Lukisan Terakhir
Sebuah lukisan berukuran 1x0,5 m dengan bingkai kayu jati berukir
terpajang di dinding dengan kokoh. Banyak pengunjung pameran yang sejenak
memperhatikan lukisan tersebut. mengagumi keindahan seni lukisannya. Hingga
satu persatu mulai pergi, namun seorang wanita berumur tiga puluhan mengenakan
gamis berwarna hitam dengan pashmina hijau masih diam, tegak berdiri.
Dipandanginya terus lukisan yang bergambar seorang pengantin wanita dengan gaun
dan jilbab putih gading berdiri diantara taman bunga sedang menatap purnama. Di
sebelah bulan purnama, terdapat sebuah bintang yang bersinar amat terang dan
sebuah bintang jatuh. Kedua tangan wanita tersebut memegang setangkai bunga krisan, bunga lambang
kematian. Beberapa ekor kupu-kupu besar bewarna hitam terbang disampingnya. Bibir
wanita itu tersenyum tapi matanya menangis.
Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu, tujuh tahun yang lalu.
Pada sesosok laki-laki yang amat dekat dihatinya. Pria yang telah mengetuk
pintu hatinya. Pria yang membuatnya jatuh hati. Namanya Bagas. Saat itu ia
sedang duduk di suatu sudut kota lama, di depannya sebuah kanvas dan berbagai
perlengkapan melukis siap menjadi media penuangan perasaannya. Seorang wanita
berumur belasan tahun, berdiri dibelakangnya. Kedua tangannya erat memegang
kendali kursi roda.
“Bisa tolong pesankan aku secangkir coklat panas?” pinta pria
dengan kursi roda.
“Tentu kak, kakak tolong tunggu sebentar ya,” gadis kecil itu
segera berlari menuju kafe yang tak jauh dari posisinya.
Pria itu hendak memulai melukis. Dipandanginya Greja Blenduk,
sebuah gereja tua zaman Belanda yang masih tegak berdiri. Pria itu menggeser
posisi kursi roda, dan saat itulah kuasnya jatuh. Dengan susah payah pria itu
berusaha mengambil kuas yang terjatuh. Tapi sebuah tangan lain telah
mendahuluinya. Pria itu mendongak, sebuah wajah manis berjilbab biru memandangnya
tanpa bicara hanya menyodorkan kuas.
“Terima kasih,” gadis di hadapannya tersenyum. Kembali ke tempat
duduknya berkutat dengan laptop. “Hai kamu,” pria berkusi roda berteriak kepada
gadis yang baru menolongnya.”Bolehkah aku meminta tolong sekali lagi?”tanpa
bicara gadis itu kembali mengangguk menghampiri pria berkusi roda. Wajahnya
seolah bertanya bantuan apa yang bisa diberikan olehnya. “Bisakah kau bantu aku
dengan mendorong kursi roda ini pergi ke sudut sebelah sana? Sepertinya sudut
disana lebih bagus untukku melukis.” Gadis itu kembali mengangguk. “Oh ya,
namaku Bagas. Lintang Bagaskara. Namamu siapa?” diberikan pertanyaan seperti
itu, gadis di belakangnya bukannya menjawab malah menghentikan kursi roda.
Apakah ia marah? Tersinggung oleh sikapku yang tiba-tiba mengajak
kenalan?
Terka Bagas dalam hati. Ia menanti dengan cemas apa yang akan
dilakukan oleh gadis tersebut.
Namaku Kartika Sari. Panggil saja Sari. Senang berkenalan denganmu.
Maaf aku hanya bisa berkomunikasi seperti ini. Semoga hal ini tidak
menganggumu.
Bagas tersentak membaca sebuah tulisan di pangkuannya.
Apakah ini artinya? gadis bernama sari yang mendorong kursi rodanya
tak bisa bicara? bisu?
Tapi Bagas tak berani bertanya lebih jauh, takut melukai
perasaannya.
“Tak apa, setiap orang memiliki kekurangan. Mungkin itu
kekuranganmu, tapi lihatlah, aku pun memiliki kekurangan. Aku terlahir tak
sempurna, aku tak memiliki kaki yang utuh, jemariku pun hanya ada tiga. Tapi
tak mengapa, aku tetap bersyukur. Aku bersyukur masih diberi kehidupan dan
dipertemukan dengan orang-orang yang sangat menyanyangiku. Kekurangan ini tak
boleh menjadi penghambatku untuk maju. Mimipiku adalah menjadi seorang pelukis
besar, pelukis yang karyangnya abadi. Jadikan kekurangan menjadi pelecut untuk
maju. Bolehkah aku tau mimpimu?”
