Jaran Setan
Ada
yang aneh di rumah ini. Sesuatu yang biasanya tak pernah terjadi. Beberapa hari
terakhir, setiap kali malam menjelang terdengar suara kasak-kusuk dari arah
tong sampah. Awalnya Rosyid mengira itu hanya tikus atau kucing biasa. Maka Rosyid
abaikan. Namun setelah dicermati suara itu kian aneh, bukan suara tikus bukan
pula suara kucing.
Suatu
malam ketika Rosyid sedang tidak bisa tidur, suara aneh itu mengusik rasa
penasarannya. Rosyid pun pergi ke arah tong sampah, betapa terkejutnya ia ketika
melihat Harun berada di sana. Bergumul dengan sampah.
“Harun!
Apa yang sedang kau lakukan?!” Rosyid menarik tubuh Harun mundur kebelakang.
Harun yang ditarik meronta, namun amarah membuat tenaga Rosyid lebih besar.
Orang
serumah jadi ramai. Harun didudukkan di atas kursi. Ia di awasi
saudaranya-saudaranya. Malam itu, Ibu Rina, Rosyid, Badrun, Nasir, dan Pelita
menatapnya dengan nanar.
“Kowe
geneo Nang?” pertanyaan itu terus diajukan Ibu Rina kepada anak keduanya,
sesekali sambil terisak bingung dengan semua kejadian ini. Sementara yang
ditanya, terus diam dan tatapannya justru terlihat kosong.
Rosyid
berbisik kepada adik-adiknya yang lain.
“Harun
harus diawasi!” yang lain pun mengangguk mengiyakan.
***
Ibu
Rina dan keluarga semakin cemas akan kondisi Harun yang kian memburuk.
Berhari-hari ia susah makan, susah tidur, susah bicara, sering melamun, dan
tiap malam selalu kluyuran. Badannnya jadi kurus, matanya cekung.
“Ibu
tau kenapa tiba-tiba Harun bertingkah aneh seperti ini?” pertanyaan itu
terlontar dari Pelita, gadis yang tengah menginjak usia remaja, putri bungsu
Ibu Rina.
Ibu
Rina menggeleng.
“Hanya
saja, satu minggu sebelum Harun jadi seperti ini. Harun izin pamit sama ibu mau
pergi ziarah ke Rembang sama temannya. Ibu ya mengijinkan aja. Sebelumnya Harun
begitu sering mengungkapkan keinginannya untuk menikah. Menikah dengan Lyra,
cucunya Mbak Khuzen. Ibu ya gak setuju ya, dia kan masih saudara kita dan lagi
kalian tau sendiri bagaimana kondisi Lyra, cacat. Sedangkan Harun sendiri
seperti itu, belum mapan, belum dewasa. Bagaimana ia mampu merawat Lyra? Dan
bagaimana Lyra mampu merawat Harun?”
Ibu
Rina mulai terisak, Pelita merangkul ibunya. Mengelus-ngelus punggung ibunya.
Semua orang kini diam. Menunduk. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Nanti sore, kita bawa Harun ke orang pintar.
Aku rasa ada yang mengganggu Harun.”
Rencana
itu pun dilaksanakan. Nasir mengajak Harun pergi, berboncengan motor dengannya.
Nasir pasangkan helm di kepala Harun. Motor mulai melaju. Tiba-tiba saja ketika
motor melewati rumah Lyra, Harun terlonjak. Memukul kepala Nasir dengan helm.
Motor jadi tidak stabil, bahkan hampir jatuh. Harun meloncat turun, menggedor-gedor
gerbang rumah. Gerbang terbuka. Ia kemudian berlari ke arah pintu.
Menggedor-gedornya keras. Tapi pintu itu tidak terbuka. Nasir yang coba
menghentikannya ia pukul ke belakang. Harun terus menggedor pintu. Orang jadi
ramai ingin melihat apa yang terjadi. Akhirnya Harun berhenti ketika ia lelah.
