Read More

Slide 1 Title Here

Slide 1 Description Here
Read More

Slide 2 Title Here

Slide 2 Description Here
Read More

Slide 3 Title Here

Slide 3 Description Here
Read More

Slide 4 Title Here

Slide 4 Description Here
Read More

Slide 5 Title Here

Slide 5 Description Here

Sabtu, 02 April 2016

Lukisan Terakhir

Lukisan Terakhir

Sebuah lukisan berukuran 1x0,5 m dengan bingkai kayu jati berukir terpajang di dinding dengan kokoh. Banyak pengunjung pameran yang sejenak memperhatikan lukisan tersebut. mengagumi keindahan seni lukisannya. Hingga satu persatu mulai pergi, namun seorang wanita berumur tiga puluhan mengenakan gamis berwarna hitam dengan pashmina hijau masih diam, tegak berdiri. Dipandanginya terus lukisan yang bergambar seorang pengantin wanita dengan gaun dan jilbab putih gading berdiri diantara taman bunga sedang menatap purnama. Di sebelah bulan purnama, terdapat sebuah bintang yang bersinar amat terang dan sebuah bintang jatuh. Kedua tangan wanita tersebut  memegang setangkai bunga krisan, bunga lambang kematian. Beberapa ekor kupu-kupu besar bewarna hitam terbang disampingnya. Bibir wanita itu tersenyum tapi matanya menangis.
Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu, tujuh tahun yang lalu. Pada sesosok laki-laki yang amat dekat dihatinya. Pria yang telah mengetuk pintu hatinya. Pria yang membuatnya jatuh hati. Namanya Bagas. Saat itu ia sedang duduk di suatu sudut kota lama, di depannya sebuah kanvas dan berbagai perlengkapan melukis siap menjadi media penuangan perasaannya. Seorang wanita berumur belasan tahun, berdiri dibelakangnya. Kedua tangannya erat memegang kendali kursi roda.
“Bisa tolong pesankan aku secangkir coklat panas?” pinta pria dengan kursi roda.
“Tentu kak, kakak tolong tunggu sebentar ya,” gadis kecil itu segera berlari menuju kafe yang tak jauh dari posisinya.
Pria itu hendak memulai melukis. Dipandanginya Greja Blenduk, sebuah gereja tua zaman Belanda yang masih tegak berdiri. Pria itu menggeser posisi kursi roda, dan saat itulah kuasnya jatuh. Dengan susah payah pria itu berusaha mengambil kuas yang terjatuh. Tapi sebuah tangan lain telah mendahuluinya. Pria itu mendongak, sebuah wajah manis berjilbab biru memandangnya tanpa bicara hanya menyodorkan kuas.
“Terima kasih,” gadis di hadapannya tersenyum. Kembali ke tempat duduknya berkutat dengan laptop. “Hai kamu,” pria berkusi roda berteriak kepada gadis yang baru menolongnya.”Bolehkah aku meminta tolong sekali lagi?”tanpa bicara gadis itu kembali mengangguk menghampiri pria berkusi roda. Wajahnya seolah bertanya bantuan apa yang bisa diberikan olehnya. “Bisakah kau bantu aku dengan mendorong kursi roda ini pergi ke sudut sebelah sana? Sepertinya sudut disana lebih bagus untukku melukis.” Gadis itu kembali mengangguk. “Oh ya, namaku Bagas. Lintang Bagaskara. Namamu siapa?” diberikan pertanyaan seperti itu, gadis di belakangnya bukannya menjawab malah menghentikan kursi roda.
Apakah ia marah? Tersinggung oleh sikapku yang tiba-tiba mengajak kenalan?
Terka Bagas dalam hati. Ia menanti dengan cemas apa yang akan dilakukan oleh gadis tersebut.
Namaku Kartika Sari. Panggil saja Sari. Senang berkenalan denganmu. Maaf aku hanya bisa berkomunikasi seperti ini. Semoga hal ini tidak menganggumu.
Bagas tersentak membaca sebuah tulisan di pangkuannya.
Apakah ini artinya? gadis bernama sari yang mendorong kursi rodanya tak bisa bicara? bisu?
Tapi Bagas tak berani bertanya lebih jauh, takut melukai perasaannya.
“Tak apa, setiap orang memiliki kekurangan. Mungkin itu kekuranganmu, tapi lihatlah, aku pun memiliki kekurangan. Aku terlahir tak sempurna, aku tak memiliki kaki yang utuh, jemariku pun hanya ada tiga. Tapi tak mengapa, aku tetap bersyukur. Aku bersyukur masih diberi kehidupan dan dipertemukan dengan orang-orang yang sangat menyanyangiku. Kekurangan ini tak boleh menjadi penghambatku untuk maju. Mimipiku adalah menjadi seorang pelukis besar, pelukis yang karyangnya abadi. Jadikan kekurangan menjadi pelecut untuk maju. Bolehkah aku tau mimpimu?”
Menjadi penulis terkenal yang karyanya mampu menginspirasi semua pembacanya. Itulah mimipiku.
Jawab Sari di selembar kertas.
“Bagus. Lanjutkan, mari kita usahakan untuk mewujudkan mimpi kita! Buktikan pada dunia bahwa kita bisa!” ucap Bagas berapi-api di belakangnya Sari hanya mengangguk dan tersenyum.
“Maaf Kak, menunggu lama. Ini cokelat panasmu. Aku taruh sini ya.”
“Iya, makasih ya Rachel. Oh ya, kenalin ini teman baru kakak, namanya Kartika Sari. Biasa di panggil Sari. Sari, ini sepupuku. Namanya Rachel.”
“Rachel, senang bertemu dengan Kak Sari. Semoga Kak Sari bisa bersahabat baik dengan Kak Bagas,” Rachel mengulurkan tangan, Sari membalas uluran tangan tersebut mengangguk dan pergi kembali ke kursinya. “Temanmu kenapa Kak, kenapa dia hanya menggangguk lalu pergi tanpa bekata apa pun?”
“Karena memang dia tidak bisa berkata-kata Rachel. Dia Bisu. Dia hanya bisa berkomunikasi lewat tulisan,” Rachel mengangguk maklum.
Pertemuannya dengan Sari, meski singkat namun mampu mengusik dirinya. Beberapa kali skesta Gereja Blenduk tiba-tiba saja berubah menjadi wajah manis Sari ketika tersenyum. Ini membuatnya tak tenang dan sulit berkonsentrasi.
