Nayla,
gadis kecil berkucir dua yang baru berumur lima tahun itu duduk di atas ayunan
sambil memperhatikan siswi Madrasah Aliyah yang lalu lalang di depan rumahnya.
Mata kecilnya tak henti mengikuti setiap gadis yang lewat dengan seragam putih
abu-abu lengkap dengan jilbab putih besar mereka.
“Assalamualaikum.”
Seorang gadis berseragam Madrasah Aliyah membuka pintu pekarangan. Nayla turun
dari ayunan dan bergegas menghampirinya.
“Kakak
kapan Nay bisa pake seragam sekolah baru?” Nayla menarik-narik rok Farah. Farah
berjongkok, dan memegang pundak Nayla.
“Sabar
ya Nayla, Insyaallah seragam barumu jadi sebentar lagi.”
“Nay,
pengen jilbabnya Nay ada bordirannya kak, kecil-kecil ja, trus ada nama Nayla
disana. Bisa kan?”
Farah
mengangguk ia kemudian membimbing Nayla masuk ke dalam rumah.
***
“Nayla
kakak berangkat dulu ya, seragammu kakak gantung di almari. Baik-baik ya
disekolah nanti.”
“Iya
kak.” Nayla mencium tangan Farah.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam.”
Nayla
memandang seragam sekolah yang tergantung di almari. Ia ambil, lalu ia
patut-patutkan dirinya dan seragam tersebut pada kaca almari. Baju panjang
sampai lutut berwarna biru tua dan celana panjang setumit warna senada sebagai
pasangannya adalah jilbab putih di ujung-ujung jilbab terdapat bordir bunga kecil
berwarna biru dan namanya Nayla. Seragam itu adalah buatan Farah sendiri. Di
rumah sederhana ini mereka hanya hidup berdua. Kedua orang tua mereka sudah
lama tiada. Mereka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Farahlah yang
kemudian membesarkan Nayla, ia pulalah yang berusaha sekuat tenaga untuk
mencukupi kebutuhan mereka.
Nayla
sedang menyisir rambutnya bersiap berangkat sekolah. Tiba-tiba ia merasakan
guncangan yang sangat dahsyat. Lampu kamar bergoyang. Tanah yang Nayla pijak
bergetar dengan kuat. Dinding-dinding retak. Nayla menjerit memanggil kakaknya,
Farah. Tapi Farah tak jua datang. Ia begitu ketakutan, ia bergegas lari keluar
rumah. Namun di tengah perjalanan Nayla
teringat jilbab barunya. Jilbab yang dibuat Farah dengan susah payah. Jilbab
yang telah begitu lama ia dambakan. Ia ambil jilbab yang masih tergantung di
lemari dan langsung ia kenakan jilbab tersebut. Gempa dahsyat itu belum juga
berhenti. Bahkan semakin terasa kuat. Tiba-tiba almari dihadapannya roboh ke
arah Nayla.
“Aaaaaa...!”
Nayla menjerit keras melihat almari tersebut roboh kearahnya.
Gelap,
Nayla hanya melihat gelap pengap dan sempit. Ia raba ruang di sekelilingnya.
Ada banyak sekali baju di sekelilingnya. Nayla berada dalam Almari yang roboh.
Sekuat tenaga ia dorong Almari itu ke atas. Percuma dirinya yang kecil takkan
mampu mendorong almari tersebut.
“Kak
Farah.. hiks hiks hiks .. kak Farah tolong Nayla..”
Nayla
terus memanggil nama kakaknya, meminta tolong dan menangis. Reruntuhan atap
rumah mulai menghantam almari. Semakin lama napas Nayla terasa semakin sesak.
***
Farah
berlali sekuat tenaga menuju rumahnya. Begitu gempa terjadi yang terlintas
pertama kali dalam benaknya adalah bagaimana keadaan Nayla. Adik yang begitu ia
sayangi. Farah menyisir rumahnya yang kini telah menjadi puing-puing.
“Nayla!
Nayla! Nayla!” Farah memanggil nama adiknya.
Di
dalam almari samar-samar Nayla mendengar suara kakaknya. Dengan sisa tenaga
yang ada, Nayla berusaha membalas panggilan kakaknya.
“Kak
Farraah..” terdengar begitu lemah
Farah
mendengar suara adiknya. Ia bergegas mencari sumber suara dan mendapati suara
itu berasal dari almari di kamarnya.
“Nayla
bertahanlah, kakak datang.”
Farah
mencoba mengangkat almari itu ke atas. Gagal tenaganya tidak sebanding dengan
almari. Tak patah semangat Farah mencoba mencari tuas yang bisa ia gunakan
untuk membantu mengangkat almari. Farah menemukannya, sebuah tongkat panjang
dari reruntuhan atap rumahnya.
“Bismillahirrohmanirrohim,
la haula wa la kuwwata illa billah.” Farah mencoba kembali mengangkat almari.
Ajaib, ia berhasil. Farah langsung mengangkat Nayla memelukknya erat dengan
penuh air mata. Ia bersyukur adiknya masih selamat. “Alhamdulillah ya Robb.”
Farah
masih memeluk Nayla ketika iba-tiba gelombang air besar setinggi 30 m terlihat
dari arah pantai. Farah kaget. Ia tidak sempat lari. Gelombang air tersebut
sudah menyeretnya mengikuti arus. Sekuat tenaga ia berusaha mencapai permukaan dengan
tetap memeluk Nayla.
“Hosh
hosh hosh..” Farah melihat daerah di sekitarnya penuh dengan air. Berbagai
macam reruntuhan mengapung dia atas air. Dari arah samping kanan, Farah melihat
almari miliknya sedang terapung-apung. Tanpa pikir panjang Farah berusaha
meraihnya. Hal yang pertama ia lakukan adalah menempatkan Nayla terlebih dahulu
diatasnya baru kemudian Farah. Selama berjam-jam lamanya mereka terapung-apung
di atas almari. Nayla masih belum sadarkan diri, sedangkan Farah tak hentinya
berdoa berharap akan ada yang menyelamatkan mereka.
***
“”Hey
lihat, ada seseorang yang terapung-apung diatas almari di sebelah sana!”
Salah
seoarang anggota SAR yang duduk diatas perahu karet menyeru temannya yang lain.
Mereka pun menghampiri korban yang selamat tersebut. Farah dan Nayla akhirnya
ditemukan dalam keadaan selamat. Mereka kemudian dibawa ke tempat pengungsian.
Gempa
sebesar 9,3 SR yang melanda daerah Aceh dan Sumatra Utara pada tanggal 26
Desember 2004, gempa yang kemudian memicu gelombang tsunami sebesar 30 m telah
menewaskan begitu banyak korban dan menyebabkan kerugian ratusan juta rupiah.
Banyak rumah-rumah penduduk roboh, jalan-jalan , tempat ibadah , rumah sakit,
sekolah dan bangunan-bangunan lainnya rusak.
***
Noor
Salamah, lahir pada tanggal 23 Juni 1994 di kota ukir Jepara. Gemar menulis
sejak SMP dan masih dalam proses belajar menulis. Pembaca bisa mengirimkan
kritik dan saran melalui, email : salamah_chan@yahoo.com.
Facebook : salma van licht. Twitter : @salma_skylight atau ke nomor hp.
089668214948.
0 komentar:
Posting Komentar