Tubuhnya melemas, jatuh perlahan ke lantai. Nasir masih menunggunya hingga ia
sadar. Petang mulai menjelang. Adzan magrib mulai berkumandang. Orang-orang
bergegas ke masjid, salat berjamaah. Nasir tidak kuat jika ia harus membopong
Harun sendirian kembali ke rumah. Tapi ia pun harus salat. Untunglah saat itu,
Rosyid datang, maka ia bergantian menjaga.
Rumah
Lyra cukup besar. Bertingkat dua, dengan halaman yang tak terlalu kecil. Ada
pohon mangga besar di pekarangan rumahnya. Gerbangnya dari tembaga dengan
ukiran yang indah. Pintunya besar dari kayu jati. Ya ia memang orang kaya lagi
terpandang. Sangat berbeda dengan Harun, yang hanya lulusan SMA, bekerja
srabutan, dan dari keluarga miskin. Rumah itu sepi. Sudah berbulan-bulan lalu
rumah itu ditinggalkan pemiliknya.
Harun
terbangun, melihat sekitar. Matanya merah melotot terlihat seperti penuh
amarah. Ia kemudian berlari keluar rumah. Nasir berpapasan dengan Harun,
melihanya agak bingung.
“Nasir,
kejar Harun!” teriak Rosyid dari belakang. Tanpa pikir panjang, Nasir berlari
mengejar Harun.
Harun
berlari ke tengah jalan. Diantara para pengendara sepeda motor dan mobil yang
membelah jalan. Nasir dan Rosyid gelagapan, khawatir dan cemas. Mereka berteriak-teriak memanggil Harun untuk
kembali ke tepi. Harun tak mengindahkan. Ia semakin ke tengah jalan.
Berteriak-teriak. Ibu Rina dan Pelita, dirundung cemas, khawatir sesuatu akan
terjadi pada Harun. Mereka berteriak meminta Harun kembali, menepi kembali ke
rumah.
“Mas
Harun, jangan di tengah jalan nanti ketabrak. Kembali ke sini Mas...”
“Harun,
balik Nang!”
Rosyid
berusaha mencapai Harun. Menggeret tangannya menuju tepi jalan. Lalu lintas
menjadi terganggu dengan kejadian ini. Pengemudi saling bertanya, ada apa?
Apa yang terjadi? Sementara di ujung jalan sana Pelita dengan lantang
mengucap, Laa illa ha illaallah. Dan diujung yang lain, Nasir sedang
menelepon rumah sakit jiwa. Ia lelah, tenaganya sudah terkuras habis.
Keberadaan pihak rumah sakit pasti membantu.
Tak
beberapa lama, terdengar sirene suara ambulans. Beberapa orang turun dari
mobil. Nasir menghampiri mereka dan menjelaskan situasi. Mereka paham. Beberapa
orang diminta untuk menghentikan lalu lintas sementara. Beberapa yang lain,
berusaha untuk menarik paksa Harun kembali ke tepi. Harun kalah jumlah. Ia
dibaringkan di teras rumah, lantas dokter menyuntikkan obat penenang. Bagaikan
anak yang kelelahan bermain lantas tertidur pulas. Begitulah Harun saat ini.
Rosyid dibantu beberapa orang yang lain membawa Harun kembali ke kamar. Harun mereka
tidurkan ia diatas tempat tidur. Menutup jendela dan mengunci pintunnya dari
luar.
***
Pagi hari ketika Ibu Rani masuk
kamar ditemani Nasir, suhu badan Harun tinggi, sepertinya demam. Harun belum
bangun, masih tidur. Dikompresnya kening Harun dengan penuh kasih sayang.
Kemudian Ibu Rani meraih Al Qur’an dan membacanya. Ketika beliau sudah
mendapatkan beberapa ayat. Harun terbangun. Dengan tatapan penuh amarah dan
kebencian ia tatap Ibu Rani, wanita mulia yang telah mengandung dan
melahirkannya.
