Jumat, 01 April 2016

Jaran Setan

Jaran Setan

Ada yang aneh di rumah ini. Sesuatu yang biasanya tak pernah terjadi. Beberapa hari terakhir, setiap kali malam menjelang terdengar suara kasak-kusuk dari arah tong sampah. Awalnya Rosyid mengira itu hanya tikus atau kucing biasa. Maka Rosyid abaikan. Namun setelah dicermati suara itu kian aneh, bukan suara tikus bukan pula suara kucing.
Suatu malam ketika Rosyid sedang tidak bisa tidur, suara aneh itu mengusik rasa penasarannya. Rosyid pun pergi ke arah tong sampah, betapa terkejutnya ia ketika melihat Harun berada di sana. Bergumul dengan sampah.
“Harun! Apa yang sedang kau lakukan?!” Rosyid menarik tubuh Harun mundur kebelakang. Harun yang ditarik meronta, namun amarah membuat tenaga Rosyid lebih besar.
Orang serumah jadi ramai. Harun didudukkan di atas kursi. Ia di awasi saudaranya-saudaranya. Malam itu, Ibu Rina, Rosyid, Badrun, Nasir, dan Pelita menatapnya dengan nanar.
Kowe geneo Nang?” pertanyaan itu terus diajukan Ibu Rina kepada anak keduanya, sesekali sambil terisak bingung dengan semua kejadian ini. Sementara yang ditanya, terus diam dan tatapannya justru terlihat kosong.
Rosyid berbisik kepada adik-adiknya yang lain.
“Harun harus diawasi!” yang lain pun mengangguk mengiyakan.
***
Ibu Rina dan keluarga semakin cemas akan kondisi Harun yang kian memburuk. Berhari-hari ia susah makan, susah tidur, susah bicara, sering melamun, dan tiap malam selalu kluyuran. Badannnya jadi kurus, matanya cekung.
“Ibu tau kenapa tiba-tiba Harun bertingkah aneh seperti ini?” pertanyaan itu terlontar dari Pelita, gadis yang tengah menginjak usia remaja, putri bungsu Ibu Rina.
Ibu Rina menggeleng.
“Hanya saja, satu minggu sebelum Harun jadi seperti ini. Harun izin pamit sama ibu mau pergi ziarah ke Rembang sama temannya. Ibu ya mengijinkan aja. Sebelumnya Harun begitu sering mengungkapkan keinginannya untuk menikah. Menikah dengan Lyra, cucunya Mbak Khuzen. Ibu ya gak setuju ya, dia kan masih saudara kita dan lagi kalian tau sendiri bagaimana kondisi Lyra, cacat. Sedangkan Harun sendiri seperti itu, belum mapan, belum dewasa. Bagaimana ia mampu merawat Lyra? Dan bagaimana Lyra mampu merawat Harun?”
Ibu Rina mulai terisak, Pelita merangkul ibunya. Mengelus-ngelus punggung ibunya. Semua orang kini diam. Menunduk. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
 “Nanti sore, kita bawa Harun ke orang pintar. Aku rasa ada yang mengganggu Harun.”
Rencana itu pun dilaksanakan. Nasir mengajak Harun pergi, berboncengan motor dengannya. Nasir pasangkan helm di kepala Harun. Motor mulai melaju. Tiba-tiba saja ketika motor melewati rumah Lyra, Harun terlonjak. Memukul kepala Nasir dengan helm. Motor jadi tidak stabil, bahkan hampir jatuh. Harun meloncat turun, menggedor-gedor gerbang rumah. Gerbang terbuka. Ia kemudian berlari ke arah pintu. Menggedor-gedornya keras. Tapi pintu itu tidak terbuka. Nasir yang coba menghentikannya ia pukul ke belakang. Harun terus menggedor pintu. Orang jadi ramai ingin melihat apa yang terjadi. Akhirnya Harun berhenti ketika ia lelah. Tubuhnya melemas, jatuh perlahan ke lantai. Nasir masih menunggunya hingga ia sadar. Petang mulai menjelang. Adzan magrib mulai berkumandang. Orang-orang bergegas ke masjid, salat berjamaah. Nasir tidak kuat jika ia harus membopong Harun sendirian kembali ke rumah. Tapi ia pun harus salat. Untunglah saat itu, Rosyid datang, maka ia bergantian menjaga.
