Read More

Slide 1 Title Here

Slide 1 Description Here
Read More

Slide 2 Title Here

Slide 2 Description Here
Read More

Slide 3 Title Here

Slide 3 Description Here
Read More

Slide 4 Title Here

Slide 4 Description Here
Read More

Slide 5 Title Here

Slide 5 Description Here

Senin, 22 Mei 2017

Holmes, Detektif Hebat Sepanjang Masa

             Pertama kali saya mengenal nama dektektif hebat Serlock Holmes ini justru ketika saya menonton serial anime Detektif Conan karya Aoyama Gosho. Berkat Conan itulah saya akhirnya tertarik dengan segala hal tentang misteri dan detektif. Mungkin saya agak terlambat untuk kagum pada detektif London yang tinggal di Jalan Beker ini, ketika sudah sejak lama sekali namanya terkenal bahkan Aoyama Gosho sendiri termasuk fans beratnya, ya hal itu terlihat jelas dari penamaan tokoh Conan yang sebenarnya diambil dari nama penulis buku Sherlock Holmes.

            Kembali pada tokoh Sherlock Holmes yang begitu memukau saya lewat deduksi, metode dan keakuratannya dalam menelaah kasus, sangat sulit membayangkan bahwa di dunia nyata ada orang yang mampu menyamai kemampuan Holmes. Novel setebal 740 yang sebenarnya merupakan kumpulan novel dan cerita Holmes membuat orang yang telat mengikuti Holmes seperti saya ini mampu mengikuti alur kehidupan Holmes. Cerita bermula dari pertemuan Dr. Watson dengan Sherlock Holmes yang terjadi tahun 1878. Dr. Watson merupakan seorang dokter bedah militer yang akhirnya pensiun akibat bahunya tertembak peluru yang menghancurkan tulang dan menyerempet arteri sublavianya. Pergi ke London untuk sebagai usaha memulihkan dirinya. Ketika ia bingung mencari penginapan murah ia akhirnya berkenalan dengan Sherlock Holmes. Mereka pun menjadi teman satu penginapan dan sahabat setia.
            Ada empat cerita besar dan beberapa cerita pendek yang terangkum dalam buku tebal ini. Beberapa diantaranya yaitu A Study in Scarlet, The Sign of Four, The Hounds of Baskerville, The Valley of Fear, dan His Last Bow yang terdiri dari beberapa cerita pendek yaitu Petualangan Wisteria Lodge, petualangan kotak kardus, petualangan lingkaran merah, petualangan makala rahasia kapal selam Bruce Pertington, Petualangan detektif sekarat, hilangnya Lady Frances Carfax, petualangan kaki iblis, dan sebuah episode tentang Sherlock Holmes.
            Setiap cerita menyajikan petualangan luar biasa. Ada roman, balas dendam, dan patriotisme. Di antara semua cerita itu yang paling berkesan bagi saya sendiri adalah A Study in Scarlet dan The Valley of Fear. Di dalam cerita a study in scarlet, saya dibuat terpukau oleh sosok Holmes yang eksentrik, metode penyelidikannya, kejeliannya. Ia mampu melihat petunjuk besar dari hal remeh. Mampu merekontruksi kejadian berdasarkan fakta secara akurat. Kemampuan-kempuannya begitu unik.
            Saya sampai tak habis pikir, sebenarnya otak Holmes itu seperti apa sampai bisa sluar biasa itu? yah, tapi ini ini fiksi bukan nyata. Dan seandainya sosok seperti Holmes hadir di dunia nyata, saya akan menyatakan sebagai fansnya. Soal otak sendiri, Holmes pernak mengungkapkan “Aku mempertimbangkan bahwa otak manusia seperti loteng kecil yang kosong dan Anda mengisi dengan furnitur yang Anda pilih. Orang bodoh memasukkan semua jenis kayu yang ia temukan ke dalam loteng, sehingga pengetahuan yang mungkin berguna baginya menjadi kacau. Sekarang seorang pekerja terampil akan sangat berhati-hati mengenai apa yang harus ia masukkan dalam loteng otaknya. Ia tidak akan mempunyai apa-apa kecuali alat-alat yang mungkin membantunya dalam mengerjakan pekerjaannya yang sangat beragam...karena itu sangat penting untuk tidak mempunyai fakta-fakta tidak berguna bukannya membuang fakta-fakta yang berguna,” (halaman 13). Itu adalah jawaban Holmes ketika ditanya sahabatnya Dr. Watson terkait ketidaktahuan Holmes tentang teori copernicus. Dan di sisi lain Holmes menyibukkan diri dengan penelitian tentang berbagai macam abu rokok terkenal, jenis tulisan dan kertas koran, maupuan penelitian kimia yang ia rasa akan berguna bagi pekerjaannya sebagai detektif. Satu hal positif dari sosok Holmes, adalah prinsip yang ia pegang dalam setiap penuntasan kasus. Bahwa ia tidak bekerja agar ia terkenal, meski banyak polisi di Scotland Yard menjadikan Holmes sebagai detektif konsultan. Ia bekerja demi dorongan hati, kebutuhan otaknya dan kenikmatan pribadinya. Justru ketika Holmes tidak memiliki masalah untuk dituntaskan otaknya akan memberontak, dan ia akan menyuntukkan kokain agar ia tetap semangat dan berpikir jernih. Hal itu sangat kontras dengan prilaku orang pada umumnya yang justru bersyukur hidupnya tak banyak masalah. Tapi itu Holmes, detektif paling eksentrik sepanjang masa yang hingga akhir hidupnya sepertinya ia tetap melajang.
            Meski petualangan Holmes begitu seru, dalam membaca novel ini ada beberapa kekurangan yang perlu dikoreksi lagi. Banyaknya kesalahan tanda baca, membuat pembaca kurang nyaman. Banyak sekali dialog tanpa penggunaan tanda petik, sampai saya bingung ini dialog atau narasi dan siapa ini yang bicara. Dan karena ini adalah novel terjemahan, maka tak mengherankan pula jika bahasa tidak bisa sehalus novel non terjemahan. Ah ya, ada satu lagi yang cukup membuat saya kecewa. Mengapa di dalam novel tebal ini tidak disertakan petualangan Holmes melawan Profesor Moriaty, padahal petualangan itulah yang saya tunggu-tunggu. Meski begitu, secara keseluruhan buku ini recomended buat dibaca. Apalagi untuk Anda yang mengaku Sherlockian atau yang penasaran dengan Sherlock Holmes, detektif hebat sepanjang masa ini.