“Ada
apa Nang, kenapa kau menatap Ibu seperti itu? Apakah Ibu memiliki salah
terhadapmu? ”
Harun
bergeming. Ia terus pandangi Ibu Rani dengan tatapan yang tidak berubah.
Tiba-tiba Harun kibaskan Al Qur’an yang ada dipangkuan Ibu Rani. Ibu Rani
terlonjak kaget.
“Astagfirullah,
nyebut Nang. Nyebut.”
Ibu
Rani memungut Al Qur’an yang terjatuh. Nasir datang, demi mendengar teriakan
Ibunya. Nasir bantu ibunya keluar dari kamar. Kamar kembali dikunci dari luar.
***
Harun
seolah menjadi tahanan rumah. Ia terkunci dalam kamarnya. Makannya masih susah.
Tidurnya masih susah. Sulit bagi keluarga mengajaknya berkomunikasi. Namun,
lama-lama keluarga pun kasihan melihatnya. Hari itu ketika Harun nampak mulai
sehat dan kuat untuk berjalan, keluarga memberika kelonggaran terhadapnya. Ia
boleh berjalan-jalan di dalam rumah, tapi harus ada yang mengawasi dan tidak
boleh sampai keluar rumah. Begitu yang disarankan oleh Ustaz Soleh.
Dari
siang hingga sore yang bertugas menjaga Harun adalah adik kecilnya Pelita.
Sambil belajar untuk tryout besok, ia menjaga kakaknya. Namun Pelita tidak bisa
berkonsentrasi belajar sepenuhnya dalam kondisi ini. Terlebih ketika Harun
mulai bicara sendiri dan pembicaraan itu terdengar ganjil di telinganya.
“Iya,
nanti sore kita akan lakukan rencana itu. Kita akan kuasai daerah ini, menjadi
bagian dari kerajaan kita. Kita usir orang-orang ini. Orang-orang yang
mengganggu jalan kita. Termasuk dia.”
Deg. Tatapan mata itu begitu menakutkan bagi Pelita. Tatapan itu seolah
mengatakan. Aku akan membunuhmu. Bulu kuduknya merinding, tapi ia
berusaha tetap tenang. Ia terus membaca sholawat, berusaha menenangkan hati dan
juga pikirannya.
“Sial!
Terlalu banyak tameng yang melindunginya. Aku baru bisa melumatkan satu. Iya,
kau benar buat apa aku terlalu repot mengurusnya. Lebih baik kita fokus untuk
nanti sore.”
Entah
apa yang Harun sebenarnya bicarakan, tapi Pelita punya firasat buruk tentang
ini. Sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi sore ini.
Benar
saja, sore itu menjelang pukul setengah lima ketika Pelita minta digantikan
jaga karena ingin mandi. Pelita memergoki Harun hendak membuka pintu rumah.
Sesuatu perbuatan yang dilarang.
“Mas,
mau kemana? Mas enggak boleh keluar rumah!”
Teriak
Pelita, tangan kecilnya berusaha menarik mundur tangan Harun yang sedang
memegang gagang pintung. Gagal. Usahanya sia-sia. Tenaganya jauh dibawah Harun.
Harun mendorong Pelita ke belakang, punggungnya membentur tepi depan kayu.
Sakit rasanya. Tapi hatinya lebih sakit, melihat Harun berhasil keluar rumah.
Dengan suara lantang dan penuh kemenengan, ia berteriak. Tangannya menengadah,
wajahnya menghadap langit.
“Hai
teman-temanku, datanglah kemari. Daerah ini telah kita kuasai. Datanglah
kemari.”
Langit
berubah gelap. Mendung tiba-tiba datang mendekati rumah. Pelita merasakan
ketakutan yang amat sangat. Pelita merasakan energi-energi jahat mulai datang
masuk ke rumah ini. Ibu Rani, Nasir, Rosyid dan Badrun datang menarik tubuh
Harun kembali ke dalam rumah. Harun tertawa penuh kemenangan. Ustaz Soleh datang
ke rumah. Segera meminta Pelita dan keluarga pergi dari rumah meninggalkan
Harun sendirian. Mereka menurut. Mereka merasa seoalah telah kalah. Kalah oleh
sesuatu yang mereka sendiri tak tau pasti, mereka sebenarnya melawan siapa.
Sore
itu Ibu Rani dan Pelita mengungsi ke rumah tetangga. Berdoa memohon
perlindungan dan keselamatan dari-Nya. Sementara Rosyid dan Nasir sedang
berjaga di luar rumah, berdiskusi dengan Ustaz Soleh tentang masalah ini.
Menjalang magrib, salah seorang tetangga melapor pada Ibu Rani. Tetangga itu
melihat Mas Fikri, keponakan Ibu Rani datang kerumahnya. Ia membawa berkat.
Mengetuk pintu, namun yang ia temukan hanyalah Harun. Entah mereka berbincang
apa. Tetangga itu melihat Mas Fikri memotong rambut gimbal Harun. Ibu Rani dan
Pelita hampir tak percaya rambut gimbal harun telah dipotong. Keluarga telah
berusaha membujuknya berkali-kali namun gagal. Kata Harun, ia telah bernadzar,
ia akan memotong rambut gimbalnya hanya ketika ia telah menikah.
Malam
itu juga keluarga meminta bantuan beberapa orang pintar. Rasyid dan Nasir masuk
rumah. Melihat mereka berdua masuk, Harun jadi marah, berbagai barang ia
banting dan pecahkan. Termasuk TV, piring, mangkuk, gelas dan jam. Orang-orang
berusaha menenangkannya. Mebacakannya doa-doa. Menyemburkan dengan air yang
sudah didoakan. Merukyahnya. Dialog pun terjadi.
“Hei,
kau? Siapa kau yang telah menempeli Harun?” tanya Ustaz Malik, orang pintar
yang dimintai bantuan mengatasi masalah ini.
“Aku?
Kau sendiri siapa? Beraninya mengganggu jalan kami?” balas Harun dengan pongah.
“Aku
Ustaz Malik. Baiklah kalau kau tidak bisa diajak bernegosiasi.” Ustaz Malik
meletakkan tanggannya ke ubun-ubun Harun. Matanya terpejam, bibirnya
komat-kamit merapalkan doa.
“Aaargg...
hentikan-hentikan! Baiklah aku mengaku, aku akan bicara.” Harun berteriak kesakitan,
Ustaz Malik pun menurunkan tangannya.
“Aku
Ilong, kuda tunggangan Raja Pele yang paling disegani.”
Nasir
dan Rosyid saling pandang. Sedikit bingung dengan pembicaraan ini. Namun mereka
diam, tak ingin mengganggu.
“Dari
mana asalmu? Apa tujuannmu?”
“Aku
berasal dari Kerajaan Pale yang terletak di sekitar hutan larangan.”
Demi
menyebut nama hutan larangan, merinding bulu kuduk Rosyid dan Nasir. Semuang
orang tahu daerah macam apa itu. Berbahaya, penuh hewan buas. Angker, penuh
makhluk halus. Sering sekali hewan ternah warga hilang di hutan itu. Terkadang
ditemukan dalam keadaan sudah menjadi bangkai. Bahkan beberapa kali manusia
juga pernah hilang disana, dan beberapa kali juga ditemukan mati. Sebuah sebuah
bus nyasar ke area hutan. Sopir bus mengira ia sedang berada di jalur pantura
Juwana-Pati-Rembang, namun ketika ayam berkokok si sopir baru sadar bahwa
selama empat jam ia hanya berputar-putar di area hutan yang hanya ada jalan
setapak. Bahkan tidak ditemukan jejak ban bus disana. Orang pintar menduga
bahwa bus itu tengah masuk ke terowongan gaib namun untunglah bus dengan empat
puluh penumpang itu tidak sampai masuk ke alam gaib. Banyak mitos yang beredar
seputar hutan larangan. Kabarnya di hutan itu, terdapat banyak sekali kerajaan
makhluk halus. Beberapa yang yang paling terkenal adalah ular berkepala
manusia, manusia bertubuh kuda dan di sungainya yang beraliran deras terdapat
buaya putih. Ada banyak aturan ketika melewati ataupun masuk ke dalam area hutan.
Seperti harus membunyikan klakson tiga kali, harus kulo nuwun, tidak
boleh melamun, jangan membunuh hewan apapun yang ditemui, jangan menebang
pohon, jangan berkata kasar, jangan menantang penghuni sana, dan jangan-jangan
lainnya.
Rosyid
dan Nasir membatin, apa yang Harun lakukan disana hingga mengusik penghuni
hutan larangan?
“Apa
tujuanku? Aku ingin balas dendam dan aku juga ingin menguasai kembali daerah
ini. Menjadikannya bagian dari wilayah kerajaan kami. Tapi kalian menganggu
jalan kami.”
“Kenapa
kalain begitu ingin mengusasi daerah ini? Daerah ini adalah rumah tempat
tinggal Harun dan keluarganya? Apakah kalian berniat mengusir mereka?”
“Daerah
ini menjanjikan. Dulunya wilayah ini juga adalah kekuasaan kami. Tapi kami kalah
perang dengan Syech Abu Bakar. Wilayah kami pun semakin sempit dan kecil. Kini
ketika ada kesempatan, maka akan kami rebut kembali wilayah ini. Aaaarggg...!”
Harun berusaha melepaskan tali yang menjeratnya. Mendorong tubuh Ustaz Malik,
hingga ia bersandar pada tembok. Untunglah ikatan itu tak lepas, sehingga
perlawanannya tidak begitu membahayakan. Ustaz Malik memegang tangan Harun,
memaksanya untuk duduk tenang kembali.
“Kau
tadi bilang dendam pada Harun. Memangnya apa yang sudah Harun lakukan?”
“Apa
yang sudah ia lakukan?!” intonasi Harun kini mulai meninggi. “Harun telah
membunuh salah satu anak buahku yang tidak bersalah! Aku harus balas dendam!”
kali ini Harun berusaha mebenturkan kepalanya sendiri ke dinding. Makhluk itu
berusaha membalas dendam dengan merusak tubuh Harun. Rosyid dan Nasir berusaha
menghentikannya. Tenaga Harun kuat sekali. Bahkan dua orang masih terasa sulit
untuk menghentikannya.
“Hentikan!
Kau bisa melukai Harun!” tangan Ustaz Malik mencengkram tangan Harun, sementara
tangan lainnya memegang ubun-ubun Harun. Merapal doa, Harun berteriak
kesakitan.
“Aaarrgghh..!”
Ustaz
Malik berusaha mendudukan kembali Harun.
“Baiklah,
kalau begitu apa yang kau mau agar kau bersedia untuk tidak mengganggu Harun
lagi dan berhenti untuk menganggu daerah ini?”
“Tidak
mau! Aku tidak mau menuruti maumu.”
Perdebatan
menjadi sengit. Makhluk itu amat susah di ajak bernegosiasi. Akhirnya Ustaz
Malik dibantu Ustaz Soleh dan orang pintar lainnya bahu-membahu untuk mengusir
Ilong, makhluk harus serupa kuda berkepala manusia itu dari tubuh Harun.
Alhamdulillah, atas izin Allah makhluk halus itu berhasil di usir. Namun tugas
lain menunggu mereka. Akan ada kemungkinan bahwa Ilong dan kawannya akan
kembali lagi untuk membalas dendam dan menguasi desa mereka.
Fajar
mulai muncul di ufuk sana, sebenarnya mereka sangat lelah. Tapi mereka harus
bergerak cepat. Tepat setelah jama’ah subuh, mereka mengumumkan apa yang
terjadi. Dan meminta warga desa untuk bermujahadah bersama. Salat sunnah dua
rekaat. Salat tasbih. Salat hajat. Ustaz Soleh, itu memhimbau untuk semakin
mendekatkan diri kepada Allah. Mungkin peristiwa ini adalah teguran dari-Nya,
bahwa banyak warga desa yang telah jauh meninggalkan-Nya. Benteng spiritual
desa semakin ditingkatkan, di adakan majlis-majlis setelah Isya. Isinya salat
sunnah mutlak, salat hajat, salat tasbih, bacaan manakib dan semakin
memperbanyak bacaan salawat.
“Sebenarnya
apa yang terjadi terhadap Harun? Apa yang ia lakukan di hutan larangan ustaz?”
tanya Pelita di suatu kesempatan kepada Ustaz Malik.
“Saya
sebenarnya belum tau pasti juga. Namun dalam penglihatan saya, saya melihat
punggung Harun berlubang. Lubang itu tercipta dari dalam, akibat dia salah
melakukan suatu amalan. Mungkin dia melakukan wirid tertentu tanpa ijazah dan
bimbingan dari seorang guru. Ditambah lagi keinginan yang sangat besar untuk
menikah, membuat pikirannya kacau. Ambisinya hanya satu, ingin menikah. Tanpa
diimbangi dengan instropeksi diri. Ia tidak sadar kapasitas dirinya, yang
meskipun sudah berumur tiga puluhan, namun bekerja masih serabutan, kedewasaan
berpikir belum ada, apalagi calon. Dia masih terlalu keras kepala, dan susah
menerima nasihat. Dengan kondisi ini siapa yang mau menikah dengannya?”
“
Saya menduga tujuannya ziarah ke Rembang pun untuk memenuhi hajatnya, agar
segera menikah. Sebenarnya ini tidak sepenuhnya salah. Namun alangkah lebih
baik jika kita ziarah ya mengharap Ridho Allah dan hanya ngalap bekah dari wali
tersebut. Ironisnya, dia memilih hutan larangan sebagi jalur perlintasannya.
Dan ketika di tengah jalan, ada seekor ular kecil sedang menyabrang. Tanpa ia
sadari, ban motornya telah melindas ular tersebut yang sebenarnya adalah ular
siluman. Kawan-kawan si ular siluman pun marah, dan menjadikan hal ini untuk
balas dendam.”
Pelita dan
keluarnya terhenyak mengetahui fakta ini. Harun memang pendiam, tak banyak
bicara pun ia tergolong pribadi yang tertutup. Maka tak banyak hal yang
keluarga ketahui tentang Harun.
“Yang
penting saat ini, Harun diawasi terus. Lebih di dekati, dan diajak komunikasi.
Sering-seringlah membaca Al Qur’an, agar rumah ini penuh cahaya dan bisa
menjadi benteng dari hal-hal yang tidak diinginkan.”
Pelita
dan keluarga menunduk terdiam. Mereka sadar, rumah itu begitu gelap. Cahaya Al
Qur’an tak banyak dan tak sering menyinari rumah mereka. Al Qur’an seringkali
hanya terlihat sebagai pajangan di rak-rak kayu. Hingga kertas-kertasnya lapuk
dan berdebu. Oh, Al Qur’an, sudah seberapa jauhkah kami meninggalkanmu? Batin
Pelita di antara senyap rumahnya yang mulai terasa pengap.
***
Noor
Salamah, gadis berzodiak cancer yang lahir pada tanggal 23 Juni 1994 ini begitu
hobi membaca. Bahkan salah satu target terdekatnya adalah menerbitkan bukunya
sendiri sebelum wisuda. Sekarang ia sedang menempuh S1 di Prodi Pendidikan Luar
Sekolah Unnes. Penulis bisa dihubungi via fb : salma van licht, twitter :
@salma_skylight, atau no Hp di 089668214948.
0 komentar:
Posting Komentar