Rumah Lyra cukup besar. Bertingkat dua, dengan halaman yang tak terlalu kecil. Ada pohon mangga besar di pekarangan rumahnya. Gerbangnya dari tembaga dengan ukiran yang indah. Pintunya besar dari kayu jati. Ya ia memang orang kaya lagi terpandang. Sangat berbeda dengan Harun, yang hanya lulusan SMA, bekerja srabutan, dan dari keluarga miskin. Rumah itu sepi. Sudah berbulan-bulan lalu rumah itu ditinggalkan pemiliknya.
Harun terbangun, melihat sekitar. Matanya merah melotot terlihat seperti penuh amarah. Ia kemudian berlari keluar rumah. Nasir berpapasan dengan Harun, melihanya agak bingung.
“Nasir, kejar Harun!” teriak Rosyid dari belakang. Tanpa pikir panjang, Nasir berlari mengejar Harun.
Harun berlari ke tengah jalan. Diantara para pengendara sepeda motor dan mobil yang membelah jalan. Nasir dan Rosyid gelagapan, khawatir dan cemas. Mereka  berteriak-teriak memanggil Harun untuk kembali ke tepi. Harun tak mengindahkan. Ia semakin ke tengah jalan. Berteriak-teriak. Ibu Rina dan Pelita, dirundung cemas, khawatir sesuatu akan terjadi pada Harun. Mereka berteriak meminta Harun kembali, menepi kembali ke rumah.
“Mas Harun, jangan di tengah jalan nanti ketabrak. Kembali ke sini Mas...”
“Harun, balik Nang!”
Rosyid berusaha mencapai Harun. Menggeret tangannya menuju tepi jalan. Lalu lintas menjadi terganggu dengan kejadian ini. Pengemudi saling bertanya, ada apa? Apa yang terjadi? Sementara di ujung jalan sana Pelita dengan lantang mengucap, Laa illa ha illaallah. Dan diujung yang lain, Nasir sedang menelepon rumah sakit jiwa. Ia lelah, tenaganya sudah terkuras habis. Keberadaan pihak rumah sakit pasti membantu.
Tak beberapa lama, terdengar sirene suara ambulans. Beberapa orang turun dari mobil. Nasir menghampiri mereka dan menjelaskan situasi. Mereka paham. Beberapa orang diminta untuk menghentikan lalu lintas sementara. Beberapa yang lain, berusaha untuk menarik paksa Harun kembali ke tepi. Harun kalah jumlah. Ia dibaringkan di teras rumah, lantas dokter menyuntikkan obat penenang. Bagaikan anak yang kelelahan bermain lantas tertidur pulas. Begitulah Harun saat ini. Rosyid dibantu beberapa orang yang lain membawa Harun kembali ke kamar. Harun mereka tidurkan ia diatas tempat tidur. Menutup jendela dan mengunci pintunnya dari luar.
***
            Pagi hari ketika Ibu Rani masuk kamar ditemani Nasir, suhu badan Harun tinggi, sepertinya demam. Harun belum bangun, masih tidur. Dikompresnya kening Harun dengan penuh kasih sayang. Kemudian Ibu Rani meraih Al Qur’an dan membacanya. Ketika beliau sudah mendapatkan beberapa ayat. Harun terbangun. Dengan tatapan penuh amarah dan kebencian ia tatap Ibu Rani, wanita mulia yang telah mengandung dan melahirkannya.
“Ada apa Nang, kenapa kau menatap Ibu seperti itu? Apakah Ibu memiliki salah terhadapmu? ”
Harun bergeming. Ia terus pandangi Ibu Rani dengan tatapan yang tidak berubah. Tiba-tiba Harun kibaskan Al Qur’an yang ada dipangkuan Ibu Rani. Ibu Rani terlonjak kaget.
Astagfirullah, nyebut Nang. Nyebut.”
Ibu Rani memungut Al Qur’an yang terjatuh. Nasir datang, demi mendengar teriakan Ibunya. Nasir bantu ibunya keluar dari kamar. Kamar kembali dikunci dari luar.
***
Harun seolah menjadi tahanan rumah. Ia terkunci dalam kamarnya. Makannya masih susah. Tidurnya masih susah. Sulit bagi keluarga mengajaknya berkomunikasi. Namun, lama-lama keluarga pun kasihan melihatnya. Hari itu ketika Harun nampak mulai sehat dan kuat untuk berjalan, keluarga memberika kelonggaran terhadapnya. Ia boleh berjalan-jalan di dalam rumah, tapi harus ada yang mengawasi dan tidak boleh sampai keluar rumah. Begitu yang disarankan oleh Ustaz Soleh.
Dari siang hingga sore yang bertugas menjaga Harun adalah adik kecilnya Pelita. Sambil belajar untuk tryout besok, ia menjaga kakaknya. Namun Pelita tidak bisa berkonsentrasi belajar sepenuhnya dalam kondisi ini. Terlebih ketika Harun mulai bicara sendiri dan pembicaraan itu terdengar ganjil di telinganya.