Jepara, 21 Mei 2017


Identitas Buku
Judul               : Sherlock Holmes : The Collector’s edition of complet best novel
Penulis             : Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah      : Ismanto, Ahmadi Asnawi, Sutrisno dkk
Penerbit           : Indoliterasi, Yogyakarta
Tahun Terbit    : Cetakan I, 2015
Halaman          : viii+740 halaman
Ukuran                        : 15x23 cm
ISBN               : 978-602-1129-00-5

Read More

Si Putih dari Bebek Hijau



Simpanlah sebagian dari harta kamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih baik bagimu. (Hadis Riwayat Bukhari)

Menabung adalah investasi masa depan. Investasi itu sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti, penanaman uang atau modal dl suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Maksudnya dengan kita menabung kita telah menanam modal yang selanjutnya keuntungan dari modal itu akan kita petik di masa depan. Dalam pepatah arab sering dikatakan, barang siapa menaman maka ia akan memanen. Islam sebagai agama yang rahmatal lil alamin, mengatur umatnya untuk tidak hidup boros juga tidak hidup pelit. Islam mengatur umatnya agar hidup sederhana, Islam juga menganjurkan umatnya untuk menabung. Anjuran ini tertuang dalam Al Qur’an dan hadis berikut ini:
1.      "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (pelit) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (boros) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” QS. Al Isra' (17) ayat 29
2.       “...Rasulullah saw pernah membeli kurma dari Bani Nadhir dan menyimpannya untuk perbekalan setahun buat keluarga...” Hadis Riwayat Bukhari
3.      “Simpanlah sebagian dari harta kamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih baik bagimu.” Hadis Riwayat Bukhari
Al Qur’an surat Al Isra’ diatas secara tersurat meminta umat untuk tidak berlsaya pelit dan tidak pula berlsaya boros, secara tersirat dapat dipahami bahwa umat diminta berada ditengah-tengah diantara kedunya, atau dalam artian sederhana. Kesederhanaan ini bisa terbentuk apabila umat mencukupi kebutuhannya bukan memuaskan hawa nafsunya. Salah satu bentuk perilsaya hidup sederhana itu adalah dengan cara menabung seperti yang sudah dicontohkan oleh Rosulullah dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari tersebut.
Apakah benar menabung itu investasi masa depan? Saya jawab dengan yakin iya. Karena saya sudah membuktikannya sendiri, kisah ini tentang laptop putih pertama yang saya beli, sebut ia Si Putih. Sebagian uang pembelian ini saya dapatkan dari hasil menabung sejak SD, sebuah proses menabung yang penuh lika-liku dan Ia bermula dari sebuah celengan bebek berwarna hijau. Berikut kisahnya.
Hidup dalam keluarga sederhana, membuat saya terbiasa hidup prihatin. Bapak hanya buruh mebel tukang amplas dan plitur, Ibu dagang warung kecil-kecilan. Memiliki anak banyak yang masih kecil-kecil membuat Bapak dan Ibu tidak terbiasa memanjakan kami. Saya sendiri adalah anak ketujuh dari tujuh bersaudara, dan saya adalah anak perempuan satu-satunya. Meski boleh dibilang rasa sayang mereka kapada saya lebih besar, tidak lantas membuat saya dimanja.
Saya masih ingat ketika dulu masih kecil sekali, saya menginginkan sebuah mainan boneka barbie dan pasar-pasaran. Saat itu ibu tidak punya uang, dan hanya menjawab, “Engko ya Nduk Ibu tumbaske nek wes ana duit.” Mendengar itu saya hanya diam, berjalan kembali mengikuti Ibu disisinya. Sejak itu saya ingin memiliki sebuah celengan, ya celengan untuk tempat saya menyimpan sisa uang jajan. Saat itu saya pergi kepasar bersama ibu, sedikit berbisik pada ibu bahwa saya ingin dibelikan celengan. Langkah kami pun menuju blok penjual plastik-plastik, saya melihat sebuah celengan berbentuk bebek berwarna hijau toska. Ukurannya tidak kecil juga tidak terlalu besar. Saya lupa harga pastinya berapa, mungkin sekitar Rp. 2.500,- dengan hati riang gembira saya meneteng celengan baru menuju rumah. Sepanjang perjalanan dalam becak, saya membayangkan betapa asyiknya melihat perut si bebek hijau penuh dengan uang receh. Suaranya yang nyaring dan berat ketika di goyang membuat semangat untuk menabung saya semakin tinggi.
Saya masih ingat saat SD uang saku saya hanya Rp. 500,- biasanya seratus untuk beli minum es teh satu plastik kecil dan Rp. 250 untuk makan kecil ketika istirahat. Jarang uang saku saya itu kurang, seringnya lebih. Jajan di rumahpun saya tidak perlu mengambil dari uang saku, cukup ambil jajan di warung atau minta uang ke Ibu. Dari sisa-sisa uang saku itulah saya kemudian menabung, sedikit demi sedikit uang koin saya masukkan ke lubang si bebek hijau. Seringkali saya intip lubang si bebek atau saya kocok-kocok perutnya hanya untuk mendengarkan bunyinya yang berat. Momen yang paling saya suka adalah ketika lebaran, rasanya ketika lebaran rejeki saya begitu banyak. Maklum saya anak paling kecil, perempuan satu-satunya, dan memiliki saudara banyak tak jarang mereka begitu dermawan dengan sedikit membagi rizkinya kepad saya. Alhamdulillah. Mulai dari Rp. 2000, Rp. 5000, hingga Rp. 20000 saya masukkan ke perut si bebek hijau. Memang tak jarang pula, saya mecukil lubang si bebek hijau untuk mengambil uang ketika saya membutuhkan sesuatu, entah mainan, jajan atau baju. Saya merasa lebih aman ketika saya memiliki cadangan uang hasil tabungan saya itu. Tak jarang pula kakak dan ibu saya meminjam uang kepad saya. Hingga saya harus merelakan membedah perut si bebek hijau.
Memasuki SMP saya sempat tidak istiqomah menabung lagi. Namun Alhamdulillah, Allah masih menyadarkanku dan mengembalikanku ke jalan yang benar. Ketika saya SMP kelas 1 semester 2, ada sebuah bank kecil di dekat rumah yang baru berdiri, namanya BMT Artha Abadi. Maka saya putuskan kembali menabung, dengan target minimal perminggu saya menabung Rp. 5000. Bersama Ibu, kami menjadi nasabah di sana. Kadang pergi berdua, kadang saya berangkat sendiri entah dengan menaiki sepeda atau dengan jalan kaki. Jadwal rutin saya ke bank biasanya hari Kamis, pulau sekolah mampir ke bank. Kadang ketika ibu memint saya menabungkan uangnya sementara saya sedang tidak punya uang, ibu berbaik hati memberi uang untuk saya tabungkan di rekening saya sendiri. Saat SMP uang saku saya  Rp. 2000, biasanya hanya terpakai di Rp. 1000, untuk beli minum dan jajan.
