Di Balik Rak
itu, Aku Menemukanmu
Masih
di tempat yang sama. Di balik rak itu, aku menemukanmu. Duduk tenang seolah kau
hidup dengan duniamu sendiri. Tak terusik, siapapun dan apapun. Bahkan hujan
yang turun deras sekali, hanya kau lirik dari kaca jendela di sampingmu. Sesekali
kau menaikan kaca matamu yang turun. Beberapa tumpuk buku berada di pinggir
mejamu. Sementara itu matamu bergerak fokus mengikuti alur setiap abjad yang tersusun
dari buku yang kau pegang. Mencoba memasuki dimensi ruang dan waktu yang
dicipta sang penulis. Hanyut dalam emosi, seolah-olah kaulah yang mengalami
semua peristiwa itu. Sukmamu mungkin sudah terbang bersama imaji yang kau
racik. Dengan bumbu-bumbu fantasi penuh misteri. Di salah satu sudut ruangan
ini, kau menyepi sendiri, mengucilkan diri dari hiruk pikuk, sibuknya dunia
yang tak pernah sepi. Membenamkan diri di dalam setumpuk buku.
Aku
selalu menemukanmu di balik rak itu, selalu di waktu yang sama. Di hari sabtu,
di balik rak penuh buku misteri. Sama seperti dirimu yang penuh misteri. Dan
kau akan menghabiskan waktumu dari pukul dua siang hingga perpustakaan ini
tutup. Dan kaupun akan pergi, dengan ekspresi penuh kesedihan seolah-olah kau
telah kehilangan belahan jiwamu. Tapak kakimu terasa berat sekali tatkala kau
paksa dirimu tuk pergi. Aku merasakannya, sebagian hatimu sengaja kau
tinggalkan disini.
Hari
ini kau datang lagi. Selalu seragam coklat itu yang kau kenakan, dan kau
terlihat amat manis kali ini, layaknya sebuah coklat. Kau isi kehadirin di komputer
dekat tangga. SLTA. Itulah yang kau klik. Kau ambil kunci loker yang aku
sodorkan. Membuka loker, menaruh tas. Mengunci kembali loker, lalu kunci itu
kau serahkan kembali padaku sedangkan kau hanya memegang selembar kertas tanda
nomor loker. Berjalan santai, menuju tempat favoritmu. Dibalik rak buku misteri
dekat jendela. Tentu saja sebelumnya kau akan mengambil beberapa buku misteri
dari rak di sampingmu. Rak itu berisi buku-buku karya penulis luar negeri,
seperti Agatha Christie, Sandra Brown, Jeffery Deaver, Daniellie Steel, Diana
Palmer, Rebecca Winters, Barbara Delinsky dan lain-lain. Tak banyak pengunjuang
lain yang tertarik dengan buku-buku di rak itu. Alasan pertama kebanyakan buku
itu sudah jelek, baik cover maupun kertas isinya. Alasan kedua, kebanyakan
buku-buku itu merupakan cetakan lama tahun 90 hingga 20-an. Alasan ketiga, tak
banyak yang suka novel terjemahan. Mungkin kau termasuk diantara sedikit yang
masih menggemarinya buku-buku jenis itu. Terutama buku yang ditulis Agatha
Christie. Ku pikir kalian memiliki kesamaan, sama-sama menyukai kisah penuh
misteri. Kasus pembunuhan terutama. Agaknya, kau bercita-cita jadi seorang
detektif, yang berhasil mengungkap berbagai kebenaran dibalik teka-teki.
Denting
panjang bunyi bel terdengar keras dari setiap spiker yang terpasang di
langit-langit ruangan. Tanda bahwa lima menit lagi perpustakaan akan tutup. Kau
terlihat sedikit gugup. Kau bergegas pergi menghamipiriku, meminta kunci loker.
Pada kesempatan ini aku beranikan diri bertanya padamu.
“Enggak
minjem buku Mbak?”
“Enggak
Mas, belum punya kartu.”
“Ya
buat to Mbak. Caranya mudah kok, tinggal ngisi formulir. Minta tanda tangan
guru dan pengesahan dari sekolah. Ini formulirnya.” Aku sodorkan padanya
selembar formulir pendaftaran anggota perpustakaan. Dia menerimanya tanpa
banyak kata selain mengucapkan terima kasih dan tersenyum padaku.