Waktu terus berlalu tanpa peduli apa yang sedang terjadi. Sari seperti biasa, sedang menikmati seduhan coklat panas sambil merampungkan proyek menulisnya. Untuk beberapa lama kafe ini akan menjadi tempat favoritnya, dan selama itu pula Sari selalu menemukan Bagas di tempat yang sama. Tapi Kali ini Bagas sendiri tanpa Rachel, dan lagi-lagi kuas Bagas terjatuh.
“Terima kasih,” Bagas memperhatikan siapa yang telah membantu menolongnya, betapa terkejut dirinya menemukan wajah manis Sari dihadapannya. Wajah yang selama beberapa hari mengusiknya.
“Dimana Rachel? Kenapa dia tidak menemanimu hari ini?” tanya Sari melalui secarik kertas.
“Rachel sedang sibuk mempersiapkan ujian kelulusan. Oh ya, bolehkan aku minta tolong? Menemaniku disiku selama Rachel tidak ada? Tentu aku akan sangat terbantu jika kau ada disisiku itu pun jika kau tak terganggu dengan kehadiranku disisimu?”
Sari mengangguk. Tanpa berkata, Sari membereskan berbagai barangnya memindahkannya di meja dekat Bagas berada. Bagas memperhatikan Sari yang sedang duduk menghadap laptop. Di sampingnya sebuah cokelat panas mengepul mengeluarkan uap. Jilbab merah jambu berkibar tertiup angin, terusan panjang warna senada nampak anggun ketika melekat di tubuhnya yang semampai. Bagas mengamati dengan seksama setiap inchi dan setiap apa yang ada pada Sari, merekamnya dalam memori. Hingga akhirnya ia melihat Sari salah tingkah. Sari bukannya tak merasa diamati oleh Bagas. Sari merasakannya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia berusaha tak peduli tapi nyatanya tak bisa. Sikap Bagas yang seperti itu membuat ia grogi dan salah tingkah.
Hari demi hari berlalu, ternyata tak hanya sehari, seminggu atau sebulan Sari diminta menemani Bagas selama tidak ada Rachel. Waktu begitu panjangpun akhirnya membuat mereka semakin dekat. Bahkan sedikit demi sedikit Bagas mulai bisa bahasa isyarat, lebih jauh dari itu Bagas bahkan seolah memahami apa yang diinginkan Sari tanpa Sari harus menulis atau mengatakannya.
Aku mengantarmu cukup sampai disini ya. BBM aku kalau kalau sudah selesai. Aku akan ke masjid dulu.
Begitulah isi pesan Sari. Di depan Gereja Blenduk mereka berpisah. Bagas masuk ke dalam Gereja sementara Sari berjalan ke arah lain menuju masjid. Di hadapan patung Yesus Bagas berdoa, sebagaimana di hadapan Allah SWT Sari bedoa.
Tuhanku yag Maha Sempurna. Jika perasaan yang bersemayam dalam hatiku adalah sebuah kesalahan. Jadikanlah ini merupakan kesalahan indah, yang akan mendekatkanku pada-Mu. Jika rasa yang ada di hati ini tidaklah engkau ridhoi, cukupkanlah sampai disini perasaan ini. Jangan ada cinta diantara kami. Jangan ada benci diantara kami. Jadikanlah kami sahabat yang selalu saling menguatkan.
 Hari ini setelah bertahun-tahun Sari memutuskan untuk pergi. Pergi jauh meninggalkan Bagas dan kenangan yang mereka cipta. Disinilah Sari, memandang lukisan terakhir Bagas.
“Kak Sari? Benarkah itu kau Kak Sari?”
Sari menoleh ke belakang, di tatapnya wajah Rachel sepupu Bagas.
“Benar itu kau, Kak Sari?” Sari mengangguk. “Mari ikut aku, ada yang harus aku berikan padamu. Wasiat dari Kak Bagas.” Sari menurut. Dibiarkannya Rachel menuntun langkahnya. Mereka melewati sebuah lorong dimana kanan dan kirinya penuh dengan lukisan. Hingga mereka tiba pada sebuah ruang kecil berkaca bertuliskan TIDAK UNTUK DIJUAL. Rachel mengambil sebuah lukisan, Sari tersentak kaget melihat sosok yang terlukis itu, yang tak lain adalah dirinya.
“Lukisan ini dari Kak Bagas untuk Kak Sari. Terimalah kak.”
Sari menerimanya. Tanpa ia sanggup untuk menahan air matanya jatuh. Sari jatuh terduduk memeluk lukisan itu. Lukisan saat ia sedang mengetik di sebuah kafe di kota lama. Akhirnya ia tau, mengapa waktu itu Bagas begitu lekat memandangnya, tak lain agar ia dapat melukisnya.
“Rachel tau, Kak Bagas sangat mencintai Kak Sari. Hingga Kak Bagas meminta Rachel untuk tidak usah menemaninya melukis tak lain agar Kak Sarilah yang menggantikan posisi Rachel. Kak Bagas berharap posisi itu bisa di isi terus oleh Kak Sari. Tapi nyatanya tak bisa, Kak Bagas akhirnya sadar. Ada perpedaan besar yang tak mungkin disatukan diantara kalian. Kak Sari akhirnya pergi. Sungguh Kak Bagas amat sakit dan terluka, tapi ia bisa apa? Sekalipun Kak Bagas ingin melupakan Kak Sari menghapus cinta yang terlanjur bersemi. Nyatanya itu susah sekali. Lukisan terakhir yang kakak lihat tadi adalah lukisan yang Kak Bagas buat saat kemoterapi menjelang operasi pengangkatan kanker otak yang ternyata gagal. Lukisan itu mengambarkan perasaan Kak Bagas terhadap Kak Sari, orang yang dicintainya. Kak Bagas tau, kelak Kak Sari akan datang kembali bukan sebagai kekasih tapi sebagai sahabat yang menguatkan. Menghadapi kematian Kak Bagas, Kak Sari harus tersenyum walaupun sedih sekalipun. Tetaplah tersenyum. Bintang yang jatuh itu telah berpulang ke tempat dia berada.”
Rachel memeluk Sari yang menangis sesenggukan.
Jangan menangis Sari. Jangan menangis sebab kematianku. Tersenyumlah, maka aku turut bahagia untukmu. Jemputlah mimipmu, sebagaimana aku telah menjemput mimpiku. Bukankah itu adalah janji kita berdua dulu? Jangan menangis dan tersenyumlah. Sesungguhnya inilah jawaban atas doa kita. Sungguh, kita memang tak bisa bersatu sebagai kekasih. Terlalu berdosa dan egois kiranya jika aku mengharapkan itu terjadi. Maka kini kenanglah aku sebagai sahabatmu.
Lintang Bagaskara
(Bintang yang telah jatuh, kembali ke tempatnya berada)

