Jumat, 01 April 2016

Pesan Nisan untuk Nisa

Pesan Nisan untuk Nisa

Seekor burung gagak hitam bertengger diranting pohon rambutan setelah sebelumnya mengitari gubuk kecil di depannya. Suaranya parau. Gagak itu memandang sebuah gubuk kecil di depannya dengan  tajam. Mengawasi setiap gerak-gerik di setiap sudut gubuk.
“BAPAAAAAKKKKKKK .. ”
Sebuah teriakan panjang terdengar dari arah gubuk. Gagak hitam mengepakkan sayap dan pergi.
Tiga orang anak kecil menangis dihadapan sebuah keranda mayat. Mereka memeluk erat sebuah buku ditangan mereka. Sampai mayat dikuburkan pun, mereka bertiga tetap memegangnya dengan erat. Yang paling kecil namanya Imron usianya baru tujuh tahun, selanjutnya Nisa usianya setahun lebih tua dan yang paling besar namanya Ibrahim usianya sembilan tahun. Ibu mereka meninggal tatkala melahirkan Imron. Kini mereka menjadi yatim piatu. Tanpa ibu tanpa bapak. Saudara yang mereka miliki hanyalah kakak dari bapak mereka. Namun tak jauh beda dengan kondisi ekonomi keluarga mereka. Tidak bisa sekolah. Tak bisa makan tiga kali sehari. Ditambah lagi paman sudah memiliki lima orang anak yang masih kecil-kecil. Anak paman yang terbesar berumur lima tahun. Dua tahun lebih muda dari Imron. Bagaikan bergantung pada akar yang lapuk. Hidup bersama paman, mereka justru dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, mengurus keponakan mereka, mencari uang, bekerja di ladang memberi makan ternak dan tugas-tugas lainnya. Tak mengapa bagi mereka, karena paman memang baik terhadap mereka bertiga.
¤¤¤
Suatu malam yang cerah ketika keluarga paman sedang makan bersama, seorang tamu datang berkunjung.  Penampilannya sederhana. Hanya memakai baju koko sarung dan peci.
“Assalamualaikum ..”
“Waalaikumsalam ..”, paman menghampiri pintu dan membawa masuk seorang pria paruh baya.
“Silahkan duduk, mari bergabung dengan kami. Tapi jika kau tak keberatan tentunya karena lauk yang kami miliki seadanya.”
“Tak masalah bagiku, dirumah pun lauknya tak beda jauh kok, hehehe ..”,  pria tersebut kemudian duduk bersila di dekat paman.
“Anak-anak perkenalkan ini sahabat bapak namanya Pak Solikin.”
“Hai anak-anak, senang bertemu kalian. Ah iya, aku lupa. Aku membawa sedikit buah segar untuk kalian.”
“Terima kasih teman. Ibu, tolong iriskan buah-buahan ini jadi potongan kecil-kecil.” Paman menyerahkan buah-buahan tersebut kepada Bibi.
“Mari kita mulai makannya.”
Sambil menikmati buah segar mereka berbincang-bincang.
“Apakah semua anak ini adalah anak-anakmu ?”
“Tidak, hanya lima yang anak kandungku tiga yang lain adalah anak dari kakakku yang telah meninggal. Mereka yatim piatu, karena saudara yang mereka miliki hanyalah aku maka akupun merawat mereka. Tapi kesemuanya sudah aku anggap seperti anak kandungku sendiri. Bahkan Ibrahim, Imron dan Nisa adalah anak yang baik dan patuh. Bagaimana denganmu ? apakah sekarang kau sudah memiliki momongan ?”
“Belum, Allah masih belum menganugrahkan seorang anak kepadaku. Padahal usia perkawinanku sudah sembilan tahun.”
“Sabar saja. Pasti ada hikmahnya.”
“Ngomong-ngomong apakah mereka sudah sekolah ? kurasa yang paling besar umurnya sekitar sebelas tahunan. Seharusnya sudah kelas lima SD jika sekolah.”
“Ahh kau ini, ngaco saja. Mana mungkin aku mampu menyekolahkan mereka ? untuk makan sehari tiga kali saja harus kerja keras setengah mati.”
Sunyi. Keduanya hanyut dalam pikirannya masing-masing.
“Emm, sebelumnya aku minta maaf. Sebenarnya aku berniat mengadopsi salah satu diantara anak kakakmu. Kau tahu sendiri, sudah sembilan tahun aku menikah dan belum juga punya momongan. Aku harap kau tak marah. Aku juga harap dengan niatku ini aku bisa membantumu dan juga kakakmu. Itu jika kau setuju tentunya.”