Entah sudah berapa saldoku dulu tapi yang pasti saldo segitu bagiku sudah sangat banyak. Sepertinya pernah mencapai Rp. 500.000. rencananya uang itu akan saya pergunakan untuk membeli sepeda sebagai pengganti seped saya yang sudah butut dan berkarat, tapi saya harus merelakan uang itu untuk dipergunakan kakak saya yang lebih membutuhkan. Saat itu kakak saya yang kelima namanya Mas Syukron, sedang menempuh S1 Akutansi di Unnes semester tua, mungkin tujuh. Waktu itu ia sangat membutuhkan komputer dan printer. Keluarga pun bermusyawarah, dan memutuskan mengambil uang tabungan, meminjam uang kesana kemari termasuk tabungan saya. Alhamdulillah akhirnya bisa terbeli juga komputer dengan seperangkat alat pendukungnya. Saya turut bahagia. Mas Syukron wisuda bulan November 2008, satu bulan setelah Bapak meninggal dunia dan saya lulus SMP bulan Mei 2009.  Sedikit menyingung soal sepeda yang tidak jadi terbeli dengan uang tabungan saya, saya justru mendapatkan sepeda baru atas wasiat Bapak yang meminta keluarga segera membelikan saya sepeda dengan uang zakat. Saya ingat itu hanya beberapa hari sebelum Bapak meninggal, hari itu hari minggu hanya ada satu toko sepedadi kota yang buka kebetulan juga masih libur lebaran. Saya pun memilih sebuah sepeda polygon berwarna biru, dan sepeda itu pun menjadi kenang-kenangan terakhir dari bapak kepad saya sebelum ia pergi.
SMK saya justru kurang bisa mengistiqohkan menabung, meski uang sakuku bertambah menjadi Rp. 5000, tapi rasanya kebutuhan juga bertambah. Saya mulai mengenal pulsa, pembersih muka, handbody, dll. Perjalananku ke sekolah pun kini tidak lagi jalan kaki atau bersepeda, tapi naik bus otomatis kebutuhan juga bertambah. Kesibukan di sekolah maupun di luar sekolah juga semakin menyulitkanku untuk datang ke bank. Meski begitu saya berusaha masih menyempatkan untuk menabung di bank. Sedikit demi sedikit. Saldo pun bertambah.
Lulus dari SMK Islam Jurusan Multimedia, hanya ada dua keinginan saya, kuliah dan mondok atau mondok saja. Alhamdulillah, Allah mengijinkan saya kuliah dan mondok di Semarang. Tepatnya S1 Pendidikan Nonformal Universitas Negeri Semarang dan mondok di Pondok Pesantren Durrotu Ahlissunnah Waljama’ah. Alhamdulillah pula keluarga tidak harus memikirkan biaya pendidikan karena saya berkesempatan memperoleh Beasiswa Bidikmisi dari pemerintah. Sebuah anugrah dan kenikmatan tak terkira ketika saya dinyatakan diterima sebagai penerima beasiswa. Mengetahui itu, Mas Syukron langsung menyarankan saya untuk membeli laptop. Ya laptop memang sebuah kebutuhan dalam dunia kampus, banyak tugas-tugas kuliah yang harus diselesaikan dengan laptop. Saya sepakat dengan usulnya, saya pun melihat saldo di tabunganku tak banyak hanya ada sekitar Rp. 600.000,-an. Kesedihan datang menghinggapiku tiba-tiba, uangku tak cukup, batinku.
Saya teringat soal uang tabungan saya dulu yang katanya dipinjam Mas Syukron, meski berat dan sungkan untuk bertanya, toh saya beranikan bertanya pula soal uang itu. Barangkali uang itu bisa membantu menutupi kekurangan membeli laptop. Alhamdulillah, berkat pengertian Mas Syukron dibantu Ibu dan Mas Mansur (kakak pertama saya) akhirnya bisa terbeli juga laptop pertama saya. Warnanya putih, merknya Asus, ukuran 14 inchi, tepatnya Asus X401U. Sebuah slimbook, dengan processor AMD C-60 APU with Radeon(tm) HD Grapihics. RAM 2,00 GB, system type 32-bit operating system. Dengan tanpa dvd player karena ASUS X401U memang slimbook, harga belinya tak sampai tiga juta.
Sebenarnya ASUS X401U bukan incaran pertama, tapi dengan pertimbangan harga, stok barang dan kebutuhan desain grafis Mas Syukron kemudian membelikan saya ASUS X401U saja. Kenyatannya ASUS X401U cukup tangguh jika saya gunakan untuk desain grafis, meneruskan hobi saya yang suka mengutak atik corel, photoshop dan ulead. Si putih begitu panggilan romantisku kepada ASUS X401U, begitu setia menemani menggapai cita-cita saya. Bergadang malam-malam untuk merampungkan sebuah tulisan/naskah. Si putih yang sudah tiga terakhir menamaniku, selalu mengingatkanku bahwa menabung itu penting.
Kisah saya tentang Si Putih dari Bebek Hjau itu membuat semakin jelas bahwa menabung itu penting. Menabung sendiri adalah perbuatan yang sangat dianjurkan Islam. Maka jangan berpikir terlalu lama, mulailah menabung. Sedikit berbagi saya punya tips untuk memperoleh hasil yang maksimal ketika menabung laksanakanlah 3M ini:
1.      Mau: mau dalam artian kuatkan komiten dan tekad untuk menabung serta tau orientasi (tujuan) menabung. Tanamkan pada diri sendiri motivasi menabung, saperti dengan cara menulis dalam sebuah kertas tulisan. “SAYA AKAN ISTIQOMAH MENABUNG. Karena dengan menabung saya akan bisa membeli ..... (tulis apa saja yang diinginkan dari hasil tabungan) atau tidak perlu ditulispun asal sudah termindset di otak kita seperti itu tak masalah.
2.      Mampu: kemampuan keuangan tiap orang tentu berbeda-beda, maka kita harus punya target dalam kurun waktu tertentu minimal kita harus menabung berapa sesuaikan dengan kemampuan dan harus rasional.
3.      Menyempatkan: seringkali kita ada uang, ingin menabung dan malas keluar rumah untuk pergi ke bank. Dengan membuat jadwal rutin ke bank, kita akan terbiasa disiplin pergi ke bank untuk menabung. Atau bisa juga memanfaatkan jasa penjemputan uang bank, tentu kita akan sungkan jika petugas datang tapi kita tidak menabung.
Ingat menabung adalah investasi masa depan, jangan sia-siakan waktu dan uangmu kini secara tidak bijaksana jika kelak kau tidak ingin masuk dalam golongan orang yang menyesal. Maka mulailah menabung.
***
Nama               : Noor Salamah
Alamat                        : Jalan H.M Syahid No. 11 Rt 03 Rw V Panggang Jepara
Pendidikan      : Mahasiswa S1 Semester 6 Prodi Pendidikan Nonformal Universitas Negeri semarang, sekaligus santri di Pondok Pesantren Durrotu Ahlissunnah Waljama’ah.
Pekerjaan         : Mahasiswa dan santri
Contak Person: 089668214948
E-mail              : salamah_chan@yahoo.com / pls2.12046@gmail.com