Membaca tulisan yang ada dibalik lukisan membuat Sari kembali menangis sesenggukan. Sungguh Sari tak kan mampu melupakan Lintang Bagaskara, bintang yang telah jatuh, kembali ke tempatnya berada.
***
Noor Salamah, merupakan putri pasangan M. Ma’ruf (Alm) dan Slamet Muzaronah. Ia lahir dan besar di Jepara. Menyukai dunia tulis menulis sejak SMP, dan ia bercita-cita menjadi seorang penulis yang bisa menginspirasi banyak orang. Penulis bisa dihubungi via Fb : Salma Van Licht, email: salamah_chan@yahoo.com, atau CP: 085876214142














Read More

Jumat, 01 April 2016

Cinta Tak Terkatakan

Cinta Tak Terkatakan
oleh Noor Salamah
Bunda
Sejuta cintaku untukmu
Cintaku yang sebagian besar tak mampu tuk terkatakan
Bunda
Melalui engkau aku belajar tentang tulusnya mencintai
Melalui engkau aku belajar tentang ikhlasnya berbagi
Melalui engkau aku belajar tentang indahnya berkorban
Bunda
Engkau rela bangun tengah malam demi diriku yang menangis kehausan
Engkau timang-timang diriku
Engkau dekap aku dalam pelukmu  
Dan engkau kecup aku dalam kasihmu
Bunda meski tak sering aku berkata
Aku sayang bunda
Namun sungguh bunda
Sayangku, cintaku padamu telah membekukan sendi-sendi lidahku
Hanya dengan tatapan lembutmu sudah buatku luluh
Hanya dengan elusan lembut tanganmu di kepalaku sudah buwatku meleleh
Bunda
Meski tak banyak cinta ku terkatakan
Cintaku padamu takkkan pernah sirna
Meski tak banyak cinta ku terkatakan
Cintaku padamu takkan pernah berhenti
Bahkan hingga maut memisahkan aku denganmu

