Jumat, 01 April 2016

Dongeng Orchid

Dongeng Orchid

            Liburan sekolah kali ini aku diajak Mama pergi kerumah Nenek di desa. Disana nenek memiliki sebuah taman berisi berbagai bunga yang cantik, unik dan juga aneh. Bunga itu nenek rawat dengan penuh cinta di dalam sebuah rumah kaca yang besar, ya besar karena rumah mungil nenek juga dibangun di dalam rumah kaca tersebut. Rumah dalam rumah, seperti itulah. Diantara semua bunga, nenek paling suka bunga Anggrek. Ketika kutanya mengapa, nenek menjawab mungkin karena nama nenek adalah Anggrek sambil beliau tertawa renyah. Aku jadi ikut tertawa bersama beliau.
Dulu dan bahkan hingga kini nenek selalu berdongeng padaku. Dongeng itu seperti menjadi makanan wajib yang rutin aku santap tiap sore ketika langit mermega merah. Dan ketika menceritakannya ia selalu menerawang memandang taman yang elok. Dengan penuh penghayatan nenek bercerita seolah dongeng itu bagian dari kehidupannya sendiri. Dongeng bangsa Orchid, itulah yang selalu nenek ceritakan.
Bangsa Orchid merupakan bangsa yang besar dan kuat. Mereka dipimpin oleh seorang Ratu yang anggun, gesit, lincah, luwes, bijak dan tegas berwibawa. Setiap ratu dalam masa kepemimpinan biasanya memiliki julukan tersendiri. Seperti Orchid Dendrobium, ratu ini terkenal karena kesederhanaan dan keluwesannya dalam bergaul. Ada pula Orchid Cattleya, ratu ini terkenal karena dizaman kepemimpinannya  ia bisa melebarkan sayap kekuasaan hingga negeri utara, dan satu lagi, sangat sulit menaklukan hatinya. Sudah banyak pangeran maupun raja yang melamar. Namun tak kunjung ada yang diterima. Salah satu raja yang pantang menyerah untuk mendapatkan hati ratu adalah Raja Orchis Italica dari negeri barat.
Raja Orchis Italica merupakan Raja yang tampan dan mempesona. Ketampanannya bahkan mampu membuat gadis yang melihatnya menjadi gila. Ia kaya, muda dan baik hati. Raja Orchis Italica begitu tergila-gila dengan keindahan dan kecantikan Ratu Cattleya.  Berbagai cara telah ia lakukan untuk mendapatkan hati sang Ratu Cattleya. Namun ratu bergeming. Hingga pada suatu hari Raja Osteospermum Fruticosumn dari negeri selatan datang menyerang bersama pasukannya yang besar. Ratu berusaha melawan bersama pasukannya, Calena Major, si bebek terbang. Berhari-hari mereka berperang. Kekuatan Raja Osteospermun begitu kuat hingga ratu pun terdesak. Saat itulah Raja Orchis Italica datang bak pahlawan. Bersama pasukan Dracula Simia, Raja Orchis Italica berusaha menolong sang Ratu. Sebenarnya Ratu tau juga Raja Italica, bahwa serangan Raja Osteospermun ini tidak semata untuk meluaskan kekuasaan, motif dendamlah yang mendorong tindakan itu. Dendam karena cinta yang ditolak. Ratu Cattelya dan Raja Orchis kini menjadi tim, tim yang solid. Saat itulah benih-benih cinta mulai tumbuh di hati sang Ratu. Perhatian dari Raja Orchis kini berbalas. Ahh, mengapa cinta justru tumbuh diantara kemelut perang.
Hari-hari berlalu masih dalam peperangan yang sengit. Kedua belah pihak sama-sama kuat. Namun cinta telah memberi semangat dan kekuatan lebih pada diri Raja Orchis dan Ratu Cattleya. Ya, mereka berjanji setelah mereka mengalahkan Raja Osteospermun mereka akan melangsungkan pernikahan. Tekad itu pulalah yang pada akhirnya mengantarkan Raja Orchis pada kemenangan. Kemenangan atas penaklukan Raja Osteospermun dan kemenangan atas hati sang ratu. Pesta pernikahan pun dilangsungkan dengan suasana bahagia penuh suka cita. Sekawanan Peristeria Elata, seekor burung putih kecil yang cantik terbang sebagai pengiring sang ratu. Musik pun mengalun. Raja dan ratu pun berdansa.
