Jumat, 01 April 2016

Dharmo Dan Peri Lapis

Dharmo Dan Peri Lapis
Gemeletak suara kayu yang terbakar oleh api dan suara jangkrik yang mengerik, mewarnai malam api unggun dalam acara kemah sabtu minggu pramuka siaga SD Mulyoharjo. Anak-anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing, mengobrol, bermain kartu, bermain ketipung, dan lain sebagainya.
“Kak Sandra, ceritakan pada kami sebuah cerita,” rajuk Destu bocah kecil yang baru masuk kelas tiga SD. Sandra selaku pembina terlihat berpikir sejenak, diperhatikannya wajah anak-anak yang nampak antusias, matanya menyapu objek yang ada di sekelilingnya. Sejurus kemudian ia menemukan ide.
“Kalian tau itu makanan apa?” tanya Sandra yang menunjuk sebuah piring berisi makanan tradisional yang terdiri atas warna merah, biru dan hijau.
“Kue lapis Kak,” jawab Destu polos.
“Ya namanya kue lapis, dinamakan kue lapis karena kuenya terdiri atas lapisan warna warni. Umumnya merah, biru, dan hijau. Tapi taukah kalian sejarah kue lapis tersebut?” anak-anak menggeleng serempak. “Alkisah pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri bernama Mayaran, hiduplah seorang nenek bernama Nyai Unang dan cucunya. Nenek tersebut bekerja sebagai pembuat kue lapis yang sangat terkenal dan satu-satunya di negeri tersebut. Berkat kelezatan kue lapis yang dibuatnya kue lapis buatannya menjadi jamuan wajib dalam setiap acara kerajaan. Kemampuan membuat kue lapis yang lezat itu diwarisinya dari buyut-buyutnya dan sekarang hendak diwariskan pada cucunya yang bernama Dharmo Aji.”
Dharmo menambahkan kayu dalam perapian, bersama Nyai Unang, Dharmo menunggu kue lapis yang dikukus matang.
“Dharmo, kau tentu tau bahwa dari dulu leluhurmu bekerja sebagai pembuat kue lapis. Kini saatnya kemampuan itu kau warisi. Namun, nenek lihat jika soal keterampilan membuat kue lapis kau sudah pandai. Tapi satu yang belum nenek beritahukan padamu, dan ini adalah yang paling penting dalam pembuatan kue lapis, yaitu tridharma. Kue lapis yang berwarna merah, biru dan hijau mengandung makna bahwa manusia haruslah berani dalam mewujudkan keadilan sehingga akan tercipta kedamaian di muka bumi ini. Sebagai seorang pembuat kue lapis, ia harus melakukan laku dharmo lapis, yaitu senantiasa berani berbuat adil, baik adil terhadap dirinya sendiri, makhluk yang lain juga pada Tuhan. Keadlian diwujudkan dengan meletakkan sesuatu sesuai tempat dan takarannya, hidup sederhana, makan secukupnya, memberi pada orang yang membutuhkan, penuh kasih pada sesama, beranilah berkata jika untuk membela keadilan.”
Dharmo mendengarkan Nyai Unang dengan tanpa berkedip. Ia akan mengukir pesan Nenek di hatinya dan tak akan pernah melupakannya serta senantiasa menjalankan pesan tersebut. Hari-hari berlalu Nyai Unang yang sudah tua mulai sakit-sakitan. Padahal beberapa hari lagi istana akan melakukan jamuan, dan tentu saja pihak istana akan memesan kue lapis pada Nyai Unang.
“Cucuku, nenek sudah tidak kuat. Tolong kamu saja yang membuat kue lapis untuk jamuan kerajaan besok. Nenek percaya kamu bisa. Bapak dan Ibu sudah menjemput nenek, nenek akan menyusul mereka. Kamu jadilah anak yang baik,” Dharmo mengusap air matannya. Wajah Nyai Unang tersenyum meski dalam kondisi pucat. Tangannya sudah lemas lunglai, terasa dingin. Sudah tidak ada lagi tanda kehidupan disana. Dharmo tau nenek sudah pergi, menyusul bapak dan ibunya yang sudah mati. Bapaknya mati sebagai prajurit yang gugur sebagai kesatria saat membela negara. Sementara ibunya mati ketika berusaha melahirkannya ke dunia. Kini Dharmo sendirian, tak ada nenek, bapak atau ibu.