“Iya, nanti sore kita akan lakukan rencana itu. Kita akan kuasai daerah ini, menjadi bagian dari kerajaan kita. Kita usir orang-orang ini. Orang-orang yang mengganggu jalan kita. Termasuk dia.”
Deg. Tatapan mata itu begitu menakutkan bagi Pelita. Tatapan itu seolah mengatakan. Aku akan membunuhmu. Bulu kuduknya merinding, tapi ia berusaha tetap tenang. Ia terus membaca sholawat, berusaha menenangkan hati dan juga pikirannya.
“Sial! Terlalu banyak tameng yang melindunginya. Aku baru bisa melumatkan satu. Iya, kau benar buat apa aku terlalu repot mengurusnya. Lebih baik kita fokus untuk nanti sore.”
Entah apa yang Harun sebenarnya bicarakan, tapi Pelita punya firasat buruk tentang ini. Sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi sore ini.
Benar saja, sore itu menjelang pukul setengah lima ketika Pelita minta digantikan jaga karena ingin mandi. Pelita memergoki Harun hendak membuka pintu rumah. Sesuatu perbuatan yang dilarang.
“Mas, mau kemana? Mas enggak boleh keluar rumah!”
Teriak Pelita, tangan kecilnya berusaha menarik mundur tangan Harun yang sedang memegang gagang pintung. Gagal. Usahanya sia-sia. Tenaganya jauh dibawah Harun. Harun mendorong Pelita ke belakang, punggungnya membentur tepi depan kayu. Sakit rasanya. Tapi hatinya lebih sakit, melihat Harun berhasil keluar rumah. Dengan suara lantang dan penuh kemenengan, ia berteriak. Tangannya menengadah, wajahnya menghadap langit.
“Hai teman-temanku, datanglah kemari. Daerah ini telah kita kuasai. Datanglah kemari.”
Langit berubah gelap. Mendung tiba-tiba datang mendekati rumah. Pelita merasakan ketakutan yang amat sangat. Pelita merasakan energi-energi jahat mulai datang masuk ke rumah ini. Ibu Rani, Nasir, Rosyid dan Badrun datang menarik tubuh Harun kembali ke dalam rumah. Harun tertawa penuh kemenangan. Ustaz Soleh datang ke rumah. Segera meminta Pelita dan keluarga pergi dari rumah meninggalkan Harun sendirian. Mereka menurut. Mereka merasa seoalah telah kalah. Kalah oleh sesuatu yang mereka sendiri tak tau pasti, mereka sebenarnya melawan siapa.
Sore itu Ibu Rani dan Pelita mengungsi ke rumah tetangga. Berdoa memohon perlindungan dan keselamatan dari-Nya. Sementara Rosyid dan Nasir sedang berjaga di luar rumah, berdiskusi dengan Ustaz Soleh tentang masalah ini. Menjalang magrib, salah seorang tetangga melapor pada Ibu Rani. Tetangga itu melihat Mas Fikri, keponakan Ibu Rani datang kerumahnya. Ia membawa berkat. Mengetuk pintu, namun yang ia temukan hanyalah Harun. Entah mereka berbincang apa. Tetangga itu melihat Mas Fikri memotong rambut gimbal Harun. Ibu Rani dan Pelita hampir tak percaya rambut gimbal harun telah dipotong. Keluarga telah berusaha membujuknya berkali-kali namun gagal. Kata Harun, ia telah bernadzar, ia akan memotong rambut gimbalnya hanya ketika ia telah menikah.
Malam itu juga keluarga meminta bantuan beberapa orang pintar. Rasyid dan Nasir masuk rumah. Melihat mereka berdua masuk, Harun jadi marah, berbagai barang ia banting dan pecahkan. Termasuk TV, piring, mangkuk, gelas dan jam. Orang-orang berusaha menenangkannya. Mebacakannya doa-doa. Menyemburkan dengan air yang sudah didoakan. Merukyahnya. Dialog pun terjadi.
“Hei, kau? Siapa kau yang telah menempeli Harun?” tanya Ustaz Malik, orang pintar yang dimintai bantuan mengatasi masalah ini.
“Aku? Kau sendiri siapa? Beraninya mengganggu jalan kami?” balas Harun dengan pongah.
“Aku Ustaz Malik. Baiklah kalau kau tidak bisa diajak bernegosiasi.” Ustaz Malik meletakkan tanggannya ke ubun-ubun Harun. Matanya terpejam, bibirnya komat-kamit merapalkan doa.