Read More

Rabu, 17 Mei 2017

Diskusi TBM Bersama Bu Tirta (Warung Pasinaon Semarang)

Rabu, 17 Mei 2017 secara mendadak aku tiba-tiba berada di gedung Kesenian Daerah Jepara. Semua ini berawal dari postingan fb-ku hari itu yang berkisah tentang harapan perbukuan di Indonesia dan mimpiku sendiri untuk mendirikan TBM. Akhirnya salah seorang kawan mengajakku ikut diskusi TBM bersama Bu Tirta penggagas dan pendiri Warung Pasinaon, Semarang. TBM terbaik tingkat nasional. Beliau adalah orang yang luar biasa, penuh dedikasi, loyalitas dan berdaya juang tinggi.
Sore itu ketika aku sudah mengkandangkan motor, aku tiba-tiba teringat ajakan Den Hasan (Rumah Belajar Ilalang), motor kemudian kukeluarkan dan kulajukan ke DKD.
Masuk dari pintu depan, ku pikir aku salah tanggal, karena DKD terlampau sepi. Namun dua orang yang berada di gazebo memintaku masuk ke pintu samping. Motor-motor sudah berderet. Sekarang pukul setengah empat lebih, di mana acara sebenarnya dimulai pukul 14.00.
Bismillah, aku kemudian masuk dan bergabung dengan diskusi yang menyenangkan. Beberapa hal yang aku catat dalam pertemuan tersebut adalah untuk mendirikan sebuah TBM setidaknya harus memiliki syarat;
1.      Memiliki koleksi buku 600 eksemplar
2.      Memiliki profile, berupa nama TBM, struktur organisasi, kegiatan, jadwal buka-tutup
3.      Meminta izin domisili ke kelurahan, dan kemudian izin operasional TBM ke Dinas Pendidikan Kabupaten
Dan apabila TBM tersebut berniat bekerja sama dengan mitra CSR maka hal yang harus dipenuhi adalah SK Kemenkumham, akta notaris, NPWP dan no. Rekening.
Meski TBM diniatkan secara mandiri dalam artian tidak tergantung pada program pemerintah, sepatutnya TBM tetap menggabungkan diri ke Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM). Karena dengan bergabung forum tersebut TBM memiliki kesempatan untuk memperoleh bantuan buku meski belum memiliki izin operasional, di forum tersebut akan ada teman dan ilmu yang bisa diperoleh.
Sebenarnya banyak pihak yang bisa membantu medonasikan buku seperti : donasi kemendikbud, 1001 buku, 1juta buku, rumah riang, rumah ceria, gramedia maupun penerbit mayor lainnya.  Pengajuan buku itu sendiri tidak mengharuskan TBM memiliki izin operasional, tentunya setiap pihak memilki syarat dan ketentuanya masing-masing.
Kebanyakan yang hadir sore itu adalah mereka yang sudah memiliki TBM dan berkecimpung di dunia TBM, setidaknya hanya ada tiga awam, termasuk aku sendiri. Sore itu juga kami bersepakat membuat grups diskusi WA dengan nama Taman Baca Jepara.
Bu Tirta juga memberikan beberapa tips tentang TBM
1. Jika punya keinginan terjun ke pendampingan minat baca. Yang dibangun adalah komitment. Jangan terburu2 mendapat buku yang banyak.
2. Meski organik, bersinergi dengan FTBM juga diperlukan. Sehingga legalitas ijin operasional mesti digarap bersama
3. Berjejaring dengan komunitas lain. Yang memiliki semangat yang sama