Cintaku takkan pernah padam
Read More

Bunda Maafkanlah Daku

Bunda Maafkanlah Daku
Oleh : Noor Salamah

Tersadar aku bahwa jiwamu begitu lembut
Tersadar aku bahwa dalam setiap doamu selalu engkau sebut namaku
Tersadar aku bahwa cintamu padaku begitu murni nan suci
Bunda maafkanlah daku
Maafkanlah daku yang acap kali sakitimu
Lewat bibir ini yang dulu engkau suapi makanan
Lewat tangan ini yang dulu engkau pegangi erat agar tak jatuh
Lewat kaki ini yang dulu engkau tuntun agar berada di jalan yang benar
Bunda maafkanlah daku
Maafkanlah daku
Kan ku tebus segala dosa
Kan ku balas semua jasa
Meski melalui hatimu yang lembut, engkau lebih dulu maafkanku
Meski melalui cintamu yang murni lagi suci, engkau tak harapkan balas jasaku
Aku takkan bergeming
Kan ku tebus semua dosa
Kan kubalas semua jasa
Kan kubuwat engkau bahagia


Read More

Kejora Sang Guru

Kejora Sang Guru
Oleh Noor Salamah
Tak tau arah aku melangkah
Satu tujuanku, ingin bertemu engkau wahai guru
Pelita sanubari
Kejora yang sinarnya tak pernah pudar
Singkat memang pertemuan itu
Namun sejuk dan sinarmu membekas di hati
Menyemai benih mengajak taqwa
Tutur katamu lembut
Parasmu menentramkan
Ayu seayu hatimu
Engkau bimbing kami dengan penuh sabar dan ikhlas
Aku bagai musafir yang tersesat di tengah gelapnya malam
Orang-orang mungkin sudah terlelap abai akan diriku
Terus berjalan, dan tiba-tiba aku sampai dihadapanmu
Mendengar petuah petuahmu
Mendengar baitmu yang syarat ilmu ilahi
Hatiku bergetar oleh teguranmu,
sesaat aku malu betapa hina diriku dihadapanmu yang mulia
Mungkin engkau tidaklah begitu mengenal diriku
Namun bagiku sosokmu sungguh berarti
Wahai kejora yang sinarnya tak pernah padam


Read More

Mbok, Kenapa Mereka Takut Sama Aku?