Hening
“Entahlah, aku tak tau. Aku tak bisa memutuskan secara sepihak. Keinginanmu harus aku musyawarahkan dulu dengan istri dan keponakan-keponakanku.”
“Baiklah, aku akan menunggu.”
“Diantara mereka bertiga siapa yang paling kau harapkan untuk kau adopsi ?”
“Nisa. Aku rasa dia gadis kecil yang cantik, pintar, baik dan penurut.”, ia memperhatikan Nisa yang dengan cekatan membereskan piring-piring kotor diatas tikar.
“Ya, perasaanmu memang tidak keliru. Nisa adalah gadis kecil yang cantik, pintar, baik dan penurut. Ia terlihat lebih dewasa daripada anak lain seusianya.”
¤¤¤
Nisa turun dari sepeda motor Jupiter Mx milik Pak Solikin. Nisa mengecup tangannya dan pergi sekolah. Hari ini adalah pertama kalinya ia masuk sekolah. Meski terlambat setahun ia tetap bersemangat untuk sekolah. Sebulan yang lalu, Nisa memutuskan untuk bersedia menerima ajakan Pak Solikin jadi anak adopsi. Nisa hanya berpikir Pak Solikin adalah orang yang baik, mungkin dengan ia ikut bersamanya Nisa bisa meringankan beban keluarga paman, dan juga karena Nisa ingin sekolah. Waktu sebulan, Nisa tampaknya mudah untuk beradaptasi. Pada kenyataanya ayah dan bunda barunya memperlakukannya dengan sangat baik. Banyak hal yang mereka berikan, belum Nisa dapatkan sebelumnya dari ibu, bapak maupun pamannya.  Pak Solikin dan istri juga tidak menyesal telah mengadopsi Nisa. Nisa gadis kecil yang cantik, penurut, suka membantu dan nerimaan.
Seiring berjalannya waktu. Nisa mulai bisa membaca dan menulis dengan baik. Suatu ketika di hari minggu yang cerah diruang makan. Ayah sedang menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca koran, dan bunda sedang menyiapkan gorengan untuk cemilan. Nisa kecil datang dengan berlari dan sedikit menjerit memanggil ayah sambil menenteng sebuah buku.
“Ayaaahh.. tolong bantu Nisa. Nisa tak bisa baca buku ini. Ini enggak pernah diajarin di sekolah Nisa. Padahal Nisa pengen bisa baca buku ini. Tolong Nisa ayah  ..”
Nisa duduk disamping ayahnya dan menunjukkan buku yang ia maksud. Ternyata buku yang Nisa maksud adalah Juz Amma. Pantaslah Nisa tidak faham, karena memang di sekolah formal SD tidak diajarkan bahasa arab.
“Juz Amma ? emm, ayah rasa jika kamu ingin bisa membaca Juz Amma, Nisa harus belajar huruf arab dulu. Karena dasar dari membaca juz Amma adalah huruf arab atau hijaiyah. Nah biar Nisa lebih pintar lagi bacanya Nisa mau ayah sekolahin di TPQ ? TPQ adalah taman pendidikan Quran. Disana Nisa bakal diajarin bagaimana caranya membaca Juz Amma dan Al Qur’an. Jadi nanti sepulang sekolah siangnya Nisa sekolah lagi. Nisa kan pulang sekolah jam sebelas dan nanti jam dua siang tiap hari sabtu sampai kamis Nisa ke TPQ. Gimana Nisa tertarik ?”
“Nisa mau. Meskipun nanti Nisa jadi gak bisa bobok siang tapi Nisa mau. Nisa pengen bisa baca Juz Amma warisan bapak ini. Nisa pikir, dengan Nisa bisa baca Juz Amma bapak pasti seneng. Nisa juga jadi ngerasa bisa lebih deket sama bapak.”
“Nah sebagai awalan, ayah bakal jelasin apa itu juz amma dan huruf hijaiyah serta dasar membaca Al Qur’an.”
Ayah kemudian menjelaskan apa itu Juz Amma serta mengajari Nisa dasar membaca Al Qur’an.
¤¤¤
Besok adalah genap sepuluh tahun meninggalnya mendiang bapak Nisa. Keinginan untuk menziarahi pusaranya tak dapat lagi dibendung. Meski jaraknya jauh karena berbeda kabupaten, rasa rindunya terhadap saudara-saudara kandungnya tak mampu ditunda. Besok merupakan momen yang pas sebagai ajang reuninan. Nisa sedang mempersiapkan segala bekal yang hendak dibawa. Rencananya Nisa dan ayah akan menginap beberapa hari. Kedatangan Nisa dan ayahnya disambut hangat oleh keluarga paman. Selama kurang lebih satu jam mereka melepas rindu. Kemudian Nisa mengutarakan niatnya untuk bersama-sama berziarah ke makam bapak. Mereka semua menyambut dengan baik. Sore itu mereka berangkat bersama-sama. Lokasi pemakaman lumayan jauh, karena berbeda desa. Kurang lebih setengah jam dengan mobil.
