Dharmo Dan Peri Lapis
Gemeletak suara kayu yang terbakar oleh api dan suara jangkrik yang
mengerik, mewarnai malam api unggun dalam acara kemah sabtu minggu pramuka
siaga SD Mulyoharjo. Anak-anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing,
mengobrol, bermain kartu, bermain ketipung, dan lain sebagainya.
“Kak Sandra, ceritakan pada kami sebuah cerita,” rajuk Destu bocah
kecil yang baru masuk kelas tiga SD. Sandra selaku pembina terlihat berpikir
sejenak, diperhatikannya wajah anak-anak yang nampak antusias, matanya menyapu
objek yang ada di sekelilingnya. Sejurus kemudian ia menemukan ide.
“Kalian tau itu makanan apa?” tanya Sandra yang menunjuk sebuah
piring berisi makanan tradisional yang terdiri atas warna merah, biru dan
hijau.
“Kue lapis Kak,” jawab Destu polos.
“Ya namanya kue lapis, dinamakan kue lapis karena kuenya terdiri
atas lapisan warna warni. Umumnya merah, biru, dan hijau. Tapi taukah kalian
sejarah kue lapis tersebut?” anak-anak menggeleng serempak. “Alkisah pada zaman
dahulu kala, di sebuah negeri bernama Mayaran, hiduplah seorang nenek bernama
Nyai Unang dan cucunya. Nenek tersebut bekerja sebagai pembuat kue lapis yang
sangat terkenal dan satu-satunya di negeri tersebut. Berkat kelezatan kue lapis
yang dibuatnya kue lapis buatannya menjadi jamuan wajib dalam setiap acara
kerajaan. Kemampuan membuat kue lapis yang lezat itu diwarisinya dari
buyut-buyutnya dan sekarang hendak diwariskan pada cucunya yang bernama Dharmo
Aji.”
Dharmo menambahkan kayu dalam perapian, bersama Nyai Unang, Dharmo menunggu
kue lapis yang dikukus matang.
“Dharmo, kau tentu tau bahwa dari dulu leluhurmu bekerja sebagai
pembuat kue lapis. Kini saatnya kemampuan itu kau warisi. Namun, nenek lihat
jika soal keterampilan membuat kue lapis kau sudah pandai. Tapi satu yang belum
nenek beritahukan padamu, dan ini adalah yang paling penting dalam pembuatan
kue lapis, yaitu tridharma. Kue lapis yang berwarna merah, biru dan hijau
mengandung makna bahwa manusia haruslah berani dalam mewujudkan keadilan
sehingga akan tercipta kedamaian di muka bumi ini. Sebagai seorang pembuat kue
lapis, ia harus melakukan laku dharmo lapis, yaitu senantiasa berani berbuat
adil, baik adil terhadap dirinya sendiri, makhluk yang lain juga pada Tuhan.
Keadlian diwujudkan dengan meletakkan sesuatu sesuai tempat dan takarannya, hidup
sederhana, makan secukupnya, memberi pada orang yang membutuhkan, penuh kasih
pada sesama, beranilah berkata jika untuk membela keadilan.”
Dharmo mendengarkan Nyai Unang dengan tanpa berkedip. Ia akan mengukir
pesan Nenek di hatinya dan tak akan pernah melupakannya serta senantiasa
menjalankan pesan tersebut. Hari-hari berlalu Nyai Unang yang sudah tua mulai
sakit-sakitan. Padahal beberapa hari lagi istana akan melakukan jamuan, dan
tentu saja pihak istana akan memesan kue lapis pada Nyai Unang.
“Cucuku, nenek sudah tidak kuat. Tolong kamu saja yang membuat kue
lapis untuk jamuan kerajaan besok. Nenek percaya kamu bisa. Bapak dan Ibu sudah
menjemput nenek, nenek akan menyusul mereka. Kamu jadilah anak yang baik,”
Dharmo mengusap air matannya. Wajah Nyai Unang tersenyum meski dalam kondisi
pucat. Tangannya sudah lemas lunglai, terasa dingin. Sudah tidak ada lagi tanda
kehidupan disana. Dharmo tau nenek sudah pergi, menyusul bapak dan ibunya yang
sudah mati. Bapaknya mati sebagai prajurit yang gugur sebagai kesatria saat
membela negara. Sementara ibunya mati ketika berusaha melahirkannya ke dunia.
Kini Dharmo sendirian, tak ada nenek, bapak atau ibu.