“Apakah mereka menjadi keluarga yang bahagia selamanya Nek?”
“Hidup itu tak selalu menyenangkan, kadang juga kita ditimpa kesusahan. Itu adalah ujian. Namun menjadi bahagia itu mudah, kamu mau tau bagaimana caranya?”
Aku menggeleng.
“Dengan kita bersyukur, kita akan bahagia. Dengan kita selalu berpikir positif hidup akan terasa bahagia. Kuncinya di hati, bagaimanapun kondisinya tatalah hatimu bersihkanlah hatimu. Begitulah caranya agar hidup menjadi bahagia,” sambil tersenyum nenek memandangku dengan penuh kasih.
Waktu menunjukkan pukul 00.05, ketika aku terjaga. Hasrat buang air kecil itu telah memaksaku untuk terlepas dari jerat mimpi. Kamar mandi berada di ujung lorong kamar. Suasana rumah telah sepi. Televisi sudah mati. Pastilah nenek sudah terbang ke alam mimpi. Aku tak ingin mengganggu waktu istirahat nenek, hanya karena aku ingin diantar ke kamar kecil. Maka aku beranikan diriku untuk pergi sendiri. Ketika hasratku sudah terpenuhi dan hendak kembali ke kamar, saat itulah aku mendengar suara-suara aneh dan kerlap-kerlip lampu dari taman. Suaranya begitu indah. Tanpa sadar kakiku melangkah menuruti asal suara. Dan aku terhenyak melihat pemandangan yang begitu menakjubkan.
Sebuah tanaman berbentuk bibir sedang memegang microfon, sementara di belakangnya berbagai macam tanaman sedang memainkan alat musik. Sementara itu di atas sana, banyak sekali sekawanan merpati sedang terbang. Suara lonceng terdengar dari bunga Lily of the Valley. Disusul melodi-melodi dari berbagai alat musik. Terdengar padu, bagaikan simfoni yang indah.
“Sembah hormat untuk Ratu Orchid yang agung!” si bibir seksi berbicara lantang melalui mic-nya. Tak lama munculah seorang wanita cantik lagi anggun dengan mahkota di kepala dari balik bunga Bleading Heart. Aku sampai berdiri terpaku, terkagum-kagum dibuatnya. Ia mengenakan gaun besar berwarna putih dengan hiasan bordir berwarna violet. Rambut hitamnya tersanggul rapi, dengan sebuah tudung besar yang melindungi kepalanya. Matanya belok, dengan bola mata hitam yang indah. Bulu matanya lentik. Hidungnya bangir. Bibirnya tipis berwarna merah jambu. Sebuah senyum terkembang selalu dari bibirnya yang indah. Ratu itu berjalan anggun menuju singgasananya. Disampingnya telah ada seekor bebek besar dengan sayap, sebuah pedang berada tak jauh darinya. Disampingnya lagi duduk seorang pria tua berjenggot putih berkaca mata dan membawa kitab. Sedangkan disamping sang Ratu duduk wanita tua dengan mahkota kecil dikepala, mungkin dia ibunda sang ratu.
Terdengar sebuah instrumen musik, tiba-tiba saja sebuah cahaya telah menyorot Ibunda Sang Ratu. Dia melantunkan sebuah lagu bernada seriosa diiringi isntrumen musik. Namun lagu itu terdengar seperti sebuah percakapannya kepada Sang Ratu..
“Sayangku, Ratuku. Aku cemas dengan keadaanmu. Juga dengan keadaan negeri kita. Engkau adalah ratu kami yang hebat. Memimpin negeri yang terbentang luas dengan jumlah rakyat yang begitu banyak. Negeri kita makmur dan sejahtera dengan kepemimpinanmu. Namun ada yang aku risaukan.”
“Apa itu Ibunda? Bicaralah, katakan padaku,” Sang Ratu berdiri, berjalan mendekati ibunya lantas memegang pundak sang ibu.
“Mengapa kau tak kunjung jatuh cinta? Sementara negeri kita, bangsa kita membutuhkan seorang raja. Telah banyak pangeran dan raja yang datang melamarmu. Namun semuanya kamu tolak. Oh anakku sesungguhnya ibu sangat mendambakan menantu, suami bagimu yang akan mencintaimu dan mampu melindungimu.”