Akhirnya mereka tiba dilokasi. Proses nyekar yang dipimpin oleh Ayah berjalan dengan lancar. Makam bapak terlihat cukup terawat. Nisa pikir bang Iib dan dek Imron cukup rutin kesini dan merawat pusara bapak. Selesai nyekar, ayah mengajak rombongan makan bakso. “Dalam suasana santai mereka mengobrol”.
Pergi ke makam bapak mengingatkanku akan pesan beliau sebelum pergi. “Ucap Nisa sambil menerawang melepas memori jauh kebelakang.”
“Ya, aku juga. Aku ingat betul saat itu. Saat dimana masing-masing dari kita mendapatkan harta warisan.”, sambung Imron.
“Ya harta warisan yang sangat berharga. Meski bukan uang, bukan harta, bukan tanah tapi lebih dari itu.”, Ibrahim mengeluarkan sebuah buku panduan Sholat dari tas kecilnya disusul dengan bukua panduan tahlil dan juz Amma oleh Imron dan Nisa. Ketiga benda itu terlihat begitu lusuh, mungkin karena terlalu sering dibuka.
Nisa membuka lembar pertama juz Amma dengan pikiran menerawang ke masa laluu, “Ketika itu, bapak kondisinya sangat kritis. Diatas depan tanpa alas bapak terbaring lemah tak berdaya. Kita bertiga menungguinya disisinya ..”
¤¤¤
Seorang lelaki tua terbaring lemah diatas depan panjang disudut ruangan. Tiga anak kecil menjaganya disisi kanan depan. Tanpa selimut, hanya beralaskan sarung dan jarik sebagai penahan dingin.
“Ibu, tolong ambilkan bapak bungkusan plastik di lemari”. Ibrahim berjalan ke arah lemari kecil yang hampir lapuk disamping depan kemudian meletakkan bungkusan tersebut disisi bapaknya.
“Anak-anak maafkan bapak. Bapak tidak bisa memberikan kalian rumah yang nyaman, pendidikan yang baik, mainan yang banyak, makanan yang enak dan bergizi. Karena bapakmulah hidup kita sekeluarga menjadi serba kekurangan. Maafkan bapak.”
Hening menyergap kebisuan mengisi kekosongan.
Bapak membuka bungkus plastik dengan sedikit susah payah. Mengambil buku panduan sholat lalu meletakkan dihadapan Ibrahim. Mengambil Juz Amma lalu meletakkan dihadapan Nisa. Mengambil buku panduan tahlil kemudian meletakkan dihadapan Imron. Kini dihadapan Ibrahim, Imron dan juga Nisa tergeletak sebuah buku yang asing bagi mereka. Mereka tak ada yang bisa membaca dan menulis, tak heran jika mereka tidak mampu membaca judul dari buku-buku tersebut.
“Bapak hanya bisa memberikan ini kepada kalian. Semoga ini bisa menjadi bekal dan pedoman kalian dalam mengarungi kehidupan. Bapak harap pula, semoga apa yang bapak wariskan ini dapat menolong kalian juga menolong bapak. Jadilah kalian anak-anak yang baik, anak yang sholeh sholehah. Maafkan bapak, bapak hanya mampu sampai segini membimbing kalian. Waktu bapak sudah habis, bapak lelah bapak ingin istirahat.”
Tangan yang lemah itu jatuh terkulai, matanya terpejam, sedikit senyum mengembang dari bibirnya. Ketiga anak tersebut memegang tangan bapaknya sambil menjerit keras memanggil bapak. Seolah dengan jeritan yang keras tersebut bapak akan terbangun kembali. Tapi bapak tidak bangun juga. Bapak memang benar telah beristirahat, beristirahat untuk selamanya.
¤¤¤
Gemeretak suara sendok beradu dengan mengisi kekosongan hati mereka.
Emm, ngomong-ngomong cerita seperti apa yang kalian lalui bersama buku warisan tersebut ? “Nisa melontarkan pertanyaan tersebut sambil memainkan es batu dalam gelas minumnya”.