Sesuai permintaan nenek, Dharmolah yang membuat pesanan kue lapis dari istana. Kue lapis telah matang, dan siap di antar ke istana. Bersama kuda kesayangannya yang bernama Kiai Samosir, Dharmo pergi ke istana. Kue lapis dikemas dalam nampan dan di tata sedemikian rupa di dalam gerobak sehingga tidak akan jatuh manakala gerobak tersebut bergerak ditarik Kiai Samosir. Sepanjang perjalanan dari desanya menuju istana, Dharmo memperhatikan kehidupan masyarakat yang dilaluinya. Kebanyakan rakyat hidup dalam kondisi miskin dan serba kekurangan. Banyak ia temui perampokan dan pemerasan. Banyak pengemis menengadahkan tangan di sepanjang jalan.
Saat itu usianya baru sebelas tahun, tapi ia sudah cukup menguasi ilmu kanuragan yang di ajarkan oleh bapaknya. Kemarahan meledak manakala ia lihat seorang pria bertubuh tinggi besar sedang memeras seorang nenek beserta cucu perempuanya yang masih kecil.
“Kami hanya rakyat miskin, kami tidak memiliki apa pun yang bisa kami berikan untukmu, untuk makan saja kami kesulitan. Tolong lepaskan kami, biarkan kami lewat,” pinta nenek tua tersebut, sementara itu cucunya, gadis kecil berumur sembilan tahun bersembunyi di balik tubuh nenek dan menatap jeri penuh rasa takut terhadap pria di depannya.
“Kalau begitu aku ambil saja cucumu yang jelita, akan aku jadikan ia budak belian.”
“Jangan ku mohon jangan! Hanya ia satu-satunya milikku yang paling berharga,” rengek nenek tua, gadis kecil semakin bersembunyi di balik tubuh neneknya. Pria tersebut berusaha merampas gadis kecil dan nenek, si nenek berusaha melawan. Namun tenaga pria tersebut lebih besar dan dengan mudah ia menyingkirkan tubuh nenek, menjambak rambut gadis kecil dan membawanya pergi.
“Tunggu hentikan perbuatanmu! Tolong kemballikan gadis itu pada neneknya!” teriak Dharmo. Pria tersebut  menghentikan langkah, memandang Dharmo yang betubuh kecil dengan penuh cibiran.
“Cih! bocah ingusan sepertimu apa yang bisa kau lakukan? Tidur saja masih mengompol. Hahahaha!” tawa menggema dengan penuh jemawa. Tanpa banyak bicara Dharmo langsung berlari, mengitari pria tersebut dan hap. Gerakannya cepat, lincah dan kesit. Dalam sekali gerakan dharmo berhasil mengunci pergerakan pria tersebut dengan menekan titik persendiannya. Jambakannya pria tersebut pada gadis kecil pun mengendor. Berlarilah gadis tersebut menghambur dalam pelukan sang nenek.
“Terima kasih, terima kasih.”
“Pergilah nek, carilah tempat yang aman dan  damai untuk kalian tinggali. Negeri ini sepertinya sudah rusak tatanannya.”
“Tentu, dan semua ini tak lain karena ulah raja yang lalim itu. Padahal dulu leluhurnya memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun di tangan Raja Rikean Kuti semua tatanan menjadi rusak. Rakyat hidup menderita. Sudah banyak rakyat yang memilih mengungsi pindah ke daerah lain, dan itu pula yang akan kami lakukan. Mari Nang, terima kasih bantuannya. Semoga kelak kita bisa bertemu lagi sehingga kami bisa membalas budi baikmu,” Dharmo tersenyum dan mengangguk, ia pun pergi kembali ke tujuan semula mengantarkan kue lapis.
Perjalanan menuju istana hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja. Sebelum petang ia telah sampai di istana. Pihak istana kemudian meminta ia untuk tetap berada di istana hingga jamuan selesai. Dharmo menurut.
Jamuan itu tak besar seperti pesta, hanya terlihat seperti rapat bulanan di antara petinggi kerajaan dan tokoh-tokoh penting istana. Setelah rapat, para tamu diperkenankan menikmati berbagai makanan dan minuman yang disajikan. Ada beragam kue tradisional, kue lapis adalah kue kesukaan raja. Kue khas Kerajaan Mayaran, semua orang menyukai kue yang terasa legi dan gurih tersebut. Namun aneh, ekpresi raja berubah tidak menyenangkan setelah mencicipi kue lapis yang disajikan. Ia meludah, membuang kue lapis dari mulutnya.