Itu sedikit yang bisa aku ceritakan, semoga bermanfaat. Semoga Allah memudahkan urusan dan menguatkan para pejuang literasi serta menumbuhkan para pejuang literasi yang baru. Semangat kawan J
Read More

Menerbangkan Layang-layang



“Kau tau Dahlia, layang-layang itu tak ubahnya seperti mimpi dan cita-cita kita. Dan kita tak ubahnya anak kecil yang terus belajar dan berjuang untuk menerbangkan layang-layang. Suatu ketika kita mengalami angin kencang yang menggoyahkan kendali layang-layang, atau bahkan ketika kita hendak memulai menerbangkan layang-layang kita tak memiliki cukup angin. Maka apakah kau akan berputus asa menerbangkan layang-layangmu Dahlia? Sementara kau begitu menyukai layang-layang, begitu ingin melihat layang-layang itu terus terbang.”
Dahlia menggeleng kuat, gadis yang masih duduk di bangku SMP kelas satu itu membayangkan dirinya semasa kecil yang begitu gemar bermain layang-layang.
“Benar kau tak boleh berputus asa. Teruslah belajar dan berusaha menerbangkan layang-layangmu. Teruslah belajar dan berusaha untuk mewujudkan mimpimu. Bukankah kau memiliki mimpi?” Dahlia sekali lagi mengangguk, matanya berbinar membayangkan dirinya dalam busana laboratorium, berkutat dengan tabung reaksi. Meramu senyawa kimia yang berguna untuk umat manusia.  “Bagus, pegang eratlah mimpi itu jangan kau lepaskan. Mimpi selalu punya jalan bagi mereka yang selalu berusaha dan tak berputus asa. Nah, hari sudah sore saatnya kita pulang. Mamak pasti sudah ribut karena aku mengajakmu bermain terlampu sore.”
Mereka berdua berjalan bersisian bergandeng tangan. Di tangan Dahlia tergenggam botol plastik berisi uang receh, sementara di tangan Santoso tergenggam ukelele yang biasa mereka gunakan untuk mengamen.
Dahlia menatap pucuk dari Tugu Muda yang tinggi menjulang ke langit luas. Tiba-tiba saja ia teringat kenangan bersama kakaknya beberapa tahun silam persis di tempat ini.
 “Bagaimana tanggapanmu tentang tawaran dari Ibu Atik tadi siang?”
“Entahlah, aku masih ragu untuk memustuskan bagaimana. Mimpi untuk melanjutkan sekolah, seperti mimpi yang terlalu tinggi. Aku anak orang miskin. Bapak pun sudah tak ada. Ibu hanya buruh cuci. Adikku masih dua, kecil-kecil, mereka yang lebih butuh sekolah. Aku, aku terlalu takut menyampaikan tawaran itu kepada ibu,”
“Apa salahnya menerima tawaran itu Dahlia? Menurutku kau lebih beruntung daripada aku. Setidaknya ada orang yang menawarimu, mengulurkan bantuannya untuk membantumu menggapai mimpi. Sementara aku? Boro-borolah ada yang bantu, berpikir bahwa aku juga memiliki mimpi pun nampaknya tidak ada dalam benak mereka. Setidaknya kau masih memiliki peluang, kau cerdas, rajin, dan berbakat dan kau di sukai banyak guru disekolah dapat peringkat disekolah lagi. Apalagi yang menghambatmu untuk meraih mimpi?”
“Mamakku sakit Hani, aku tak tega meninggalkannya sendiri mengurus keluarga. Apalagi jika aku melanjutkan sekolah pasti ibu akan bertambah bebannya,” Hani terdiam, ia sudah tidak ingin lagi berdebat dengan sahabatnya. Hani tau, sudah banyak duka dalam hati Dahlia, terlebih semenjak ia kehilangan kakak yang begitu ia sayangi secara mendadak akibat kecelakaan. Dunianya hampir-hampir saja berubah. Pelita dimatanya semakin redup.
Dalam situasi ini apa yang harus aku lakukan Mas? Akankah sudah menjadi takdirku untuk tidak sekolah? Akankah sudah menjadi takdirku untuk terus mengamen di jalanan yang kejam ini? Tuhan bimbinglah aku. Berikan petunjuk-Mu. Mudahkanlah jalanku.
Bisik Dahlia, sebuah bisikan yang hanya didengar oleh angin sore.
Sekar mendengarkan dengan serius apa yang dikatakan oleh Atik, guru muda yang begitu peduli dengan Dahlia. Hampir-hampir ia tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Atik tentang anaknya, Dahlia. Dahlia tidak pernah bercerita tentang masalah ini kepadanya. Memang Dahlia adalah sosok yang pendiam dan tertutup, tapi Sekar tak menyangka bahwa dalam hal sepenting ini pun Dahlia tidak bercerita padanya.
“Dahlia gadis yang cerdas, rajin dan berbakat Bu, sangat disayangkan apabila Dahlia tidak melanjutkan pendidikannya.”
Kalimat itu terus berulang di benak Sekar. Sementara di balik tirai jarik, Dahlia mencuri dengar pembicaraan ibunya bersama Ibu Atik, wali kelasnya. Ingatan Dahlia melesat jauh kembali ke masa lalu, tentang sore yang begitu indah bersama almarhum sang kakak. Akankah ia harus menyerah menerbangkan layang-layangnya?
“Tapi Bu, saya tidak punya cukup biaya untuk menanggung biaya sekolah Dahlia. Kami hanya hidup sebatang kara, Mas Didik dan Santoso sudah tiada, sementara Dahlia masih memiliki adik yang kecil-kecil.”
“Soal biaya, jangan terlalu dipikirkan Bu. Banyak beasiswa yang bertebaran di luar sana. Kami dari pihak sekolah akan membantu Dahlian dan kawan-kawan dalam hal pengajuan beasiswa bidikmisi dan pemilihan jurusan serta universitas. Tapi kami tentu tak bisa berjuang sendirian. Dahlia butuh motivasi, dukungan, restu dan doa dari Ibu untuk melanjutkan pendidikannya.”
