Dongeng Orchid
Liburan sekolah kali ini aku diajak
Mama pergi kerumah Nenek di desa. Disana nenek memiliki sebuah taman berisi
berbagai bunga yang cantik, unik dan juga aneh. Bunga itu nenek rawat dengan
penuh cinta di dalam sebuah rumah kaca yang besar, ya besar karena rumah mungil
nenek juga dibangun di dalam rumah kaca tersebut. Rumah dalam rumah, seperti
itulah. Diantara semua bunga, nenek paling suka bunga Anggrek. Ketika kutanya
mengapa, nenek menjawab mungkin karena nama nenek adalah Anggrek sambil beliau
tertawa renyah. Aku jadi ikut tertawa bersama beliau.
Dulu
dan bahkan hingga kini nenek selalu berdongeng padaku. Dongeng itu seperti
menjadi makanan wajib yang rutin aku santap tiap sore ketika langit mermega
merah. Dan ketika menceritakannya ia selalu menerawang memandang taman yang
elok. Dengan penuh penghayatan nenek bercerita seolah dongeng itu bagian dari
kehidupannya sendiri. Dongeng bangsa Orchid, itulah yang selalu nenek
ceritakan.
Bangsa
Orchid merupakan bangsa yang besar dan kuat. Mereka dipimpin oleh seorang Ratu
yang anggun, gesit, lincah, luwes, bijak dan tegas berwibawa. Setiap ratu dalam
masa kepemimpinan biasanya memiliki julukan tersendiri. Seperti Orchid Dendrobium, ratu ini terkenal karena kesederhanaan dan keluwesannya dalam
bergaul. Ada pula Orchid Cattleya, ratu ini terkenal karena dizaman kepemimpinannya ia bisa melebarkan sayap kekuasaan hingga
negeri utara, dan satu lagi, sangat sulit menaklukan hatinya. Sudah banyak
pangeran maupun raja yang melamar. Namun tak kunjung ada yang diterima. Salah
satu raja yang pantang menyerah untuk mendapatkan hati ratu adalah Raja Orchis
Italica dari negeri barat.
Raja
Orchis Italica merupakan Raja yang tampan dan mempesona. Ketampanannya bahkan
mampu membuat gadis yang melihatnya menjadi gila. Ia kaya, muda dan baik hati.
Raja Orchis Italica begitu tergila-gila dengan keindahan dan kecantikan Ratu
Cattleya. Berbagai cara telah ia lakukan
untuk mendapatkan hati sang Ratu Cattleya. Namun ratu bergeming. Hingga pada
suatu hari Raja Osteospermum Fruticosumn dari negeri selatan datang menyerang
bersama pasukannya yang besar. Ratu berusaha melawan bersama pasukannya, Calena
Major, si bebek terbang. Berhari-hari mereka berperang. Kekuatan Raja Osteospermun
begitu kuat hingga ratu pun terdesak. Saat itulah Raja Orchis Italica datang
bak pahlawan. Bersama pasukan Dracula Simia, Raja Orchis Italica berusaha
menolong sang Ratu. Sebenarnya Ratu tau juga Raja Italica, bahwa serangan Raja
Osteospermun ini tidak semata untuk meluaskan kekuasaan, motif dendamlah yang mendorong
tindakan itu. Dendam karena cinta yang ditolak. Ratu Cattelya dan Raja Orchis
kini menjadi tim, tim yang solid. Saat itulah benih-benih cinta mulai tumbuh di
hati sang Ratu. Perhatian dari Raja Orchis kini berbalas. Ahh, mengapa cinta
justru tumbuh diantara kemelut perang.
Hari-hari
berlalu masih dalam peperangan yang sengit. Kedua belah pihak sama-sama kuat.
Namun cinta telah memberi semangat dan kekuatan lebih pada diri Raja Orchis dan
Ratu Cattleya. Ya, mereka berjanji setelah mereka mengalahkan Raja Osteospermun
mereka akan melangsungkan pernikahan. Tekad itu pulalah yang pada akhirnya
mengantarkan Raja Orchis pada kemenangan. Kemenangan atas penaklukan Raja
Osteospermun dan kemenangan atas hati sang ratu. Pesta pernikahan pun dilangsungkan
dengan suasana bahagia penuh suka cita. Sekawanan Peristeria Elata, seekor
burung putih kecil yang cantik terbang sebagai pengiring sang ratu. Musik pun
mengalun. Raja dan ratu pun berdansa.