“Cuih, pengawal panggil pembuat kue lapis ini. Aku ingin bertemu dengannya. Bagaimana bisa ia memberikan kue yang rasanya pahit seperti ini untuk rajanya. Kurang ajar!”
Semua tamu yang hadir dalam jamuan menoleh heran. Bagaimana mungkin bisa kue lapis dirasa pahit oleh raja pahal baru saja mereka makan rasanya lezat, manis dan gurih seperti biasanya? Bisik-bisik mulai terdengar, saling bertanya tentang rasa kue lapis yang mereka cicipi. Semuanya merasa lezat seperti biasanya.
“Benar kau yang membuat kue lapis ini?” tanya Raja berang, Dharmo mengangguk.
“Benar, hamba paduka.”
“Kurang ajar, beraninya kau menyuguhkan kue yang rasanya tidak enak pada rajamu. Kau mau dihukum, hah? Pengawal masukkan ia ke penjara,” perintah sang raja.
“Ampun, paduka. Jika boleh saya diijinkan, saya akan mencicipi terlebih dahulu kue lapis tersebut dan menerka letak kesalahan saya dalam membuatnya,” pengawal menghentikan langkah, membiarkan Dharmo mencicipi kue lapis yang disuguhkan untuk raja. Ia seolah terlihat berpikir. Lidahnya mengatakan kue ini lezat seperti biasanya, persis sama seperti buatan neneknya. Jadi bisa dipastikan tidak ada kesalahan yang Dharmo lakukan dalam pembuatan kue lapis. “Ampun paduka, setelah hamba mencicipi kue tersebut lidah saya merasa bahwa kue tersebut terasa manis dan gurih, lezat seperti biasanya. Jika saya boleh mengajukan, marilah kita bertanya kepada semua hadirin yang turut mencicipi kue lapis yang saya buat benarkah yang paduka rasakan bahwa kue tersebut terasa pahit di lidah atau sebaliknya? Jika memang benar pahit, hamba akan siap menerima hukuman.”
“Benar yang dikatakan bocah itu paduka. Lidah saya merasakan bahwa kue tersebut manis dan gurih, lezat seperti biasanya,” bela seorang pria tua berjanggut putih dan beruban.
“Benar yang dikatakan oleh Adipati Nanyong, yang hamba rasakan juga manis dan gurih paduka,” bela seorang pria lain yang duduk di ujung meja.
“Berarti kalian menuduhku berbohong begitu? Dan kalian juga menuduh lidahku ini sudah rusak karena tidak bisa membedakan mana manis mana pahit? Beraninya kalian pada raja!” pengawal tahan bocah kurang ajar ini, masukkan ia ke penjara.
Tak puas dengan hanya menjatuhkan perintah tersebut raja yang sudah terlanjur benci pada kue lapis membuang kue lapis dan hendak melemparkannya pada Dharmo. Ajaib, kue lapis yang seyogyanya jatuh mengenanai wajah Dharmo berhenti melayang. Ia berhenti di udara, percikan perak dan disertai uap tiba-tiba keluar dari kue lapis. Dan dari uap yang pekat bagai kabut tebal menyembul sesosok makhluk kecil bersayap seukuran burung merpati. Bentuknya mirip manusia, tapi telinganya panjang lagi runcing, ia juga memiliki sayap seperti sayap laron hanya saja ukurannya lebih besar. Kelihatannya makhluk itu berjenis kelamin perempuan karena ia memakai gaun panjang berlapis berwarna merah, biru dan hijau.
“Raja hentikanlah perbuatanmu itu. Kelakuanmu yang semena-mena dan terus saja membuat rakyat menderita tak bisa aku biarkan begitu saja. Kau tidak lagi menjalankan dharma sebagaimana leluhurmu dulu,” ucap peri kecil tersebut pada raja.
“Pesetan dengan dharma yang mengekang kebebasan. Aku raja, dan aku bisa melakukan apa pun yang aku suka, tanpa ada yang bisa menghentikan aku, termasuk kau makhluk aneh. Akan ku tangkap kau, dan kujadikan kau benda pajangan di istanaku.”