Sesuai permintaan nenek, Dharmolah yang membuat pesanan kue lapis dari
istana. Kue lapis telah matang, dan siap di antar ke istana. Bersama kuda
kesayangannya yang bernama Kiai Samosir, Dharmo pergi ke istana. Kue lapis
dikemas dalam nampan dan di tata sedemikian rupa di dalam gerobak sehingga
tidak akan jatuh manakala gerobak tersebut bergerak ditarik Kiai Samosir. Sepanjang
perjalanan dari desanya menuju istana, Dharmo memperhatikan kehidupan
masyarakat yang dilaluinya. Kebanyakan rakyat hidup dalam kondisi miskin dan
serba kekurangan. Banyak ia temui perampokan dan pemerasan. Banyak pengemis
menengadahkan tangan di sepanjang jalan.
Saat itu usianya baru sebelas tahun, tapi ia sudah cukup menguasi
ilmu kanuragan yang di ajarkan oleh bapaknya. Kemarahan meledak manakala ia
lihat seorang pria bertubuh tinggi besar sedang memeras seorang nenek beserta
cucu perempuanya yang masih kecil.
“Kami hanya rakyat miskin, kami tidak memiliki apa pun yang bisa
kami berikan untukmu, untuk makan saja kami kesulitan. Tolong lepaskan kami,
biarkan kami lewat,” pinta nenek tua tersebut, sementara itu cucunya, gadis
kecil berumur sembilan tahun bersembunyi di balik tubuh nenek dan menatap jeri
penuh rasa takut terhadap pria di depannya.
“Kalau begitu aku ambil saja cucumu yang jelita, akan aku jadikan
ia budak belian.”
“Jangan ku mohon jangan! Hanya ia satu-satunya milikku yang paling
berharga,” rengek nenek tua, gadis kecil semakin bersembunyi di balik tubuh
neneknya. Pria tersebut berusaha merampas gadis kecil dan nenek, si nenek
berusaha melawan. Namun tenaga pria tersebut lebih besar dan dengan mudah ia
menyingkirkan tubuh nenek, menjambak rambut gadis kecil dan membawanya pergi.
“Tunggu hentikan perbuatanmu! Tolong kemballikan gadis itu pada
neneknya!” teriak Dharmo. Pria tersebut menghentikan langkah, memandang Dharmo yang
betubuh kecil dengan penuh cibiran.
“Cih! bocah ingusan sepertimu apa yang bisa kau lakukan? Tidur saja
masih mengompol. Hahahaha!” tawa menggema dengan penuh jemawa. Tanpa banyak
bicara Dharmo langsung berlari, mengitari pria tersebut dan hap. Gerakannya
cepat, lincah dan kesit. Dalam sekali gerakan dharmo berhasil mengunci
pergerakan pria tersebut dengan menekan titik persendiannya. Jambakannya pria
tersebut pada gadis kecil pun mengendor. Berlarilah gadis tersebut menghambur
dalam pelukan sang nenek.
“Terima kasih, terima kasih.”
“Pergilah nek, carilah tempat yang aman dan damai untuk kalian tinggali. Negeri ini
sepertinya sudah rusak tatanannya.”
“Tentu, dan semua ini tak lain karena ulah raja yang lalim itu.
Padahal dulu leluhurnya memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun di tangan
Raja Rikean Kuti semua tatanan menjadi rusak. Rakyat hidup menderita. Sudah
banyak rakyat yang memilih mengungsi pindah ke daerah lain, dan itu pula yang
akan kami lakukan. Mari Nang, terima kasih bantuannya. Semoga kelak kita bisa
bertemu lagi sehingga kami bisa membalas budi baikmu,” Dharmo tersenyum dan
mengangguk, ia pun pergi kembali ke tujuan semula mengantarkan kue lapis.
Perjalanan menuju istana hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja.
Sebelum petang ia telah sampai di istana. Pihak istana kemudian meminta ia
untuk tetap berada di istana hingga jamuan selesai. Dharmo menurut.
Jamuan itu tak besar seperti pesta, hanya terlihat seperti rapat
bulanan di antara petinggi kerajaan dan tokoh-tokoh penting istana. Setelah
rapat, para tamu diperkenankan menikmati berbagai makanan dan minuman yang
disajikan. Ada beragam kue tradisional, kue lapis adalah kue kesukaan raja. Kue
khas Kerajaan Mayaran, semua orang menyukai kue yang terasa legi dan gurih
tersebut. Namun aneh, ekpresi raja berubah tidak menyenangkan setelah mencicipi
kue lapis yang disajikan. Ia meludah, membuang kue lapis dari mulutnya.