            Perkenalkan namaku Ayu, umurku sebelas tahun. Tapi simbok lebih suka manggil aku Nduk Ayu, dan aku suka nama itu karena terdengar cantik dan penuh kasih. Aku Ayu, aku memiliki teman-teman yang unik-unik. Ada Dido ia sangat suka bermain musik terutama gendang, tapi ia sangat benci matematika, ia bahkan tidak bisa membedakan uang sepuluh ribu dan seratus ribu. Oh iya juga ia memiliki suara yang sangat bagus, dan satu lagi ia cukup tampan. Stt, jangan bilang-bilang nanti dia kegeeran. Aku juga punya teman lagi, namanya Juni. Ya ia memang terlahir di bulan Juni makanya ia bernama Juni. Aku juga lahir di bulan Juni, tapi simbok tidak menamaiku Juni. Emm, mungkin nama Ayu lebih pantas untukku. Temanku Juni, ia cantik tubuhnya tinggi dan langsing. Ia sangat suka menari, dan tariannya indah. Paling suka ia menari Jaipongan. Tapi ia tidak bisa membedakan warna, dia payah soal warna. Ia selalu meraba wajah orang terlebih dahulu sebelum bercakap-cakap, barulah ia tahu dengan siapa ia bicara. Sebenarnya ada banyak temanku yang unik, tapi tentu saja aku tak bisa menceritakannya semua kepadamu.
            Pagi itu aku diajak Simbok ke sebuah acara yang diadakan oleh tetangga. Aku tak tu acara macam itu. Simbok tidak mengatakannya padaku. Disana aku mendengar nama Muhammad di baca berulang-ulang, dan kalimat ini Allahummad sholli alaih. Selebihnya terdengar dalam bahasa aneh yang tidak aku pahami, seperti bahasa yang Simbok gunakan ketika ngaji Al Qur’an.
Ada banyak tamu yang hadir, tua, muda dan anak kecil. Pria maupun wanita. Disana ada segerombolan mas-mas, ada yang bernyanyi menggunakannya mic dan yang lain memukul-mukul benda bulat entah apa namanya hingga terdengar musik yang indah dan penuh semangat.
Aku dekati salah seorang diantara mas-mas yang memukul-mukul benda bulat. Ia terkejut dan merasa takut. Tapi aku tak ambil pusing. Saat mas-mas itu sedang tidak memainkan benda bulat, aku ambil si benda bulat. Aku pukul-pukul mencoba mengikuti irama dan gerakan mas-mas yang lain. Aku pukul-pukul hingga tanganku terasa sakit dan berwarna merah.
Jelek, barang ini jelek. Ia tidak menghasilkan bunyi yang indah.
Aku banting benda itu ke lantai bermarmer putih, hingga terdengar suara buk yang keras. Semua orang memandangku.
“Nduk Ayu sini!”
Panggilan itu, aku suka panggilan itu. Simbok memanggilku. Tapi, wajahnya menyiratkan kemarahan. Apakah karena tadi aku membanting si bulat? Aku takut di jewer. Aku takut dipukul. Aku takut dibentak. Aku memeluk tiang bangunan yang dingin. Aku takut kesana. Tidak, simbok justru mendekatiku. Aku berputar ke sisi lain, menghindar. Tapi simbok semakin dekat, aku tak bisa kabur. Ia sudah memegang tanganku. Kini kami berhadap-hadap. Aku takut, tangan simbok sudah melayang diudara. Ia mungkin akan memukul pantatku keras seperti yang biasa Bapak lakukan dulu.
Apa ini?
Bukan kerasnya pukulan di pantat yang aku rasakan, namun belaian lembut di rambut. Ahh simbok, ia memang tak pernah memukulku. Ia begitu lembut dan sabar terhadapku. Simbok menarik tanganku, mengajak duduk tenang disisinya. Semenit dua menit tiga menit empat menit lima menit. Aku tak tahan berdiam diri. Simbok tak kuasa menahanku, ia tahu aku memang susah diatur apalagi untuk duduk tenang. Bagiku duduk tenang itu lebih melelahkan dan membosankan daripada berlari kesana kemari.
Aku melihat beberapa anak kecil yang mungkin seusiaku. Aku dekati dia. Tapi ia berlari menjauh, bersembunyi di balik tubuh ibunya. Semakin dekat dengannya, ia semakin terlihat takut, ia bahkan mulai menangis. Ibunya mengusirku. Aku pergi, menghampiri yang lain mungkin masih ada yang mau berteman denganku. Namun yang lain pun sama, mereka semua berlari ketakutan bersembunyi di balik tubuh ibunya, menangis, dan ibu mereka mengusirku. Sebenarnya apa yang salah? Memangnya aku terlihat seperti monster seperti di film-film kartun? Memang tubuhnya tinggi besar. Tapi aku bukan monster. Apakah karena aku wajahku jelek? Ada yang jauh lebih jelek, itu si Tito temanku di sekolah. Ia lebih jelek. Trus kenapa mereka takut sama aku?
            Aku berlari mengamburkan diri ke simbok. Dengan sangat susah payah aku bertanya pada simbok.
            “Mbok, kenapa mereka takut sama aku?” Aku menuding mereka, gadis-gadis kecil yang bersembunyi di balik tubuh ibunya. “Aku kan bukan monster kenapa mereka takut sama aku?” Simbok tidak menjawab. Simbok justru menangis. “Kenapa Simbok nangis? Ayu salah?” Simbok masih tidak menjawab. Aku guncang-guncang tubuh Simbok kuat. Tapi Simbok masih belum menjawab. Di belakang, ibu-ibu berbisik cukup keras.
            “Gimana mereka tidak takut dideketin makhluk idiot kayak gitu?!”
            “Stt, dia bukan idiot tapi autis.”
            “Ah sama aja!”
            Idiot? Autis? Apa maksudnya? Memang aku bodoh, umur sebelas tahun saja aku baru lancar bicara, baru tahu angka satu sampai sepuluh. Apakah karena itu mereka takut sama aku?
***




Nama   : Noor Salamah
Alamat            : Jalan H.M Syahid No. 11 Rt 03 Rw 5 Panggang  Jepara
Status  : Mahasiswa Pendidikan Nonformal Unnes
Fb        : Salma Van Licht
Twitter            : salma_skylight
Cp       : 089668214948