“Apakah
mereka menjadi keluarga yang bahagia selamanya Nek?”
“Hidup
itu tak selalu menyenangkan, kadang juga kita ditimpa kesusahan. Itu adalah
ujian. Namun menjadi bahagia itu mudah, kamu mau tau bagaimana caranya?”
Aku menggeleng.
“Dengan
kita bersyukur, kita akan bahagia. Dengan kita selalu berpikir positif hidup
akan terasa bahagia. Kuncinya di hati, bagaimanapun kondisinya tatalah hatimu
bersihkanlah hatimu. Begitulah caranya agar hidup menjadi bahagia,” sambil
tersenyum nenek memandangku dengan penuh kasih.
Waktu
menunjukkan pukul 00.05, ketika aku terjaga. Hasrat buang air kecil itu telah
memaksaku untuk terlepas dari jerat mimpi. Kamar mandi berada di ujung lorong
kamar. Suasana rumah telah sepi. Televisi sudah mati. Pastilah nenek sudah
terbang ke alam mimpi. Aku tak ingin mengganggu waktu istirahat nenek, hanya
karena aku ingin diantar ke kamar kecil. Maka aku beranikan diriku untuk pergi
sendiri. Ketika hasratku sudah terpenuhi dan hendak kembali ke kamar, saat
itulah aku mendengar suara-suara aneh dan kerlap-kerlip lampu dari taman.
Suaranya begitu indah. Tanpa sadar kakiku melangkah menuruti asal suara. Dan
aku terhenyak melihat pemandangan yang begitu menakjubkan.
Sebuah
tanaman berbentuk bibir sedang memegang microfon, sementara di belakangnya
berbagai macam tanaman sedang memainkan alat musik. Sementara itu di atas sana,
banyak sekali sekawanan merpati sedang terbang. Suara lonceng terdengar dari
bunga Lily of the Valley. Disusul melodi-melodi dari berbagai alat musik.
Terdengar padu, bagaikan simfoni yang indah.
“Sembah
hormat untuk Ratu Orchid yang agung!” si bibir seksi berbicara lantang melalui
mic-nya. Tak lama munculah seorang wanita cantik lagi anggun dengan mahkota di
kepala dari balik bunga Bleading Heart. Aku sampai berdiri terpaku,
terkagum-kagum dibuatnya. Ia mengenakan gaun besar berwarna putih dengan hiasan
bordir berwarna violet. Rambut hitamnya tersanggul rapi, dengan sebuah tudung besar
yang melindungi kepalanya. Matanya belok, dengan bola mata hitam yang
indah. Bulu matanya lentik. Hidungnya bangir. Bibirnya tipis berwarna merah
jambu. Sebuah senyum terkembang selalu dari bibirnya yang indah. Ratu itu
berjalan anggun menuju singgasananya. Disampingnya telah ada seekor bebek besar
dengan sayap, sebuah pedang berada tak jauh darinya. Disampingnya lagi duduk
seorang pria tua berjenggot putih berkaca mata dan membawa kitab. Sedangkan
disamping sang Ratu duduk wanita tua dengan mahkota kecil dikepala, mungkin dia
ibunda sang ratu.
Terdengar
sebuah instrumen musik, tiba-tiba saja sebuah cahaya telah menyorot Ibunda Sang
Ratu. Dia melantunkan sebuah lagu bernada seriosa diiringi isntrumen musik.
Namun lagu itu terdengar seperti sebuah percakapannya kepada Sang Ratu..
“Sayangku,
Ratuku. Aku cemas dengan keadaanmu. Juga dengan keadaan negeri kita. Engkau
adalah ratu kami yang hebat. Memimpin negeri yang terbentang luas dengan jumlah
rakyat yang begitu banyak. Negeri kita makmur dan sejahtera dengan
kepemimpinanmu. Namun ada yang aku risaukan.”
“Apa
itu Ibunda? Bicaralah, katakan padaku,” Sang Ratu berdiri, berjalan mendekati
ibunya lantas memegang pundak sang ibu.
“Mengapa
kau tak kunjung jatuh cinta? Sementara negeri kita, bangsa kita membutuhkan
seorang raja. Telah banyak pangeran dan raja yang datang melamarmu. Namun
semuanya kamu tolak. Oh anakku sesungguhnya ibu sangat mendambakan menantu,
suami bagimu yang akan mencintaimu dan mampu melindungimu.”