“Cuih, pengawal panggil pembuat kue lapis ini. Aku ingin bertemu
dengannya. Bagaimana bisa ia memberikan kue yang rasanya pahit seperti ini
untuk rajanya. Kurang ajar!”
Semua tamu yang hadir dalam jamuan menoleh heran. Bagaimana mungkin
bisa kue lapis dirasa pahit oleh raja pahal baru saja mereka makan rasanya
lezat, manis dan gurih seperti biasanya? Bisik-bisik mulai terdengar, saling
bertanya tentang rasa kue lapis yang mereka cicipi. Semuanya merasa lezat
seperti biasanya.
“Benar kau yang membuat kue lapis ini?” tanya Raja berang, Dharmo
mengangguk.
“Benar, hamba paduka.”
“Kurang ajar, beraninya kau menyuguhkan kue yang rasanya tidak enak
pada rajamu. Kau mau dihukum, hah? Pengawal masukkan ia ke penjara,” perintah
sang raja.
“Ampun, paduka. Jika boleh saya diijinkan, saya akan mencicipi
terlebih dahulu kue lapis tersebut dan menerka letak kesalahan saya dalam
membuatnya,” pengawal menghentikan langkah, membiarkan Dharmo mencicipi kue
lapis yang disuguhkan untuk raja. Ia seolah terlihat berpikir. Lidahnya
mengatakan kue ini lezat seperti biasanya, persis sama seperti buatan neneknya.
Jadi bisa dipastikan tidak ada kesalahan yang Dharmo lakukan dalam pembuatan
kue lapis. “Ampun paduka, setelah hamba mencicipi kue tersebut lidah saya
merasa bahwa kue tersebut terasa manis dan gurih, lezat seperti biasanya. Jika
saya boleh mengajukan, marilah kita bertanya kepada semua hadirin yang turut
mencicipi kue lapis yang saya buat benarkah yang paduka rasakan bahwa kue
tersebut terasa pahit di lidah atau sebaliknya? Jika memang benar pahit, hamba
akan siap menerima hukuman.”
“Benar yang dikatakan bocah itu paduka. Lidah saya merasakan bahwa
kue tersebut manis dan gurih, lezat seperti biasanya,” bela seorang pria tua
berjanggut putih dan beruban.
“Benar yang dikatakan oleh Adipati Nanyong, yang hamba rasakan juga
manis dan gurih paduka,” bela seorang pria lain yang duduk di ujung meja.
“Berarti kalian menuduhku berbohong begitu? Dan kalian juga menuduh
lidahku ini sudah rusak karena tidak bisa membedakan mana manis mana pahit?
Beraninya kalian pada raja!” pengawal tahan bocah kurang ajar ini, masukkan ia
ke penjara.
Tak puas dengan hanya menjatuhkan perintah tersebut raja yang sudah
terlanjur benci pada kue lapis membuang kue lapis dan hendak melemparkannya
pada Dharmo. Ajaib, kue lapis yang seyogyanya jatuh mengenanai wajah Dharmo
berhenti melayang. Ia berhenti di udara, percikan perak dan disertai uap
tiba-tiba keluar dari kue lapis. Dan dari uap yang pekat bagai kabut tebal
menyembul sesosok makhluk kecil bersayap seukuran burung merpati. Bentuknya
mirip manusia, tapi telinganya panjang lagi runcing, ia juga memiliki sayap
seperti sayap laron hanya saja ukurannya lebih besar. Kelihatannya makhluk itu
berjenis kelamin perempuan karena ia memakai gaun panjang berlapis berwarna
merah, biru dan hijau.
“Raja hentikanlah perbuatanmu itu. Kelakuanmu yang semena-mena dan
terus saja membuat rakyat menderita tak bisa aku biarkan begitu saja. Kau tidak
lagi menjalankan dharma sebagaimana leluhurmu dulu,” ucap peri kecil tersebut
pada raja.
“Pesetan dengan dharma yang mengekang kebebasan. Aku raja, dan aku
bisa melakukan apa pun yang aku suka, tanpa ada yang bisa menghentikan aku,
termasuk kau makhluk aneh. Akan ku tangkap kau, dan kujadikan kau benda
pajangan di istanaku.”