Read More

Pesan Nisan untuk Nisa

Pesan Nisan untuk Nisa

Seekor burung gagak hitam bertengger diranting pohon rambutan setelah sebelumnya mengitari gubuk kecil di depannya. Suaranya parau. Gagak itu memandang sebuah gubuk kecil di depannya dengan  tajam. Mengawasi setiap gerak-gerik di setiap sudut gubuk.
“BAPAAAAAKKKKKKK .. ”
Sebuah teriakan panjang terdengar dari arah gubuk. Gagak hitam mengepakkan sayap dan pergi.
Tiga orang anak kecil menangis dihadapan sebuah keranda mayat. Mereka memeluk erat sebuah buku ditangan mereka. Sampai mayat dikuburkan pun, mereka bertiga tetap memegangnya dengan erat. Yang paling kecil namanya Imron usianya baru tujuh tahun, selanjutnya Nisa usianya setahun lebih tua dan yang paling besar namanya Ibrahim usianya sembilan tahun. Ibu mereka meninggal tatkala melahirkan Imron. Kini mereka menjadi yatim piatu. Tanpa ibu tanpa bapak. Saudara yang mereka miliki hanyalah kakak dari bapak mereka. Namun tak jauh beda dengan kondisi ekonomi keluarga mereka. Tidak bisa sekolah. Tak bisa makan tiga kali sehari. Ditambah lagi paman sudah memiliki lima orang anak yang masih kecil-kecil. Anak paman yang terbesar berumur lima tahun. Dua tahun lebih muda dari Imron. Bagaikan bergantung pada akar yang lapuk. Hidup bersama paman, mereka justru dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, mengurus keponakan mereka, mencari uang, bekerja di ladang memberi makan ternak dan tugas-tugas lainnya. Tak mengapa bagi mereka, karena paman memang baik terhadap mereka bertiga.
¤¤¤
Suatu malam yang cerah ketika keluarga paman sedang makan bersama, seorang tamu datang berkunjung.  Penampilannya sederhana. Hanya memakai baju koko sarung dan peci.
“Assalamualaikum ..”
“Waalaikumsalam ..”, paman menghampiri pintu dan membawa masuk seorang pria paruh baya.
“Silahkan duduk, mari bergabung dengan kami. Tapi jika kau tak keberatan tentunya karena lauk yang kami miliki seadanya.”
“Tak masalah bagiku, dirumah pun lauknya tak beda jauh kok, hehehe ..”,  pria tersebut kemudian duduk bersila di dekat paman.
“Anak-anak perkenalkan ini sahabat bapak namanya Pak Solikin.”
“Hai anak-anak, senang bertemu kalian. Ah iya, aku lupa. Aku membawa sedikit buah segar untuk kalian.”
“Terima kasih teman. Ibu, tolong iriskan buah-buahan ini jadi potongan kecil-kecil.” Paman menyerahkan buah-buahan tersebut kepada Bibi.
“Mari kita mulai makannya.”
Sambil menikmati buah segar mereka berbincang-bincang.
“Apakah semua anak ini adalah anak-anakmu ?”
“Tidak, hanya lima yang anak kandungku tiga yang lain adalah anak dari kakakku yang telah meninggal. Mereka yatim piatu, karena saudara yang mereka miliki hanyalah aku maka akupun merawat mereka. Tapi kesemuanya sudah aku anggap seperti anak kandungku sendiri. Bahkan Ibrahim, Imron dan Nisa adalah anak yang baik dan patuh. Bagaimana denganmu ? apakah sekarang kau sudah memiliki momongan ?”
“Belum, Allah masih belum menganugrahkan seorang anak kepadaku. Padahal usia perkawinanku sudah sembilan tahun.”
“Sabar saja. Pasti ada hikmahnya.”
“Ngomong-ngomong apakah mereka sudah sekolah ? kurasa yang paling besar umurnya sekitar sebelas tahunan. Seharusnya sudah kelas lima SD jika sekolah.”
“Ahh kau ini, ngaco saja. Mana mungkin aku mampu menyekolahkan mereka ? untuk makan sehari tiga kali saja harus kerja keras setengah mati.”
Sunyi. Keduanya hanyut dalam pikirannya masing-masing.
“Emm, sebelumnya aku minta maaf. Sebenarnya aku berniat mengadopsi salah satu diantara anak kakakmu. Kau tahu sendiri, sudah sembilan tahun aku menikah dan belum juga punya momongan. Aku harap kau tak marah. Aku juga harap dengan niatku ini aku bisa membantumu dan juga kakakmu. Itu jika kau setuju tentunya.”
Hening
“Entahlah, aku tak tau. Aku tak bisa memutuskan secara sepihak. Keinginanmu harus aku musyawarahkan dulu dengan istri dan keponakan-keponakanku.”
“Baiklah, aku akan menunggu.”
“Diantara mereka bertiga siapa yang paling kau harapkan untuk kau adopsi ?”
“Nisa. Aku rasa dia gadis kecil yang cantik, pintar, baik dan penurut.”, ia memperhatikan Nisa yang dengan cekatan membereskan piring-piring kotor diatas tikar.
“Ya, perasaanmu memang tidak keliru. Nisa adalah gadis kecil yang cantik, pintar, baik dan penurut. Ia terlihat lebih dewasa daripada anak lain seusianya.”
¤¤¤