Menjadi penulis terkenal yang karyanya mampu menginspirasi semua
pembacanya. Itulah mimipiku.
Jawab Sari di selembar kertas.
“Bagus. Lanjutkan, mari kita usahakan untuk mewujudkan mimpi kita!
Buktikan pada dunia bahwa kita bisa!” ucap Bagas berapi-api di belakangnya Sari
hanya mengangguk dan tersenyum.
“Maaf Kak, menunggu lama. Ini cokelat panasmu. Aku taruh sini ya.”
“Iya, makasih ya Rachel. Oh ya, kenalin ini teman baru kakak,
namanya Kartika Sari. Biasa di panggil Sari. Sari, ini sepupuku. Namanya
Rachel.”
“Rachel, senang bertemu dengan Kak Sari. Semoga Kak Sari bisa
bersahabat baik dengan Kak Bagas,” Rachel mengulurkan tangan, Sari membalas
uluran tangan tersebut mengangguk dan pergi kembali ke kursinya. “Temanmu
kenapa Kak, kenapa dia hanya menggangguk lalu pergi tanpa bekata apa pun?”
“Karena memang dia tidak bisa berkata-kata Rachel. Dia Bisu. Dia
hanya bisa berkomunikasi lewat tulisan,” Rachel mengangguk maklum.
Pertemuannya dengan Sari, meski singkat namun mampu mengusik
dirinya. Beberapa kali skesta Gereja Blenduk tiba-tiba saja berubah menjadi wajah
manis Sari ketika tersenyum. Ini membuatnya tak tenang dan sulit berkonsentrasi.
Waktu terus berlalu tanpa peduli apa yang sedang terjadi. Sari
seperti biasa, sedang menikmati seduhan coklat panas sambil merampungkan proyek
menulisnya. Untuk beberapa lama kafe ini akan menjadi tempat favoritnya, dan
selama itu pula Sari selalu menemukan Bagas di tempat yang sama. Tapi Kali ini
Bagas sendiri tanpa Rachel, dan lagi-lagi kuas Bagas terjatuh.
“Terima kasih,” Bagas memperhatikan siapa yang telah membantu
menolongnya, betapa terkejut dirinya menemukan wajah manis Sari dihadapannya.
Wajah yang selama beberapa hari mengusiknya.
“Dimana Rachel? Kenapa dia tidak menemanimu hari ini?” tanya Sari
melalui secarik kertas.
“Rachel sedang sibuk mempersiapkan ujian kelulusan. Oh ya, bolehkan
aku minta tolong? Menemaniku disiku selama Rachel tidak ada? Tentu aku akan
sangat terbantu jika kau ada disisiku itu pun jika kau tak terganggu dengan
kehadiranku disisimu?”
Sari mengangguk. Tanpa berkata, Sari membereskan berbagai barangnya
memindahkannya di meja dekat Bagas berada. Bagas memperhatikan Sari yang sedang
duduk menghadap laptop. Di sampingnya sebuah cokelat panas mengepul
mengeluarkan uap. Jilbab merah jambu berkibar tertiup angin, terusan panjang
warna senada nampak anggun ketika melekat di tubuhnya yang semampai. Bagas
mengamati dengan seksama setiap inchi dan setiap apa yang ada pada Sari,
merekamnya dalam memori. Hingga akhirnya ia melihat Sari salah tingkah. Sari
bukannya tak merasa diamati oleh Bagas. Sari merasakannya, tapi tak bisa
berbuat apa-apa. Ia berusaha tak peduli tapi nyatanya tak bisa. Sikap Bagas
yang seperti itu membuat ia grogi dan salah tingkah.
Hari demi hari berlalu, ternyata tak hanya sehari, seminggu atau
sebulan Sari diminta menemani Bagas selama tidak ada Rachel. Waktu begitu
panjangpun akhirnya membuat mereka semakin dekat. Bahkan sedikit demi sedikit
Bagas mulai bisa bahasa isyarat, lebih jauh dari itu Bagas bahkan seolah
memahami apa yang diinginkan Sari tanpa Sari harus menulis atau mengatakannya.
Aku mengantarmu cukup sampai disini ya. BBM aku kalau kalau sudah
selesai. Aku akan ke masjid dulu.
Begitulah isi pesan Sari. Di depan Gereja Blenduk mereka berpisah.
Bagas masuk ke dalam Gereja sementara Sari berjalan ke arah lain menuju masjid.
Di hadapan patung Yesus Bagas berdoa, sebagaimana di hadapan Allah SWT Sari
bedoa.