“Aaargg... hentikan-hentikan! Baiklah aku mengaku, aku akan bicara.” Harun berteriak kesakitan, Ustaz Malik pun menurunkan tangannya.
“Aku Ilong, kuda tunggangan Raja Pele yang paling disegani.”
Nasir dan Rosyid saling pandang. Sedikit bingung dengan pembicaraan ini. Namun mereka diam, tak ingin mengganggu.
“Dari mana asalmu? Apa tujuannmu?”
“Aku berasal dari Kerajaan Pale yang terletak di sekitar hutan larangan.”
Demi menyebut nama hutan larangan, merinding bulu kuduk Rosyid dan Nasir. Semuang orang tahu daerah macam apa itu. Berbahaya, penuh hewan buas. Angker, penuh makhluk halus. Sering sekali hewan ternah warga hilang di hutan itu. Terkadang ditemukan dalam keadaan sudah menjadi bangkai. Bahkan beberapa kali manusia juga pernah hilang disana, dan beberapa kali juga ditemukan mati. Sebuah sebuah bus nyasar ke area hutan. Sopir bus mengira ia sedang berada di jalur pantura Juwana-Pati-Rembang, namun ketika ayam berkokok si sopir baru sadar bahwa selama empat jam ia hanya berputar-putar di area hutan yang hanya ada jalan setapak. Bahkan tidak ditemukan jejak ban bus disana. Orang pintar menduga bahwa bus itu tengah masuk ke terowongan gaib namun untunglah bus dengan empat puluh penumpang itu tidak sampai masuk ke alam gaib. Banyak mitos yang beredar seputar hutan larangan. Kabarnya di hutan itu, terdapat banyak sekali kerajaan makhluk halus. Beberapa yang yang paling terkenal adalah ular berkepala manusia, manusia bertubuh kuda dan di sungainya yang beraliran deras terdapat buaya putih. Ada banyak aturan ketika melewati ataupun masuk ke dalam area hutan. Seperti harus membunyikan klakson tiga kali, harus kulo nuwun, tidak boleh melamun, jangan membunuh hewan apapun yang ditemui, jangan menebang pohon, jangan berkata kasar, jangan menantang penghuni sana, dan jangan-jangan lainnya.
Rosyid dan Nasir membatin, apa yang Harun lakukan disana hingga mengusik penghuni hutan larangan?
“Apa tujuanku? Aku ingin balas dendam dan aku juga ingin menguasai kembali daerah ini. Menjadikannya bagian dari wilayah kerajaan kami. Tapi kalian menganggu jalan kami.”
“Kenapa kalain begitu ingin mengusasi daerah ini? Daerah ini adalah rumah tempat tinggal Harun dan keluarganya? Apakah kalian berniat mengusir mereka?”
“Daerah ini menjanjikan. Dulunya wilayah ini juga adalah kekuasaan kami. Tapi kami kalah perang dengan Syech Abu Bakar. Wilayah kami pun semakin sempit dan kecil. Kini ketika ada kesempatan, maka akan kami rebut kembali wilayah ini. Aaaarggg...!” Harun berusaha melepaskan tali yang menjeratnya. Mendorong tubuh Ustaz Malik, hingga ia bersandar pada tembok. Untunglah ikatan itu tak lepas, sehingga perlawanannya tidak begitu membahayakan. Ustaz Malik memegang tangan Harun, memaksanya untuk duduk tenang kembali.
“Kau tadi bilang dendam pada Harun. Memangnya apa yang sudah Harun lakukan?”
“Apa yang sudah ia lakukan?!” intonasi Harun kini mulai meninggi. “Harun telah membunuh salah satu anak buahku yang tidak bersalah! Aku harus balas dendam!” kali ini Harun berusaha mebenturkan kepalanya sendiri ke dinding. Makhluk itu berusaha membalas dendam dengan merusak tubuh Harun. Rosyid dan Nasir berusaha menghentikannya. Tenaga Harun kuat sekali. Bahkan dua orang masih terasa sulit untuk menghentikannya.
“Hentikan! Kau bisa melukai Harun!” tangan Ustaz Malik mencengkram tangan Harun, sementara tangan lainnya memegang ubun-ubun Harun. Merapal doa, Harun berteriak kesakitan.
“Aaarrgghh..!”
Ustaz Malik berusaha mendudukan kembali Harun.
“Baiklah, kalau begitu apa yang kau mau agar kau bersedia untuk tidak mengganggu Harun lagi dan berhenti untuk menganggu daerah ini?”