Nisa turun dari sepeda motor Jupiter Mx milik Pak Solikin. Nisa mengecup tangannya dan pergi sekolah. Hari ini adalah pertama kalinya ia masuk sekolah. Meski terlambat setahun ia tetap bersemangat untuk sekolah. Sebulan yang lalu, Nisa memutuskan untuk bersedia menerima ajakan Pak Solikin jadi anak adopsi. Nisa hanya berpikir Pak Solikin adalah orang yang baik, mungkin dengan ia ikut bersamanya Nisa bisa meringankan beban keluarga paman, dan juga karena Nisa ingin sekolah. Waktu sebulan, Nisa tampaknya mudah untuk beradaptasi. Pada kenyataanya ayah dan bunda barunya memperlakukannya dengan sangat baik. Banyak hal yang mereka berikan, belum Nisa dapatkan sebelumnya dari ibu, bapak maupun pamannya.  Pak Solikin dan istri juga tidak menyesal telah mengadopsi Nisa. Nisa gadis kecil yang cantik, penurut, suka membantu dan nerimaan.
Seiring berjalannya waktu. Nisa mulai bisa membaca dan menulis dengan baik. Suatu ketika di hari minggu yang cerah diruang makan. Ayah sedang menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca koran, dan bunda sedang menyiapkan gorengan untuk cemilan. Nisa kecil datang dengan berlari dan sedikit menjerit memanggil ayah sambil menenteng sebuah buku.
“Ayaaahh.. tolong bantu Nisa. Nisa tak bisa baca buku ini. Ini enggak pernah diajarin di sekolah Nisa. Padahal Nisa pengen bisa baca buku ini. Tolong Nisa ayah  ..”
Nisa duduk disamping ayahnya dan menunjukkan buku yang ia maksud. Ternyata buku yang Nisa maksud adalah Juz Amma. Pantaslah Nisa tidak faham, karena memang di sekolah formal SD tidak diajarkan bahasa arab.
“Juz Amma ? emm, ayah rasa jika kamu ingin bisa membaca Juz Amma, Nisa harus belajar huruf arab dulu. Karena dasar dari membaca juz Amma adalah huruf arab atau hijaiyah. Nah biar Nisa lebih pintar lagi bacanya Nisa mau ayah sekolahin di TPQ ? TPQ adalah taman pendidikan Quran. Disana Nisa bakal diajarin bagaimana caranya membaca Juz Amma dan Al Qur’an. Jadi nanti sepulang sekolah siangnya Nisa sekolah lagi. Nisa kan pulang sekolah jam sebelas dan nanti jam dua siang tiap hari sabtu sampai kamis Nisa ke TPQ. Gimana Nisa tertarik ?”
“Nisa mau. Meskipun nanti Nisa jadi gak bisa bobok siang tapi Nisa mau. Nisa pengen bisa baca Juz Amma warisan bapak ini. Nisa pikir, dengan Nisa bisa baca Juz Amma bapak pasti seneng. Nisa juga jadi ngerasa bisa lebih deket sama bapak.”
“Nah sebagai awalan, ayah bakal jelasin apa itu juz amma dan huruf hijaiyah serta dasar membaca Al Qur’an.”
Ayah kemudian menjelaskan apa itu Juz Amma serta mengajari Nisa dasar membaca Al Qur’an.
¤¤¤
Besok adalah genap sepuluh tahun meninggalnya mendiang bapak Nisa. Keinginan untuk menziarahi pusaranya tak dapat lagi dibendung. Meski jaraknya jauh karena berbeda kabupaten, rasa rindunya terhadap saudara-saudara kandungnya tak mampu ditunda. Besok merupakan momen yang pas sebagai ajang reuninan. Nisa sedang mempersiapkan segala bekal yang hendak dibawa. Rencananya Nisa dan ayah akan menginap beberapa hari. Kedatangan Nisa dan ayahnya disambut hangat oleh keluarga paman. Selama kurang lebih satu jam mereka melepas rindu. Kemudian Nisa mengutarakan niatnya untuk bersama-sama berziarah ke makam bapak. Mereka semua menyambut dengan baik. Sore itu mereka berangkat bersama-sama. Lokasi pemakaman lumayan jauh, karena berbeda desa. Kurang lebih setengah jam dengan mobil.
Akhirnya mereka tiba dilokasi. Proses nyekar yang dipimpin oleh Ayah berjalan dengan lancar. Makam bapak terlihat cukup terawat. Nisa pikir bang Iib dan dek Imron cukup rutin kesini dan merawat pusara bapak. Selesai nyekar, ayah mengajak rombongan makan bakso. “Dalam suasana santai mereka mengobrol”.
Pergi ke makam bapak mengingatkanku akan pesan beliau sebelum pergi. “Ucap Nisa sambil menerawang melepas memori jauh kebelakang.”
“Ya, aku juga. Aku ingat betul saat itu. Saat dimana masing-masing dari kita mendapatkan harta warisan.”, sambung Imron.
“Ya harta warisan yang sangat berharga. Meski bukan uang, bukan harta, bukan tanah tapi lebih dari itu.”, Ibrahim mengeluarkan sebuah buku panduan Sholat dari tas kecilnya disusul dengan bukua panduan tahlil dan juz Amma oleh Imron dan Nisa. Ketiga benda itu terlihat begitu lusuh, mungkin karena terlalu sering dibuka.
Nisa membuka lembar pertama juz Amma dengan pikiran menerawang ke masa laluu, “Ketika itu, bapak kondisinya sangat kritis. Diatas depan tanpa alas bapak terbaring lemah tak berdaya. Kita bertiga menungguinya disisinya ..”