Nada-nada
piano terdengar entah berasal mana. Aku berdiri mematung menyaksikan adegan
ini. Aku seperti menyaksikan sebuah orkestra dalam sebuah drama. Atau drama
dalam orkestra? Entahlah. Aku hanyut dalam pementasannya. Aku menikmati setiap
nada-nada yang terdengar. Aku menikmati setiap lakon yang diperankannya.
“Bunda,
hadirnya cinta tak bisa dipaksa. Aku tak punya kuasa atasnya. Percayalah Bunda
bahwa cinta pasti datang diwaktu yang tepat. Sebuah pernikahan adalah ikatan
yang suci. Aku tak ingin menodainya dengan berbagai kepentingan terutama politik.
Aku hanya akan menikah dengan orang yang aku cintai.”
Lakon-lakon
itu terdiam, tak bergerak bagai patung. Musik semakin terdengan lirih. Dan
lampu semakin meredup. Hingga gelap yang tersisa. Ketika menyala aku dapati
diriku berada diantara Ratu Cattleya yang sedang berbincang santai dan
mengobrol dengan sesosok pria. Pria itu tampan, wajahnya bersinar, bola matanya
berwarna kebiruan, ia mengenakan jubah dan mahkota seorang raja. Musik kembali
terdengar. Di hadapan sang Ratu, ia memperkenalkan dirinya sebagai Raja Orchis
Italica dari negeri barat.
“Ratu
Cattleya yang agung. Sungguh engkau telah begitu terkenal hampir ke seluruh
penjuru dunia. Engkau terkenal bukan saja karena engkau adalah seorang ratu
yang besar kerajaannya. Dengan kepemimpinan yang begitu bijaksana. Namun engkau
juga terkenal berkat kecantikan dirimu yang tiada tara. Bahkan indahnya purnama
pun tak mampu menandingi keelokannmu.”
“Engkau
terlalu berlebihan Raja Orchis Italica. Justru dirimulah yang lebih tersohor
dari pada diriku. Engkau raja yang hebat. Piawai memainkan berbagai senjata.
Dengan pasukan Dracula Simia yang menjadi soko pertahananmu. Engkau telah mengalahkan
musuh-musuhmu. Rakyatmu hidup makmur sejahtera. Lantas apalagi yang kurang?”
“Tentu
saja ada yang kurang Ratuku. Hidup ini belumlah sempurna tanpa adanya
pendamping hidup. Sesungguhnya cintalah yang membisiki hatiku hingga aku sampai
kemari. Berjumpa denganmu. Salahkah cinta yang telah menuntunku kepadamu Ratu?”
“Tidak
tentu saja tidak. Cinta tak pernah salah, hanya kadang kitalah yang salah
menafsirkannya.”
“Lancangkah
aku Ratu? Jika aku mengatakan padamu bahwa cinta telah memenuhi hatiku dengan
melodi dan lagu-lagu yang selalu menyebut namamu dalam tiap syairnya?”
Ratu
terdiam. Raja Orchis sangat pandai memainkan kata, apalagi jika digunakan untuk
merayu wanita. Ratu masih memikirkan rangkaian kata yang pantas untuk membalas
kalimat sang raja. Ratu sudah paham kemana arah pembicaraan ini.
“Cinta
tak pernah salah itulah yang selalu aku yakini. Namun cinta dari satu pihak
saja akan membuat hidup jadi tak imbang. Dan datangnya cinta tentu tak bisa
dipaksa. Ia akan datang dalam proses yang alamiah sebagai anugrah. Aku percaya
terkadang cinta bisa melakukan hal ajaib, yang bahkan di luar logika. Mencintai
seseorang yang sebelumnya tak pernah dikenal. Tak pernah bertemu. Aku cukup
menyangsikan benarkah itu cinta yang sejati?”
“Ratuku,
ada banyak hukum di dunia ini yang tak semuanya mampu kita pahami. Seperti,
mengenal tapi sebenarnya tak kenal. Tak kenal tapi sebenarnya mengenal. Kau
benar Ratu, cinta memang tak pernah salah. Dan aku percaya cintaku ini bukanlah
sebuah kesalahan.”