“Silahkan, coba saja jikau kau bisa melakukannya hai raja yang
sombong dan dzalim,” tantang peri lapis.
Semua pengawal berusaha menangkap peri lapis. Namun gerakan peri
lapis lincah dan gesit, dengan mudah ia tebang ke sana ke mari menghindari dari
kejaran pengawal. Kali ini ia terbang di
dekat raja, raja berusaha menangkapnya. Namun melalui tongkat sihir peri lapir,
ia membuat raja tak bergerak bagai patung. Hanya matanya yang masih bisa melirik
dan napasnya yang tersisa.
“Sudah saatnya kau berhenti, dan akulah yang akan menghentikan
kelakuanku. Aku peri lapis, mengutuk kau mengutukmu menjadi lapis hitam.”
Berubahlah raja yang sombong dan lalim itu menjadi kue lapis hitam
yang rasanya pahit. Selanjutnya Dharmo si pembuat kue lapis dibebaskan dari
tahanan, ia kembali membuat lapis dan dalam kue lapis buatannya ia meletakkan
lapis hitam sebelum lapis merah. Melalui sebauh cara yang dibisikkan peri
lapis, Dharmo berhasil merubah rasa pahit pada lapis hitam menjadi tetap manis.
Tatanan kue lapis yang seperti itu bermakna bahwa seseorang harus mampu mengalahkan
nafsu dan egonya untuk mencapai derajat keberanian. Keberanian ini haruslah
dilakukan atas tujuan mewujudan keadilan, untuk selanjutnya naik pada tingkat
yang lebih tinggi yaitu terciptanya tatanan masyarakat yang damai.
“Begitulah adik-adik, kisah tentang Dharmo dan Peri Lapis dari
kerajaan Mayaran. Nah sekarang sudah
malam, kalian harus tidur. Besok kita lanjutkan bermain lagi,” Sandra
menggiring anak-anak kembali ke tenda untuk tidur.
“Apakah peri lapis benar-benar ada? Apakah ia akan selalu menghukum
orang yang jahat seperti raja itu?”
tanya Destu dalam perjalanan menuju tenda.
“Ia ada dan akan selalu hidup di hati setiap orang yang
mempercayainya. Lihatlah bintang yang disana itu Destu,” Sandra menunjuk
bintang yang paling bersinar. “Jauh di lubuk hati kakak, kakak percaya dari
sana Bunda kakak yang sudah meninggal senantiasa mengawasi Kakak. Nah peri
lapis hanyalah tokoh dalam cerita, tapi perannya bisa diambil alih oleh
siapapun. Bisa jadi kaulah peri lapis itu, atau kau memilih berperan sebagai Dharmo?
Bocah kecil pemberani yang berbakti pada orang tua, penuh kasih pada sesama dan
senantiasa menolong orang yang membutuhkan? Terserah kamu ingin menjadi tokoh
siapa dalam pentas dunia ini,” Sandra tersenyum, mengacak rambut Destu. “Nah
sekarang tidurlah, mimpi indah dan jadilah tokoh yang hebat dalam pentas dunia
ini. Selamat malam,” Sandra menutup tirai tenda dan berlalu pergi. Udara malam
yang terasa semakin dingin memaksanya merapatkan jeket gunungnya. Sementara itu
Destu belum juga bisa terpejam, Destu masih memikirkan hendak memilih peran
apakah dalam pentas dunia ini. Apakah menjadi Dharmo? Jujur, saja aku kagum
dengan Dharmo. Hemmt, aku akan menjadi Dharmo. Aku akan mengambil alih perannya
di masa kini, sebut aku Destu Dharmo Aji dan aku akan merubah dunia ini menjadi
lebih baik. Batin Destu dalam hati, senyum mengembang dari bibir Destu mimpinya
terbang bersama sesosok pahlawan pembela keadilan yang bernama Destu Dharmo
Aji.
***
Biodata penulis
Noor Salamah, lahir pada hari kamis 23 Juni 1994 di Jepara. Putri
pasangan M. Ma’ruf (alm) dan S.Muzaronah menyukai dunia menulis sejak SMP. Saat
ini ia kuliah S1 Prodi Pendidikan Nonformal Unnes. Salamah bisa dihubungi via
Fb: salma van licht, twitter : @salma_skylight atau e-mail: pls2.12046@gmail.com cp: 089668214948
0 komentar:
Posting Komentar