sari dihadapannya. Wajah yang selama beberapa hari mengusiknya.
“Dimana Rachel? Kenapa dia tidak menemanimu hari ini?” tanya Sari melalui secarik kertas.
“Rachel sedang sibuk mempersiapkan ujian kelulusan. Oh ya, bolehkan aku minta tolong? Menemaniku disiku selama Rachel tidak ada? Tentu aku akan sangat terbantu jika kau ada disisiku itu pun jika kau tak terganggu dengan kehadiranku disisimu?”
Sari mengangguk. Tanpa berkata, Sari membereskan berbagai barangnya memindahkannya di meja dekat Bagas berada. Bagas memperhatikan Sari yang sedang duduk menghadap laptop. Di sampingnya sebuah cokelat panas mengepul mengeluarkan uap. Jilbab merah jambu berkibar tertiup angin, terusan panjang warna senada nampak anggun ketika melekat di tubuhnya yang semampai. Bagas mengamati dengan seksama setiap inchi dan setiap apa yang ada pada Sari, merekamnya dalam memori. Hingga akhirnya ia melihat Sari salah tingkah. Sari bukannya tak merasa diamati oleh Bagas. Sari merasakannya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia berusaha tak peduli tapi nyatanya tak bisa. Sikap Bagas yang seperti itu membuat ia grogi dan salah tingkah.
Hari demi hari berlalu, ternyata tak hanya sehari, seminggu atau sebulan Sari diminta menemani Bagas selama tidak ada Rachel. Waktu begitu panjangpun akhirnya membuat mereka semakin dekat. Bahkan sedikit demi sedikit Bagas mulai bisa bahasa isyarat, lebih jauh dari itu Bagas bahkan seolah memahami apa yang diinginkan Sari tanpa Sari harus menulis atau mengatakannya.
Aku mengantarmu cukup sampai disini ya. BBM aku kalau kalau sudah selesai. Aku akan ke masjid dulu.
Begitulah isi pesan Sari. Di depan Gereja Blenduk mereka berpisah. Bagas masuk ke dalam Gereja sementara Sari berjalan ke arah lain menuju masjid. Di hadapan patung Yesus Bagas berdoa, sebagaimana di hadapan Allah SWT Sari bedoa.
Tuhanku yag Maha Sempurna. Jika perasaan yang bersemayam dalam hatiku adalah sebuah kesalahan. Jadikanlah ini merupakan kesalahan indah, yang akan mendekatkanku pada-Mu. Jika rasa yang ada di hati ini tidaklah engkau ridhoi, cukupkanlah sampai disini perasaan ini. Jangan ada cinta diantara kami. Jangan ada benci diantara kami. Jadikanlah kami sahabat yang selalu saling menguatkan.
 Hari ini setelah bertahun-tahun Sari memutuskan untuk pergi. Pergi jauh meninggalkan Bagas dan kenangan yang mereka cipta. Disinilah Sari, memandang lukisan terakhir Bagas.
“Kak Sari? Benarkah itu kau Kak Sari?”
Sari menoleh ke belakang, di tatapnya wajah Rachel sepupu Bagas.
“Benar itu kau, Kak Sari?” Sari mengangguk. “Mari ikut aku, ada yang harus aku berikan padamu. Wasiat dari Kak Bagas.” Sari menurut. Dibiarkannya Rachel menuntun langkahnya. Mereka melewati sebuah lorong dimana kanan dan kirinya penuh dengan lukisan. Hingga mereka tiba pada sebuah ruang kecil berkaca bertuliskan TIDAK UNTUK DIJUAL. Rachel mengambil sebuah lukisan, Sari tersentak kaget melihat sosok yang terlukis itu, yang tak lain adalah dirinya.
“Lukisan ini dari Kak Bagas untuk Kak Sari. Terimalah kak.”
Sari menerimanya. Tanpa ia sanggup untuk menahan air matanya jatuh. Sari jatuh terduduk memeluk lukisan itu. Lukisan saat ia sedang mengetik di sebuah kafe di kota lama. Akhirnya ia tau, mengapa waktu itu Bagas begitu lekat memandangnya, tak lain agar ia dapat melukisnya.
“Rachel tau, Kak Bagas sangat mencintai Kak Sari. Hingga Kak Bagas meminta Rachel untuk tidak usah menemaninya melukis tak lain agar Kak Sarilah yang menggantikan posisi Rachel. Kak Bagas berharap posisi itu bisa di isi terus oleh Kak Sari. Tapi nyatanya tak bisa, Kak Bagas akhirnya sadar. Ada perpedaan besar yang tak mungkin disatukan diantara kalian. Kak Sari akhirnya pergi. Sungguh Kak Bagas amat sakit dan terluka, tapi ia bisa apa? Sekalipun Kak Bagas ingin melupakan Kak Sari menghapus cinta yang terlanjur bersemi. Nyatanya itu susah sekali. Lukisan terakhir yang kakak lihat tadi adalah lukisan yang Kak Bagas buat saat kemoterapi menjelang operasi pengangkatan kanker otak yang ternyata gagal. Lukisan itu mengambarkan perasaan Kak Bagas terhadap Kak Sari, orang yang dicintainya. Kak Bagas tau, kelak Kak Sari akan datang kembali bukan sebagai kekasih tapi sebagai sahabat yang menguatkan. Menghadapi kematian Kak Bagas, Kak Sari harus tersenyum walaupun sedih sekalipun. Tetaplah tersenyum. Bintang yang jatuh itu telah berpulang ke tempat dia berada.”
Rachel memeluk Sari yang menangis sesenggukan.
Jangan menangis Sari. Jangan menangis sebab kematianku. Tersenyumlah, maka aku turut bahagia untukmu. Jemputlah mimipmu, sebagaimana aku telah menjemput mimpiku. Bukankah itu adalah janji kita berdua dulu? Jangan menangis dan tersenyumlah. Sesungguhnya inilah jawaban atas doa kita. Sungguh, kita memang tak bisa bersatu sebagai kekasih. Terlalu berdosa dan egois kiranya jika aku mengharapkan itu terjadi. Maka kini kenanglah aku sebagai sahabatmu.
Lintang Bagaskara
(Bintang yang telah jatuh, kembali ke tempatnya berada)

Membaca tulisan yang ada dibalik lukisan membuat Sari kembali menangis sesenggukan. Sungguh Sari tak kan mampu melupakan Lintang Bagaskara, bintang yang telah jatuh, kembali ke tempatnya berada.
***
Noor Salamah, merupakan putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan Slamet Muzaronah. Ia lahir dan besar di Jepara. Menyukai dunia tulis menulis sejak SMP, dan ia bercita-cita menjadi seorang penulis yang bisa menginspirasi banyak orang. Penulis bisa dihubungi via Fb : Salma Van Licht, email: salamah_chan@yahoo.com, atau CP: 085876214142














0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com