“Tapi tentu beasiswa-beasiswa itu belumlah cukup untuk membiayai sekolah Dahlia. Seberapa besar sih beasiswa itu? Tentu ada biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan. Bukannya saya keberatan Dahlia sekolah lagi, tapi kami ini orang miskin Bu. Apalah yang bisa kami lakukan sebagai orang miskin ditengah kehidupan yang semakin kejam dan tak adil?”
“Kalau beasiswa bidikmisi itu berbeda Bu. Beasiswa ini insyaallah menjamin penerimanya. Karena, penerima bidikmisi sudah dibebaskan dari biaya perkuliahan ditambah lagi setiap bulannya akan mendapatkan living cost atau biaya hidup, untuk membayar tempat kost, buku, makan dan lain-lain. Kalau di sekiatar semarang ya berkisar enam ratus ribu lah. Tinggal anak itu mengelolanya bagaimana sehingga dana beasiswa yang diberikan untuknya bisa cukup untuk memenuhi kebutuhannya,” sekali lagi Atik berusaha menyakinkan Sekar agar merestui Dahlian melanjutkan sekolah.
Diseberang sana, Sekar nampak berpikir. Apakah enam ratus ribu sebulan itu cukup untuk Dahlia?
“Bagaimana jika begini saja Bu? Mari kita tanyakan Dahlia, apakah ia berkeinginan untuk melanjutkan sekolah atau tidak? Jika dia memang berniat melanjutkan sekolah, pihak sekolah akan membantunya. Dan mohon pihak keluarga juga mendukung Dahlia.”
            “Dahlia, kemarilah Nduk!” Dahlia yang sedari tadi mencuri dengar dari balik tirai jarik datang memenuhi panggilan mamaknya. Ia duduk dengan tatapan menunduk disisi mamak.
            “Dahlia, soal tawaran dari sekolah untuk melanjutkan sekolah, Bu Atik sudah menceritakannya pada mamak. Sekarang mamak ingin bertanya padamu. Apakah kamu berniat dengan sungguh-sungguh tidak sekedar ikut temanmu yang kaya-kaya dan suka gaya itu untuk melanjutkan sekolah?” Dahlia mengangguk. Ia sudah memantapkan hati. Mencoba tak ingin memikirkan apa reaksi mamaknya. Dahlia ingin layang-layangnya terbang tinggi, untuk itu Dahlia tidak boleh berhenti berusaha, tidak boleh berputus asa. Atik tersenyum mendapati jawaban Dahlia. Inilah jawaban yang ditunggu-tunggu. “Baiklah kalau, begitu. Jika Dahlia memang sudah mantap dengan pilihannya. Mamak bisa apa? Mamak hanya bisa berdoa untuk kebaikannya,” terharu Dahlia mendengar jawaban mamak. Dipeluknya mamak erat dan hangat. Mamak membalasnya dengan pelukan dan tepukan sayang.
            “Tapi Mak, jika Dahlia benar-benar bisa melanjutkan sekolah. Mamak nanti sendirian di rumah, trus yang mengurus adik-adik nanti siapa? Sementara Mamak sendiri sering sakit- sakitan?” pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Dahlia ketika Atik sudah pulang.
            “Sudah jangan kau pikirkan. Mamak sudah sehat kok. Mamak masih mampu mengurus rumah dan adik-adikmu. Toh adik-adikmu adalah anak yang mandiri, mereka pasti bisa mengurus dirinya sendiri. Lihatlah Rara, ia sudah mulai belajar mencuci pakaiannya sendiri. Sementara Kholil sepulang sekolah ia membantu di warung Cik Akong. Jadi janganlah terlalu cemaskan adik-adikmu. Belajarlah yang tekun, banyaklah berdoa dan jadilah kebanggaan mamak dan keluarga kita. Sebentar lagi kamu ujian to? Jadi jangan bebanban pikiranmu untuk hal-hal seperti ini. Oh ya mamak juga minta, berhentilah mengamen di jalanan. Mamak tak ingin pikiranmu pecah. Apalagi tindak kriminal semakin tinggi. Mamak khawatir padamu,” Dahlia sekali lagi mengangguk, tak tau lagi harus berkata apa.
            Tengah malam, katika rumah sudah sepi sekali. Di atas depan kayu beralas tikar lusuh, Dahlia mendengar rintih, tangis serta doa mamak dalam salat malamnya.
            “Ya Allah yang Maha Mendengar. Mudahkanlah urusan Dahlia, berikanlah ia ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat. Ya Allah, bimbinglah ia agar ia senantiasa berada di jalan yang Enagkau ridai. Hanya atas kuasa dan kehendakmu ya Allah, Dahlia bisa melanjutkan sekolah menggapai cita-citanya. Menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat. Tuhan, Dahlia adalah yang membanggakan bagiku, tapi janganlah ia Engkau jadikan hanya kebanggaanku seorang tapi juga kebanggan-Mu, kebanggaan nusa, bangsa dan agama. Ya Allah mantapkanlah hatinya dalam melangkah. Kuatkanlah hamba, agar bisa selalu mendampinginya agar selalu mampu mendidik anak-anak hamba menjadi hambamu yang Engkau banggakan,”
            Tanpa Dahlia sadari tetes air mata jatuh membasahi pipinya. Ia peluk erat Rara dan Khalil yang tertidur pulas di sampingnya. Air mata semakin turun deras, manakala terdengar suara batuk Mamaknya.
            Ya Allah, kuatkanlah aku. Bimbinglah aku. Mudahkanlah urusanku. Mamak, aku berjanji padamu. Aku akan berusaha menjadi apa yang engkau harapkan. Selalu menjadi anak yang membanggakan dan membahagiakanmu.
***