Hujan
turun semakin deras, dari yang tadinya hanya sekedar rintik-rintik ketika aku
mengunci pintu perpustakaan ini. Dan betapa aku terkejut, melihat dia masih
berada di sini. Duduk sendiri di bangku kayu panjang depan pintu perpustakaan.
Matanya menerawang menatap ke langit yang gelap. Mendung semakin tebal nan
pekat, pun hari semakin sore.
“Nunggu
siapa Mbak?”
Dia
menggelang lemah. Tidak menunggu siapa-siapa, tidak menunggu jemputan, jadi
mungkin dia menunggu hujan reda untuk pulang.
“Hujannya
mungkin akan berlangsung lama. Rumahmu dimana?”
Wajahnya
kini semakin sedih, ketika aku mengatakan hujannya mungkin akan lama.
“Potroyudan,
Mas.”
Tak
terlalu jauh, batinku.
“Mau
tak anter?”
Aku
menawarkan sebuah solusi. Tapi ia justru memandangku dengan tatapan aneh.
Mungkin aku dianggap lancang, baru ngobrol pertama kali. Tau-tau menawari
sebuah boncengan.
“Ndak
Mas, ndak usah repot-repot. Saya nunggu hujan reda aja.”
Aku
terdiam. Menatap langit yang kian gelap. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku
buka kembali pintu perpustakaan. Ketemu, ini akan menolong. Aku kembali lagi
duduk di sampingnya. Menyodorkan sebuah payung kepadanya. Matanya menatapku,
mengisyaratkan sebuah tanya.
“Pakailah,
tak apa. Ini adalah inventaris perpus. Boleh digunakan kok.”
“Terima
kasih. Kalau begitu saya pamit pulang dulu, Mas. Assalamualaikum.”
Dia
pun pergi, berlalu bersama payung yang melindunginya. Semakin jauh, hilang
diantara tetes air hujan.
Seminggu
kemudian, kau datang lagi kesini. Masih mengenakan seragam coklat. Dengan
rutinitas seperti biasa. Sepertinya kau menyengaja menjadi pengunjung terakhir
kali ini. Bahkan kau juga sepertinya sengaja menungguku, hingga perpustakaan
ini hendak aku tutup. Saat itulah kau mencegahku.
“Tunggu
Mas, jangan di tutup dulu.”
Aku
menoleh heran menatapmu. Kau kemudian menyerahkan sebuah payung yang dulu aku
pinjamkan.
“Saya
cuma mau mengembalikan ini Mas, makasih.”
“Tapi
di luar gerimis, tak apa kalau kamu mau minjam lagi.”
“Enggak
Mas, enggak perlu. Saya sudah bawa payung sendiri kok. Terima kasih saya pamit
pulang dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikum
salam.”
Kau
mekarkan sebuah payung berwarna hijau emarld dengan hiasan sedikit bunga. Kau
pun kemudian berlalu, pergi menghilang diantara tetes hujan. Mungkinkah besok
aku memiliki alasan lagi untuk bercakap-cakap denganmu? Semoga, kesempatan yang
baik itu akan datang lagi.
Rupanya
doaku tidak di ijabah. Kesempatan itu tidak datang lagi. Bahkan aku tak
lagi menemukanmu di balik rak itu. Aku selalu menunggu hari sabtu tiba, namun
ketika sabtu bersua kecewa jua yang kudapat. Aku bahkan belum sempat tau siapa
namamu. Dimana kamu sekolah. Rindu ini sungguh menyesak di dada. Semakin lama
semakin membuat aku susah bernapas. Setiap ada gadis berseragam coklat datang
ke perpustakaan di hari sabtu, aku selalu berharap itu kamu. Namun aku hanya
berhalusinasi. Faktanya kamu tak pernah datang. Dan aku baru sadar bahwa, benang
merah jambu sudah terlanjur menjerat hatiku. Aku pun belum sempat menyampaikan
kegelisahan hatiku kepadamu. Mengutarakan isi hatiku, betapa aku menyukaimu.
***
Noor Salamah, lahir pada tanggal 23 Juni 1994. Putri pasangan M.
Ma’ruf (Alm) dan Ibu S. Muzaronah ini hobinya membaca dan menulis. Sejak 2012
melanjutkan studi S1 Pendidikan Luar Sekolah di Unnes. Penulis dapat dihubungi
melalui e-mail : salamah_chan@yahoo.com, fb
: salma van licht atau twitter : @salma_skylight.
0 komentar:
Posting Komentar