“Kalau aku, kita tau sendiri ketika kita mendapatkan warisan itu dari ayah tak ada satupun dari kita yang bisa membaca. Maka ketika aku mendapatkan warisan tersebut aku sempat bingung ini buku apa ? apa gunanya ? kita juga tau, dari keluarga paman juga tidak ada yang bisa baca tulis. Aku sudah pernah mencobanya menanyakannya. Makanya aku berfikir, jika bapak sampai berkata begitu dulu. Ini artinya buku ini amat penting. Dan jika aku terus di desa ini aku tidak akan memperoleh kemajuan informasi tentang buku ini. Aku jadi memutuskan untuk merantau kekota mengikuti salah seorang tetangga paman. Disamping aku bermaksud mencari uang untuk meringankan beban keluarga paman tentunya. Selain bekerja, aku bertanya pada orang-orang disekelilingku perihal buku warisan ini. Hingga aku akhirnya dipertemukan dengan seorang ustad masjid setempat. Dari beliau aku dijelaskan bahwa buku yang ayah berikan padaku adalah buku panduan sholat. Aku juga dijelaskan bahwa sholat adalah rukun islam yang kedua. Dimana sholatlah amal yang pertama kali dihisab yang akan menentukan kita masuk surga atau neraka. Sholat hukumnya wajib. Jadi karena buku warisan bapaklah aku pertama kali mengenal sholat. Dan memotovasiku untuk selalu menjaga sholatku tak lupa aku juga mangajak Imron dan keluarga paman untuk belajar sholat. Ibrahim menerawang kisah masa lalunya. Setiap detik yang ia lalui bersama warisan bapaknya.
“Sedangkan aku, ketika mas Iib pulang kerumah dan mengabarkan bahwa ia sudah tau tentang buku warisan yang ia miliki. Aku hanya tau dari mas Iib yang sudah bisa baca bahwa pemberian bapak adalah buku panduan tahlil. Tanpa aku tahu tahlil itu apa. Aku kemudian ikut mas Iib ke kota. Belajar dari ustad Malik, akhirnya aku pun tau bahwa dalam tahlil kita bertawasul menjadikan kekasih Allah sebagai perantara dalam doa. Dengan tahlil kita juga bisa mengirim doa bagi orang yang telah meninggal. InsyaAllah akan sampai pada almarhum yang dituju.           Bagaimana denganmu mbak ?”
“Aku sama dengan kalian. Awal aku mendapatkan buku ini aku pun tak faham karena aku belum bisa membaca. Kemudian aku diadopsi oleh ayah. Dan ayah kemudian menyekolahkanku di SD. Namun dari pendidikan di SD aku hanya mampu membaca tulisan latin di Juz Amma. Aku kemudian bertanya pada ayah, ternyata tulisan yang tak mampu aku baca adalah tulisan arab. Oleh ayah aku kemudian diajarkan dasar membaca tulisan arab dan dijelaskan pula apa itu juz Amma. Akhirnya untuk memperdalam ilmu, aku memutuskan mengaji di Taman Pendidikan Alquran. Karena juz Amma pemberian bapak aku jadi termotivasi untuk rajin membaca Al Qur’an, membaca dengan tartil fasih, pandai qiroah dan bahkan aku bermimpi untuk menjadi penghafal dan penjaga Al Qur’an, yaitu seorang hafidzoh. Aku ingin memberikan jubah kemenangan di akhirat nanti untuk bapak dan ibu. Tidak hanya bapak dan ibu, aku pun ingin memberikannya pada ayah dan bunda serta paman dan bibik.”
Aku kagum pada bapak kalian. Meski beliau tidak mampu memberikan kalian warisan harta, bukan pula warisan ilmu, namun beliau mewariskan pesan-pesan motivasi. Sebuah harapan melalui warisannya kepada kalian, beliau berharap bekal yang ia berikan telah mampu menolong kalian dunia dan akhirat serts menolong dirinya sendiri. Dan aku bangga pada kalian yang mampu dengan baik menangkap dan memahami pesan yang beliau isyaratkan. Jadilah kalian orang yang hebat, sukses dan berprestasi dunia dan akhirat. Buatlah bapak dan ibu kalian semakin bangga memiliki anak seperti kalian. Oh ya, kalau kalian butuh bantuan apa-apa kalian bisa minta tolong padaku. Anggaplah aku ayah kalian sendiri ...
“Siap paman”. Jawab Ibrahim dan Imron kompak.
Suasana makan kali itu terasa semakin hangat. Banyak cerita yang dibagi. Banyak mimpi yang digantungkan. Banyak visi yang akan diwujudkan. Insya Allah....

Sabtu, 31 Agustus 2013



0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com