Noor Salamah, putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan S. Muzaronah lahir pada  23 Juni 1994. Beralamat di Jalan H.M. Sahid No. 11 Panggang Jepara. 


Read More

Minggu, 14 Mei 2017

Jawaban-Mu



Resah ini berulang kali coba ku enyahkan
Sia sia, ia tetap ada di sudut hati
Oh, mungkinkah ini abadi?
Aku bertanya pada Dia Yang Maha Tau
Pemilik semua jawaban
Aku menangis karena jawab-Mu tak jua datang
Dan resahku tak segera sirna

Empat puluh hari lamanya
Dalam tirakatku
Itu jua yang kutanyakan
Tapi jawab-Mu tak jua tiba
Hingga pada suatu malam
Cahaya itu datang menerangi langkahku
Menjadi alasanku tuk percaya bahwa ia adalah takdirku
Nama yang Engkau tulis bersanding dengan namaku dalam kitab pusaka-Mu

Waktu terus berjalan
Kehidupan tiada henti bergerak
Dari setitik cahaya itu
Kubangunlah keyakinan, kepercayaan
Karena janji dan komitmen yang terucap
Tak mungkin lagi di ralat

Jepara, 13 Mei 2017
Untuk yang jauh di sana, di mana takdir ini berusaha ku yakini.
Read More