Musik
masih berputar. Namun lakon-lakon itu berjalan menjauh dan semakin pudar. Gelap
sejenak lalu terang. Suasana tiba-tiba
mencekam. Mayat-mayat bergelimpangan. Bau anyir darah menyesaki rongga
pernapasan. Darah segar mengalir dari goresan luka. Genderang musik perang
bertalu-talu. Ketika para prajurit itu sudah tak lagi bernapas. Mereka berubah
menjadi tanaman-tanaman yang layu.
Aneh,
dunia apa ini? Pikirku penuh
tanya.
Aku melihat
seekor bebek terbang sedang berperang dengan makhluk aneh. Makhluk itu memiliki
banyak tentakel. Matanya besar hitam, sama seperti kulitnya yang gelap. Si
bebek terbang rupanya sedang melindungi sang ratu dari serangan makhluk jelek
itu. Kerajaan orchid sedang diserang. Ratu terdesak, dan saat itulah dengan
penuh keberanian, Raja Orchis Italica datang membantu, bersama pasukan
monyetnya ia berusaha memukul mundur lawan.
Tash!
Tash! Creng! Creng! Cesh!
Suara
pedang beradu.
Dua
tentakel terpotong sekaligus oleh tebasan pedang Raja Orchis Italica. Potongnya
dua tentakel ini membuat kelincahan juga kekuatan si jelek berkurang banyak.
Raja Orchis Italica terus mendesak si jelek. Si jelak kuwalahan. Dan di suatu
kesempatan, Raja Orchis berhasil menghunuskan pedangnya tepat di jantung si
jelek. Si jelek mati. Sama seperti prajurit lain yang gugur, si jelek berubah
menjadi tananam meranggas yang rontok dan layu.
Kematian
si jelek disambut gembira segenap orang yang berpihak pada Sang Ratu. Pesta
kemenangan pun digelar. Pada saat yang sama, tanpa orang lain sadari Raja
Orchis Italica juga telah memenangkan hati Sang Ratu. Itu terlihat dari
bagaimana Sang Ratu memandang Raja Orchis Italica.
Tiba-tiba,
ketika aku masih memperhatikan Sang Ratu. Aku seolah-olah masuk kedalamnya. Aku
terasa diseret oleh kekuatan magis masuk ke bola matanya yang hitam. Sebuah
perasaan takut merasukiku.
Tidak,
ini bukan duniaku. Aku harus keluar dari sini.
Aku
terus berlari sementara di belakangku aku merasakan sebuah energi berusaha
untuk menghisapku. Aku terus berlari, beberapa kali terjatuh namun aku terus
bangun dan berusaha kembali berlari.
Ketika
aku melewati mayat si Jelek, rokku tersangkut salah satu tentakelnya. Lengket.
Rokku sudah melekat dengannya. Di belakangku penghisap itu semakin kuat. Tanpa
pikir panjang, aku robek saja rokku sehingga hanya menyisakan celana selutut.
Aku terus berlari, berlari dan berlari.
“Rachel?!
Rachel?!”
Aku
merasakan seseorang memanggilku, itu suara nenek. Mataku terbuka dan melihatnya
ada di depanku. Aku menangis sesenggukan dalam pelukan hangatnya.
“Rachel,
dimana rokmu? Mengapa kau hanya memakai celana selutut?”
Tangisku
berhenti. Aku memandang ke bawah, benar saja rokku tidak ada. Padahal aku ingat
tadi ketika keluar dari kamar mandi aku masih mengenakan rok. Nenek masih
memandangku penuh tanya, aku tak tau harus menjawab bagaimana maka aku hanya
mengangkat bahu.
Esoknya
aku temukan rok itu diatas sebuah tanaman yang telah mati. Dan ketika aku amati
lagi taman milik nenek, aku dapati aneka ragam bunga yang aneh. Ada bunga
dengan bentuk serupa bibir yang merekah merah. Ada yang yang kelopaknya mirip
monyet. Ada yang mirip bebek terbang, ada yang mirip merpati, dan ada yang
mirip pasangan pria dan wanita. Si wanita itu mengenakan topi dan gaun yang
indah berwarna violet. Banyak pertanyaan kemudian muncul di benakku.
***
Alamat : Jalan H.M Syahid No. 11 Rt 03 Rw 5
Panggang Jepara
Status : Mahasiswa Pendidikan Nonformal Unnes
Fb : Salma Van Licht
Twitter : salma_skylight
Email : salamah_chan@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar