Jumat, 01 April 2016

Di Balik Rak itu, Aku Menemukanmu

Di Balik Rak itu, Aku Menemukanmu

Masih di tempat yang sama. Di balik rak itu, aku menemukanmu. Duduk tenang seolah kau hidup dengan duniamu sendiri. Tak terusik, siapapun dan apapun. Bahkan hujan yang turun deras sekali, hanya kau lirik dari kaca jendela di sampingmu. Sesekali kau menaikan kaca matamu yang turun. Beberapa tumpuk buku berada di pinggir mejamu. Sementara itu matamu bergerak fokus mengikuti alur setiap abjad yang tersusun dari buku yang kau pegang. Mencoba memasuki dimensi ruang dan waktu yang dicipta sang penulis. Hanyut dalam emosi, seolah-olah kaulah yang mengalami semua peristiwa itu. Sukmamu mungkin sudah terbang bersama imaji yang kau racik. Dengan bumbu-bumbu fantasi penuh misteri. Di salah satu sudut ruangan ini, kau menyepi sendiri, mengucilkan diri dari hiruk pikuk, sibuknya dunia yang tak pernah sepi. Membenamkan diri di dalam setumpuk buku.
Aku selalu menemukanmu di balik rak itu, selalu di waktu yang sama. Di hari sabtu, di balik rak penuh buku misteri. Sama seperti dirimu yang penuh misteri. Dan kau akan menghabiskan waktumu dari pukul dua siang hingga perpustakaan ini tutup. Dan kaupun akan pergi, dengan ekspresi penuh kesedihan seolah-olah kau telah kehilangan belahan jiwamu. Tapak kakimu terasa berat sekali tatkala kau paksa dirimu tuk pergi. Aku merasakannya, sebagian hatimu sengaja kau tinggalkan disini.
Hari ini kau datang lagi. Selalu seragam coklat itu yang kau kenakan, dan kau terlihat amat manis kali ini, layaknya sebuah coklat. Kau isi kehadirin di komputer dekat tangga. SLTA. Itulah yang kau klik. Kau ambil kunci loker yang aku sodorkan. Membuka loker, menaruh tas. Mengunci kembali loker, lalu kunci itu kau serahkan kembali padaku sedangkan kau hanya memegang selembar kertas tanda nomor loker. Berjalan santai, menuju tempat favoritmu. Dibalik rak buku misteri dekat jendela. Tentu saja sebelumnya kau akan mengambil beberapa buku misteri dari rak di sampingmu. Rak itu berisi buku-buku karya penulis luar negeri, seperti Agatha Christie, Sandra Brown, Jeffery Deaver, Daniellie Steel, Diana Palmer, Rebecca Winters, Barbara Delinsky dan lain-lain. Tak banyak pengunjuang lain yang tertarik dengan buku-buku di rak itu. Alasan pertama kebanyakan buku itu sudah jelek, baik cover maupun kertas isinya. Alasan kedua, kebanyakan buku-buku itu merupakan cetakan lama tahun 90 hingga 20-an. Alasan ketiga, tak banyak yang suka novel terjemahan. Mungkin kau termasuk diantara sedikit yang masih menggemarinya buku-buku jenis itu. Terutama buku yang ditulis Agatha Christie. Ku pikir kalian memiliki kesamaan, sama-sama menyukai kisah penuh misteri. Kasus pembunuhan terutama. Agaknya, kau bercita-cita jadi seorang detektif, yang berhasil mengungkap berbagai kebenaran dibalik teka-teki.
Denting panjang bunyi bel terdengar keras dari setiap spiker yang terpasang di langit-langit ruangan. Tanda bahwa lima menit lagi perpustakaan akan tutup. Kau terlihat sedikit gugup. Kau bergegas pergi menghamipiriku, meminta kunci loker. Pada kesempatan ini aku beranikan diri bertanya padamu.
“Enggak minjem buku Mbak?”
“Enggak Mas, belum punya kartu.”
“Ya buat to Mbak. Caranya mudah kok, tinggal ngisi formulir. Minta tanda tangan guru dan pengesahan dari sekolah. Ini formulirnya.” Aku sodorkan padanya selembar formulir pendaftaran anggota perpustakaan. Dia menerimanya tanpa banyak kata selain mengucapkan terima kasih dan tersenyum padaku.
Hujan turun semakin deras, dari yang tadinya hanya sekedar rintik-rintik ketika aku mengunci pintu perpustakaan ini. Dan betapa aku terkejut, melihat dia masih berada di sini. Duduk sendiri di bangku kayu panjang depan pintu perpustakaan. Matanya menerawang menatap ke langit yang gelap. Mendung semakin tebal nan pekat, pun hari semakin sore.
“Nunggu siapa Mbak?”
Dia menggelang lemah. Tidak menunggu siapa-siapa, tidak menunggu jemputan, jadi mungkin dia menunggu hujan reda untuk pulang.
“Hujannya mungkin akan berlangsung lama. Rumahmu dimana?”
Wajahnya kini semakin sedih, ketika aku mengatakan hujannya mungkin akan lama.
“Potroyudan, Mas.”
Tak terlalu jauh, batinku.
“Mau tak anter?”
Aku menawarkan sebuah solusi. Tapi ia justru memandangku dengan tatapan aneh. Mungkin aku dianggap lancang, baru ngobrol pertama kali. Tau-tau menawari sebuah boncengan.
“Ndak Mas, ndak usah repot-repot. Saya nunggu hujan reda aja.”
Aku terdiam. Menatap langit yang kian gelap. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku buka kembali pintu perpustakaan. Ketemu, ini akan menolong. Aku kembali lagi duduk di sampingnya. Menyodorkan sebuah payung kepadanya. Matanya menatapku, mengisyaratkan sebuah tanya.
“Pakailah, tak apa. Ini adalah inventaris perpus. Boleh digunakan kok.”
“Terima kasih. Kalau begitu saya pamit pulang dulu, Mas. Assalamualaikum.
Dia pun pergi, berlalu bersama payung yang melindunginya. Semakin jauh, hilang diantara tetes air hujan.
Seminggu kemudian, kau datang lagi kesini. Masih mengenakan seragam coklat. Dengan rutinitas seperti biasa. Sepertinya kau menyengaja menjadi pengunjung terakhir kali ini. Bahkan kau juga sepertinya sengaja menungguku, hingga perpustakaan ini hendak aku tutup. Saat itulah kau mencegahku.
“Tunggu Mas, jangan di tutup dulu.”
Aku menoleh heran menatapmu. Kau kemudian menyerahkan sebuah payung yang dulu aku pinjamkan.
“Saya cuma mau mengembalikan ini Mas, makasih.”
“Tapi di luar gerimis, tak apa kalau kamu mau minjam lagi.”
“Enggak Mas, enggak perlu. Saya sudah bawa payung sendiri kok. Terima kasih saya pamit pulang dulu. Assalamualaikum.
Waalaikum salam.
Kau mekarkan sebuah payung berwarna hijau emarld dengan hiasan sedikit bunga. Kau pun kemudian berlalu, pergi menghilang diantara tetes hujan. Mungkinkah besok aku memiliki alasan lagi untuk bercakap-cakap denganmu? Semoga, kesempatan yang baik itu akan datang lagi.
Rupanya doaku tidak di ijabah. Kesempatan itu tidak datang lagi. Bahkan aku tak lagi menemukanmu di balik rak itu. Aku selalu menunggu hari sabtu tiba, namun ketika sabtu bersua kecewa jua yang kudapat. Aku bahkan belum sempat tau siapa namamu. Dimana kamu sekolah. Rindu ini sungguh menyesak di dada. Semakin lama semakin membuat aku susah bernapas. Setiap ada gadis berseragam coklat datang ke perpustakaan di hari sabtu, aku selalu berharap itu kamu. Namun aku hanya berhalusinasi. Faktanya kamu tak pernah datang. Dan aku baru sadar bahwa, benang merah jambu sudah terlanjur menjerat hatiku. Aku pun belum sempat menyampaikan kegelisahan hatiku kepadamu. Mengutarakan isi hatiku, betapa aku menyukaimu.
***
Noor Salamah, lahir pada tanggal 23 Juni 1994. Putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan Ibu S. Muzaronah ini hobinya membaca dan menulis. Sejak 2012 melanjutkan studi S1 Pendidikan Luar Sekolah di Unnes. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail : salamah_chan@yahoo.com, fb : salma van licht atau twitter : @salma_skylight.


0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com