Nada-nada piano terdengar entah berasal mana. Aku berdiri mematung menyaksikan adegan ini. Aku seperti menyaksikan sebuah orkestra dalam sebuah drama. Atau drama dalam orkestra? Entahlah. Aku hanyut dalam pementasannya. Aku menikmati setiap nada-nada yang terdengar. Aku menikmati setiap lakon yang diperankannya.
“Bunda, hadirnya cinta tak bisa dipaksa. Aku tak punya kuasa atasnya. Percayalah Bunda bahwa cinta pasti datang diwaktu yang tepat. Sebuah pernikahan adalah ikatan yang suci. Aku tak ingin menodainya dengan berbagai kepentingan terutama politik. Aku hanya akan menikah dengan orang yang aku cintai.”
Lakon-lakon itu terdiam, tak bergerak bagai patung. Musik semakin terdengan lirih. Dan lampu semakin meredup. Hingga gelap yang tersisa. Ketika menyala aku dapati diriku berada diantara Ratu Cattleya yang sedang berbincang santai dan mengobrol dengan sesosok pria. Pria itu tampan, wajahnya bersinar, bola matanya berwarna kebiruan, ia mengenakan jubah dan mahkota seorang raja. Musik kembali terdengar. Di hadapan sang Ratu, ia memperkenalkan dirinya sebagai Raja Orchis Italica dari negeri barat.
“Ratu Cattleya yang agung. Sungguh engkau telah begitu terkenal hampir ke seluruh penjuru dunia. Engkau terkenal bukan saja karena engkau adalah seorang ratu yang besar kerajaannya. Dengan kepemimpinan yang begitu bijaksana. Namun engkau juga terkenal berkat kecantikan dirimu yang tiada tara. Bahkan indahnya purnama pun tak mampu menandingi keelokannmu.”
“Engkau terlalu berlebihan Raja Orchis Italica. Justru dirimulah yang lebih tersohor dari pada diriku. Engkau raja yang hebat. Piawai memainkan berbagai senjata. Dengan pasukan Dracula Simia yang menjadi soko pertahananmu. Engkau telah mengalahkan musuh-musuhmu. Rakyatmu hidup makmur sejahtera. Lantas apalagi yang kurang?”
“Tentu saja ada yang kurang Ratuku. Hidup ini belumlah sempurna tanpa adanya pendamping hidup. Sesungguhnya cintalah yang membisiki hatiku hingga aku sampai kemari. Berjumpa denganmu. Salahkah cinta yang telah menuntunku kepadamu Ratu?”
“Tidak tentu saja tidak. Cinta tak pernah salah, hanya kadang kitalah yang salah menafsirkannya.”
“Lancangkah aku Ratu? Jika aku mengatakan padamu bahwa cinta telah memenuhi hatiku dengan melodi dan lagu-lagu yang selalu menyebut namamu dalam tiap syairnya?”
Ratu terdiam. Raja Orchis sangat pandai memainkan kata, apalagi jika digunakan untuk merayu wanita. Ratu masih memikirkan rangkaian kata yang pantas untuk membalas kalimat sang raja. Ratu sudah paham kemana arah pembicaraan ini.
“Cinta tak pernah salah itulah yang selalu aku yakini. Namun cinta dari satu pihak saja akan membuat hidup jadi tak imbang. Dan datangnya cinta tentu tak bisa dipaksa. Ia akan datang dalam proses yang alamiah sebagai anugrah. Aku percaya terkadang cinta bisa melakukan hal ajaib, yang bahkan di luar logika. Mencintai seseorang yang sebelumnya tak pernah dikenal. Tak pernah bertemu. Aku cukup menyangsikan benarkah itu cinta yang sejati?”
“Ratuku, ada banyak hukum di dunia ini yang tak semuanya mampu kita pahami. Seperti, mengenal tapi sebenarnya tak kenal. Tak kenal tapi sebenarnya mengenal. Kau benar Ratu, cinta memang tak pernah salah. Dan aku percaya cintaku ini bukanlah sebuah kesalahan.”