Kamis, 11 Mei 2017

Di Balik Rak itu, Aku Menemukanmu



Masih di tempat yang sama. Di balik rak itu, aku menemukanmu. Duduk tenang seolah kau hidup dengan duniamu sendiri. Tak terusik, siapapun dan apapun. Bahkan hujan yang turun deras sekali, hanya kau lirik dari kaca jendela di sampingmu. Sesekali kau menaikan kaca matamu yang turun. Beberapa tumpuk buku berada di pinggir mejamu. Sementara itu matamu bergerak fokus mengikuti alur setiap abjad yang tersusun dari buku yang kau pegang. Mencoba memasuki dimensi ruang dan waktu yang dicipta sang penulis. Hanyut dalam emosi, seolah-olah kaulah yang mengalami semua peristiwa itu. Sukmamu mungkin sudah terbang bersama imaji yang kau racik. Dengan bumbu-bumbu fantasi penuh misteri. Di salah satu sudut ruangan ini, kau menyepi sendiri, mengucilkan diri dari hiruk pikuk, sibuknya dunia yang tak pernah sepi. Membenamkan diri di dalam setumpuk buku.
Aku selalu menemukanmu di balik rak itu, selalu di waktu yang sama. Di hari sabtu, di balik rak penuh buku misteri. Sama seperti dirimu yang penuh misteri. Dan kau akan menghabiskan waktumu dari pukul dua siang hingga perpustakaan ini tutup. Dan kaupun akan pergi, dengan ekspresi penuh kesedihan seolah-olah kau telah kehilangan belahan jiwamu. Tapak kakimu terasa berat sekali tatkala kau paksa dirimu tuk pergi. Aku merasakannya, sebagian hatimu sengaja kau tinggalkan disini.
Hari ini kau datang lagi. Selalu seragam coklat itu yang kau kenakan, dan kau terlihat amat manis kali ini, layaknya sebuah coklat. Kau isi kehadirin di komputer dekat tangga. SLTA. Itulah yang kau klik. Kau ambil kunci loker yang aku sodorkan. Membuka loker, menaruh tas. Mengunci kembali loker, lalu kunci itu kau serahkan kembali padaku sedangkan kau hanya memegang selembar kertas tanda nomor loker. Berjalan santai, menuju tempat favoritmu. Dibalik rak buku misteri dekat jendela. Tentu saja sebelumnya kau akan mengambil beberapa buku misteri dari rak di sampingmu. Rak itu berisi buku-buku karya penulis luar negeri, seperti Sir. Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, Dan Brown dan lain-lain. Tak banyak pengunjung lain yang tertarik dengan buku-buku di rak itu. Alasan pertama kebanyakan buku itu sudah jelek, baik cover maupun kertas isinya. Alasan kedua, kebanyakan buku-buku itu merupakan cetakan lama tahun 90 hingga 20-an. Alasan ketiga, tak banyak yang suka novel terjemahan. Mungkin kau termasuk diantara sedikit yang masih menggemarinya buku-buku jenis itu. Terutama buku yang ditulis Agatha Christie. Ku pikir kalian memiliki kesamaan, sama-sama menyukai kisah penuh misteri. Kasus pembunuhan terutama. Agaknya, kau bercita-cita jadi seorang detektif, yang berhasil mengungkap berbagai kebenaran dibalik teka-teki.
Denting panjang bunyi bel terdengar keras dari setiap spiker yang terpasang di langit-langit ruangan. Tanda bahwa lima menit lagi perpustakaan akan tutup. Kau terlihat sedikit gugup. Kau bergegas pergi menghamipiriku, meminta kunci loker. Pada kesempatan ini aku beranikan diri bertanya padamu.
“Enggak minjem buku Mbak?”
“Enggak Mas, belum punya kartu.”
“Ya buat to Mbak. Caranya mudah kok, tinggal ngisi formulir. Minta tanda tangan guru dan pengesahan dari sekolah. Ini formulirnya.” Aku sodorkan padanya selembar formulir pendaftaran anggota perpustakaan. Dia menerimanya tanpa banyak kata selain mengucapkan terima kasih dan tersenyum padaku.
Hujan turun semakin deras, dari yang tadinya hanya sekedar rintik-rintik ketika aku mengunci pintu perpustakaan ini. Dan betapa aku terkejut, melihat dia masih berada di sini. Duduk sendiri di bangku kayu panjang depan pintu perpustakaan. Matanya menerawang menatap ke langit yang gelap. Mendung semakin tebal nan pekat, pun hari semakin sore.
“Nunggu siapa Mbak?”
Dia menggelang lemah. Tidak menunggu siapa-siapa, tidak menunggu jemputan, jadi mungkin dia menunggu hujan reda untuk pulang.
“Hujannya mungkin akan berlangsung lama. Rumahmu dimana?”
Wajahnya kini semakin sedih, ketika aku mengatakan hujannya mungkin akan lama.
“Potroyudan, Mas.”
Tak terlalu jauh, batinku.
“Mau tak anter?”
Aku menawarkan sebuah solusi. Tapi ia justru memandangku dengan tatapan aneh. Mungkin aku dianggap lancang, baru ngobrol pertama kali. Tau-tau menawari sebuah boncengan.
“Ndak Mas, ndak usah repot-repot. Saya nunggu hujan reda aja.”
Aku terdiam. Menatap langit yang kian gelap. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku buka kembali pintu perpustakaan. Ketemu, ini akan menolong. Aku kembali lagi duduk di sampingnya. Menyodorkan sebuah payung kepadanya. Matanya menatapku, mengisyaratkan sebuah tanya.
“Pakailah, tak apa. Ini adalah inventaris perpus. Boleh digunakan kok.”
“Terima kasih. Kalau begitu saya pamit pulang dulu, Mas. Assalamualaikum.
Dia pun pergi, berlalu bersama payung yang melindunginya. Semakin jauh, hilang diantara tetes air hujan.
Seminggu kemudian, kau datang lagi kesini. Masih mengenakan seragam coklat. Dengan rutinitas seperti biasa. Sepertinya kau menyengaja menjadi pengunjung terakhir kali ini. Bahkan kau juga sepertinya sengaja menungguku, hingga perpustakaan ini hendak aku tutup. Saat itulah kau mencegahku.
“Tunggu Mas, jangan di tutup dulu.”
Aku menoleh heran menatapmu. Kau kemudian menyerahkan sebuah payung yang dulu aku pinjamkan.
“Saya cuma mau mengembalikan ini Mas, makasih.”
“Tapi di luar gerimis, tak apa kalau kamu mau minjam lagi.”
“Enggak Mas, enggak perlu. Saya sudah bawa payung sendiri kok. Terima kasih saya pamit pulang dulu. Assalamualaikum.
Waalaikum salam.
Kau mekarkan sebuah payung berwarna hijau emarld dengan hiasan sedikit bunga. Kau pun kemudian berlalu, pergi menghilang diantara tetes hujan. Mungkinkah besok aku memiliki alasan lagi untuk bercakap-cakap denganmu? Semoga, kesempatan yang baik itu akan datang lagi.
Rupanya doaku tidak di ijabah. Kesempatan itu tidak datang lagi. Bahkan aku tak lagi menemukanmu di balik rak itu. Aku selalu menunggu hari sabtu tiba, namun ketika sabtu bersua kecewa jua yang kudapat. Aku bahkan belum sempat tau siapa namamu. Dimana kamu sekolah. Rindu ini sungguh menyesak di dada. Semakin lama semakin membuat aku susah bernapas. Setiap ada gadis berseragam coklat datang ke perpustakaan di hari sabtu, aku selalu berharap itu kamu. Namun aku hanya berhalusinasi. Faktanya kamu tak pernah datang. Dan aku baru sadar bahwa, benang merah jambu sudah terlanjur menjerat hatiku. Aku pun belum sempat menyampaikan kegelisahan hatiku kepadamu. Mengutarakan isi hatiku, betapa aku menyukaimu.
***
Noor Salamah, lahir pada tanggal 23 Juni 1994. Putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan Ibu S. Muzaronah ini hobinya membaca dan menulis. Sejak 2012 melanjutkan studi S1 Pendidikan Luar Sekolah di Unnes. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail : salamah_chan@yahoo.com, fb : salma van licht atau twitter : @salma_skylight.


Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com