“Tidak mau! Aku tidak mau menuruti maumu.”
Perdebatan menjadi sengit. Makhluk itu amat susah di ajak bernegosiasi. Akhirnya Ustaz Malik dibantu Ustaz Soleh dan orang pintar lainnya bahu-membahu untuk mengusir Ilong, makhluk harus serupa kuda berkepala manusia itu dari tubuh Harun. Alhamdulillah, atas izin Allah makhluk halus itu berhasil di usir. Namun tugas lain menunggu mereka. Akan ada kemungkinan bahwa Ilong dan kawannya akan kembali lagi untuk membalas dendam dan menguasi desa mereka.
Fajar mulai muncul di ufuk sana, sebenarnya mereka sangat lelah. Tapi mereka harus bergerak cepat. Tepat setelah jama’ah subuh, mereka mengumumkan apa yang terjadi. Dan meminta warga desa untuk bermujahadah bersama. Salat sunnah dua rekaat. Salat tasbih. Salat hajat. Ustaz Soleh, itu memhimbau untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Mungkin peristiwa ini adalah teguran dari-Nya, bahwa banyak warga desa yang telah jauh meninggalkan-Nya. Benteng spiritual desa semakin ditingkatkan, di adakan majlis-majlis setelah Isya. Isinya salat sunnah mutlak, salat hajat, salat tasbih, bacaan manakib dan semakin memperbanyak bacaan salawat.
“Sebenarnya apa yang terjadi terhadap Harun? Apa yang ia lakukan di hutan larangan ustaz?” tanya Pelita di suatu kesempatan kepada Ustaz Malik.
“Saya sebenarnya belum tau pasti juga. Namun dalam penglihatan saya, saya melihat punggung Harun berlubang. Lubang itu tercipta dari dalam, akibat dia salah melakukan suatu amalan. Mungkin dia melakukan wirid tertentu tanpa ijazah dan bimbingan dari seorang guru. Ditambah lagi keinginan yang sangat besar untuk menikah, membuat pikirannya kacau. Ambisinya hanya satu, ingin menikah. Tanpa diimbangi dengan instropeksi diri. Ia tidak sadar kapasitas dirinya, yang meskipun sudah berumur tiga puluhan, namun bekerja masih serabutan, kedewasaan berpikir belum ada, apalagi calon. Dia masih terlalu keras kepala, dan susah menerima nasihat. Dengan kondisi ini siapa yang mau menikah dengannya?”
“ Saya menduga tujuannya ziarah ke Rembang pun untuk memenuhi hajatnya, agar segera menikah. Sebenarnya ini tidak sepenuhnya salah. Namun alangkah lebih baik jika kita ziarah ya mengharap Ridho Allah dan hanya ngalap bekah dari wali tersebut. Ironisnya, dia memilih hutan larangan sebagi jalur perlintasannya. Dan ketika di tengah jalan, ada seekor ular kecil sedang menyabrang. Tanpa ia sadari, ban motornya telah melindas ular tersebut yang sebenarnya adalah ular siluman. Kawan-kawan si ular siluman pun marah, dan menjadikan hal ini untuk balas dendam.”
Pelita dan keluarnya terhenyak mengetahui fakta ini. Harun memang pendiam, tak banyak bicara pun ia tergolong pribadi yang tertutup. Maka tak banyak hal yang keluarga ketahui tentang Harun.
“Yang penting saat ini, Harun diawasi terus. Lebih di dekati, dan diajak komunikasi. Sering-seringlah membaca Al Qur’an, agar rumah ini penuh cahaya dan bisa menjadi benteng dari hal-hal yang tidak diinginkan.”
Pelita dan keluarga menunduk terdiam. Mereka sadar, rumah itu begitu gelap. Cahaya Al Qur’an tak banyak dan tak sering menyinari rumah mereka. Al Qur’an seringkali hanya terlihat sebagai pajangan di rak-rak kayu. Hingga kertas-kertasnya lapuk dan berdebu. Oh, Al Qur’an, sudah seberapa jauhkah kami meninggalkanmu? Batin Pelita di antara senyap rumahnya yang mulai terasa pengap.
***

Noor Salamah, gadis berzodiak cancer yang lahir pada tanggal 23 Juni 1994 ini begitu hobi membaca. Bahkan salah satu target terdekatnya adalah menerbitkan bukunya sendiri sebelum wisuda. Sekarang ia sedang menempuh S1 di Prodi Pendidikan Luar Sekolah Unnes. Penulis bisa dihubungi via fb : salma van licht, twitter : @salma_skylight, atau no Hp di 089668214948.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com