Musik masih berputar. Namun lakon-lakon itu berjalan menjauh dan semakin pudar. Gelap sejenak lalu terang. Suasana  tiba-tiba mencekam. Mayat-mayat bergelimpangan. Bau anyir darah menyesaki rongga pernapasan. Darah segar mengalir dari goresan luka. Genderang musik perang bertalu-talu. Ketika para prajurit itu sudah tak lagi bernapas. Mereka berubah menjadi tanaman-tanaman yang layu.
Aneh, dunia apa ini? Pikirku penuh tanya.
Aku melihat seekor bebek terbang sedang berperang dengan makhluk aneh. Makhluk itu memiliki banyak tentakel. Matanya besar hitam, sama seperti kulitnya yang gelap. Si bebek terbang rupanya sedang melindungi sang ratu dari serangan makhluk jelek itu. Kerajaan orchid sedang diserang. Ratu terdesak, dan saat itulah dengan penuh keberanian, Raja Orchis Italica datang membantu, bersama pasukan monyetnya ia berusaha memukul mundur lawan.
Tash! Tash! Creng! Creng! Cesh!
Suara pedang beradu.
Dua tentakel terpotong sekaligus oleh tebasan pedang Raja Orchis Italica. Potongnya dua tentakel ini membuat kelincahan juga kekuatan si jelek berkurang banyak. Raja Orchis Italica terus mendesak si jelek. Si jelak kuwalahan. Dan di suatu kesempatan, Raja Orchis berhasil menghunuskan pedangnya tepat di jantung si jelek. Si jelek mati. Sama seperti prajurit lain yang gugur, si jelek berubah menjadi tananam meranggas yang rontok dan layu.
Kematian si jelek disambut gembira segenap orang yang berpihak pada Sang Ratu. Pesta kemenangan pun digelar. Pada saat yang sama, tanpa orang lain sadari Raja Orchis Italica juga telah memenangkan hati Sang Ratu. Itu terlihat dari bagaimana Sang Ratu memandang Raja Orchis Italica.
Tiba-tiba, ketika aku masih memperhatikan Sang Ratu. Aku seolah-olah masuk kedalamnya. Aku terasa diseret oleh kekuatan magis masuk ke bola matanya yang hitam. Sebuah perasaan takut merasukiku.
Tidak, ini bukan duniaku. Aku harus keluar dari sini.
Aku terus berlari sementara di belakangku aku merasakan sebuah energi berusaha untuk menghisapku. Aku terus berlari, beberapa kali terjatuh namun aku terus bangun dan berusaha kembali berlari.
Ketika aku melewati mayat si Jelek, rokku tersangkut salah satu tentakelnya. Lengket. Rokku sudah melekat dengannya. Di belakangku penghisap itu semakin kuat. Tanpa pikir panjang, aku robek saja rokku sehingga hanya menyisakan celana selutut. Aku terus berlari, berlari dan berlari.
“Rachel?! Rachel?!”
Aku merasakan seseorang memanggilku, itu suara nenek. Mataku terbuka dan melihatnya ada di depanku. Aku menangis sesenggukan dalam pelukan hangatnya.
“Rachel, dimana rokmu? Mengapa kau hanya memakai celana selutut?”
Tangisku berhenti. Aku memandang ke bawah, benar saja rokku tidak ada. Padahal aku ingat tadi ketika keluar dari kamar mandi aku masih mengenakan rok. Nenek masih memandangku penuh tanya, aku tak tau harus menjawab bagaimana maka aku hanya mengangkat bahu.
Esoknya aku temukan rok itu diatas sebuah tanaman yang telah mati. Dan ketika aku amati lagi taman milik nenek, aku dapati aneka ragam bunga yang aneh. Ada bunga dengan bentuk serupa bibir yang merekah merah. Ada yang yang kelopaknya mirip monyet. Ada yang mirip bebek terbang, ada yang mirip merpati, dan ada yang mirip pasangan pria dan wanita. Si wanita itu mengenakan topi dan gaun yang indah berwarna violet. Banyak pertanyaan kemudian muncul di benakku.
***



Nama   : Noor Salamah
Alamat            : Jalan H.M Syahid No. 11 Rt 03 Rw 5 Panggang  Jepara
Status  : Mahasiswa Pendidikan Nonformal Unnes
Fb        : Salma Van Licht
Twitter            : salma_skylight



0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com