Tuhanku yag Maha Sempurna. Jika perasaan yang bersemayam dalam
hatiku adalah sebuah kesalahan. Jadikanlah ini merupakan kesalahan indah, yang
akan mendekatkanku pada-Mu. Jika rasa yang ada di hati ini tidaklah engkau
ridhoi, cukupkanlah sampai disini perasaan ini. Jangan ada cinta diantara kami.
Jangan ada benci diantara kami. Jadikanlah kami sahabat yang selalu saling menguatkan.
Hari ini setelah bertahun-tahun Sari memutuskan untuk pergi. Pergi
jauh meninggalkan Bagas dan kenangan yang mereka cipta. Disinilah Sari,
memandang lukisan terakhir Bagas.
“Kak Sari? Benarkah itu kau Kak Sari?”
Sari menoleh ke belakang, di tatapnya wajah Rachel sepupu Bagas.
“Benar itu kau, Kak Sari?” Sari mengangguk. “Mari ikut aku, ada
yang harus aku berikan padamu. Wasiat dari Kak Bagas.” Sari menurut.
Dibiarkannya Rachel menuntun langkahnya. Mereka melewati sebuah lorong dimana
kanan dan kirinya penuh dengan lukisan. Hingga mereka tiba pada sebuah ruang
kecil berkaca bertuliskan TIDAK UNTUK DIJUAL. Rachel mengambil sebuah lukisan,
Sari tersentak kaget melihat sosok yang terlukis itu, yang tak lain adalah
dirinya.
“Lukisan ini dari Kak Bagas untuk Kak Sari. Terimalah kak.”
Sari menerimanya. Tanpa ia sanggup untuk menahan air matanya jatuh.
Sari jatuh terduduk memeluk lukisan itu. Lukisan saat ia sedang mengetik di
sebuah kafe di kota lama. Akhirnya ia tau, mengapa waktu itu Bagas begitu lekat
memandangnya, tak lain agar ia dapat melukisnya.
“Rachel tau, Kak Bagas sangat mencintai Kak Sari. Hingga Kak Bagas
meminta Rachel untuk tidak usah menemaninya melukis tak lain agar Kak Sarilah
yang menggantikan posisi Rachel. Kak Bagas berharap posisi itu bisa di isi
terus oleh Kak Sari. Tapi nyatanya tak bisa, Kak Bagas akhirnya sadar. Ada
perpedaan besar yang tak mungkin disatukan diantara kalian. Kak Sari akhirnya
pergi. Sungguh Kak Bagas amat sakit dan terluka, tapi ia bisa apa? Sekalipun
Kak Bagas ingin melupakan Kak Sari menghapus cinta yang terlanjur bersemi.
Nyatanya itu susah sekali. Lukisan terakhir yang kakak lihat tadi adalah
lukisan yang Kak Bagas buat saat kemoterapi menjelang operasi pengangkatan
kanker otak yang ternyata gagal. Lukisan itu mengambarkan perasaan Kak Bagas
terhadap Kak Sari, orang yang dicintainya. Kak Bagas tau, kelak Kak Sari akan
datang kembali bukan sebagai kekasih tapi sebagai sahabat yang menguatkan.
Menghadapi kematian Kak Bagas, Kak Sari harus tersenyum walaupun sedih
sekalipun. Tetaplah tersenyum. Bintang yang jatuh itu telah berpulang ke tempat
dia berada.”
Rachel memeluk Sari yang menangis sesenggukan.
Jangan menangis Sari. Jangan menangis sebab kematianku. Tersenyumlah,
maka aku turut bahagia untukmu. Jemputlah mimipmu, sebagaimana aku telah
menjemput mimpiku. Bukankah itu adalah janji kita berdua dulu? Jangan menangis
dan tersenyumlah. Sesungguhnya inilah jawaban atas doa kita. Sungguh, kita
memang tak bisa bersatu sebagai kekasih. Terlalu berdosa dan egois kiranya jika
aku mengharapkan itu terjadi. Maka kini kenanglah aku sebagai sahabatmu.
Lintang Bagaskara
(Bintang yang telah jatuh, kembali
ke tempatnya berada)
Membaca tulisan yang ada dibalik lukisan membuat Sari kembali
menangis sesenggukan. Sungguh Sari tak kan mampu melupakan Lintang Bagaskara,
bintang yang telah jatuh, kembali ke tempatnya berada.
***
Noor Salamah, merupakan putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan Slamet
Muzaronah. Ia lahir dan besar di Jepara. Menyukai dunia tulis menulis sejak
SMP, dan ia bercita-cita menjadi seorang penulis yang bisa menginspirasi banyak
orang. Penulis bisa dihubungi via Fb : Salma Van Licht, email: salamah_chan@yahoo.com, atau CP: 085876214142