“Silahkan, coba saja jikau kau bisa melakukannya hai raja yang sombong dan dzalim,” tantang peri lapis.
Semua pengawal berusaha menangkap peri lapis. Namun gerakan peri lapis lincah dan gesit, dengan mudah ia tebang ke sana ke mari menghindari dari kejaran  pengawal. Kali ini ia terbang di dekat raja, raja berusaha menangkapnya. Namun melalui tongkat sihir peri lapir, ia membuat raja tak bergerak bagai patung. Hanya matanya yang masih bisa melirik dan napasnya yang tersisa.
“Sudah saatnya kau berhenti, dan akulah yang akan menghentikan kelakuanku. Aku peri lapis, mengutuk kau mengutukmu menjadi lapis hitam.”
Berubahlah raja yang sombong dan lalim itu menjadi kue lapis hitam yang rasanya pahit. Selanjutnya Dharmo si pembuat kue lapis dibebaskan dari tahanan, ia kembali membuat lapis dan dalam kue lapis buatannya ia meletakkan lapis hitam sebelum lapis merah. Melalui sebauh cara yang dibisikkan peri lapis, Dharmo berhasil merubah rasa pahit pada lapis hitam menjadi tetap manis. Tatanan kue lapis yang seperti itu bermakna bahwa seseorang harus mampu mengalahkan nafsu dan egonya untuk mencapai derajat keberanian. Keberanian ini haruslah dilakukan atas tujuan mewujudan keadilan, untuk selanjutnya naik pada tingkat yang lebih tinggi yaitu terciptanya tatanan masyarakat yang damai.
“Begitulah adik-adik, kisah tentang Dharmo dan Peri Lapis dari kerajaan Mayaran.  Nah sekarang sudah malam, kalian harus tidur. Besok kita lanjutkan bermain lagi,” Sandra menggiring anak-anak kembali ke tenda untuk tidur.
“Apakah peri lapis benar-benar ada? Apakah ia akan selalu menghukum orang yang  jahat seperti raja itu?” tanya Destu dalam perjalanan menuju tenda.
“Ia ada dan akan selalu hidup di hati setiap orang yang mempercayainya. Lihatlah bintang yang disana itu Destu,” Sandra menunjuk bintang yang paling bersinar. “Jauh di lubuk hati kakak, kakak percaya dari sana Bunda kakak yang sudah meninggal senantiasa mengawasi Kakak. Nah peri lapis hanyalah tokoh dalam cerita, tapi perannya bisa diambil alih oleh siapapun. Bisa jadi kaulah peri lapis itu, atau kau memilih berperan sebagai Dharmo? Bocah kecil pemberani yang berbakti pada orang tua, penuh kasih pada sesama dan senantiasa menolong orang yang membutuhkan? Terserah kamu ingin menjadi tokoh siapa dalam pentas dunia ini,” Sandra tersenyum, mengacak rambut Destu. “Nah sekarang tidurlah, mimpi indah dan jadilah tokoh yang hebat dalam pentas dunia ini. Selamat malam,” Sandra menutup tirai tenda dan berlalu pergi. Udara malam yang terasa semakin dingin memaksanya merapatkan jeket gunungnya. Sementara itu Destu belum juga bisa terpejam, Destu masih memikirkan hendak memilih peran apakah dalam pentas dunia ini. Apakah menjadi Dharmo? Jujur, saja aku kagum dengan Dharmo. Hemmt, aku akan menjadi Dharmo. Aku akan mengambil alih perannya di masa kini, sebut aku Destu Dharmo Aji dan aku akan merubah dunia ini menjadi lebih baik. Batin Destu dalam hati, senyum mengembang dari bibir Destu mimpinya terbang bersama sesosok pahlawan pembela keadilan yang bernama Destu Dharmo Aji.
***
 Biodata penulis
Noor Salamah, lahir pada hari kamis 23 Juni 1994 di Jepara. Putri pasangan M. Ma’ruf (alm) dan S.Muzaronah menyukai dunia menulis sejak SMP. Saat ini ia kuliah S1 Prodi Pendidikan Nonformal Unnes. Salamah bisa dihubungi via Fb: salma van licht, twitter : @salma_skylight atau e-mail: pls2.12046@gmail.com cp: 089668214948



0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com