¤¤¤
Seorang lelaki tua terbaring lemah diatas depan panjang disudut ruangan. Tiga anak kecil menjaganya disisi kanan depan. Tanpa selimut, hanya beralaskan sarung dan jarik sebagai penahan dingin.
“Ibu, tolong ambilkan bapak bungkusan plastik di lemari”. Ibrahim berjalan ke arah lemari kecil yang hampir lapuk disamping depan kemudian meletakkan bungkusan tersebut disisi bapaknya.
“Anak-anak maafkan bapak. Bapak tidak bisa memberikan kalian rumah yang nyaman, pendidikan yang baik, mainan yang banyak, makanan yang enak dan bergizi. Karena bapakmulah hidup kita sekeluarga menjadi serba kekurangan. Maafkan bapak.”
Hening menyergap kebisuan mengisi kekosongan.
Bapak membuka bungkus plastik dengan sedikit susah payah. Mengambil buku panduan sholat lalu meletakkan dihadapan Ibrahim. Mengambil Juz Amma lalu meletakkan dihadapan Nisa. Mengambil buku panduan tahlil kemudian meletakkan dihadapan Imron. Kini dihadapan Ibrahim, Imron dan juga Nisa tergeletak sebuah buku yang asing bagi mereka. Mereka tak ada yang bisa membaca dan menulis, tak heran jika mereka tidak mampu membaca judul dari buku-buku tersebut.
“Bapak hanya bisa memberikan ini kepada kalian. Semoga ini bisa menjadi bekal dan pedoman kalian dalam mengarungi kehidupan. Bapak harap pula, semoga apa yang bapak wariskan ini dapat menolong kalian juga menolong bapak. Jadilah kalian anak-anak yang baik, anak yang sholeh sholehah. Maafkan bapak, bapak hanya mampu sampai segini membimbing kalian. Waktu bapak sudah habis, bapak lelah bapak ingin istirahat.”
Tangan yang lemah itu jatuh terkulai, matanya terpejam, sedikit senyum mengembang dari bibirnya. Ketiga anak tersebut memegang tangan bapaknya sambil menjerit keras memanggil bapak. Seolah dengan jeritan yang keras tersebut bapak akan terbangun kembali. Tapi bapak tidak bangun juga. Bapak memang benar telah beristirahat, beristirahat untuk selamanya.
¤¤¤
Gemeretak suara sendok beradu dengan mengisi kekosongan hati mereka.
Emm, ngomong-ngomong cerita seperti apa yang kalian lalui bersama buku warisan tersebut ? “Nisa melontarkan pertanyaan tersebut sambil memainkan es batu dalam gelas minumnya”.
“Kalau aku, kita tau sendiri ketika kita mendapatkan warisan itu dari ayah tak ada satupun dari kita yang bisa membaca. Maka ketika aku mendapatkan warisan tersebut aku sempat bingung ini buku apa ? apa gunanya ? kita juga tau, dari keluarga paman juga tidak ada yang bisa baca tulis. Aku sudah pernah mencobanya menanyakannya. Makanya aku berfikir, jika bapak sampai berkata begitu dulu. Ini artinya buku ini amat penting. Dan jika aku terus di desa ini aku tidak akan memperoleh kemajuan informasi tentang buku ini. Aku jadi memutuskan untuk merantau kekota mengikuti salah seorang tetangga paman. Disamping aku bermaksud mencari uang untuk meringankan beban keluarga paman tentunya. Selain bekerja, aku bertanya pada orang-orang disekelilingku perihal buku warisan ini. Hingga aku akhirnya dipertemukan dengan seorang ustad masjid setempat. Dari beliau aku dijelaskan bahwa buku yang ayah berikan padaku adalah buku panduan sholat. Aku juga dijelaskan bahwa sholat adalah rukun islam yang kedua. Dimana sholatlah amal yang pertama kali dihisab yang akan menentukan kita masuk surga atau neraka. Sholat hukumnya wajib. Jadi karena buku warisan bapaklah aku pertama kali mengenal sholat. Dan memotovasiku untuk selalu menjaga sholatku tak lupa aku juga mangajak Imron dan keluarga paman untuk belajar sholat. Ibrahim menerawang kisah masa lalunya. Setiap detik yang ia lalui bersama warisan bapaknya.
“Sedangkan aku, ketika mas Iib pulang kerumah dan mengabarkan bahwa ia sudah tau tentang buku warisan yang ia miliki. Aku hanya tau dari mas Iib yang sudah bisa baca bahwa pemberian bapak adalah buku panduan tahlil. Tanpa aku tahu tahlil itu apa. Aku kemudian ikut mas Iib ke kota. Belajar dari ustad Malik, akhirnya aku pun tau bahwa dalam tahlil kita bertawasul menjadikan kekasih Allah sebagai perantara dalam doa. Dengan tahlil kita juga bisa mengirim doa bagi orang yang telah meninggal. InsyaAllah akan sampai pada almarhum yang dituju.           Bagaimana denganmu mbak ?”
“Aku sama dengan kalian. Awal aku mendapatkan buku ini aku pun tak faham karena aku belum bisa membaca. Kemudian aku diadopsi oleh ayah. Dan ayah kemudian menyekolahkanku di SD. Namun dari pendidikan di SD aku hanya mampu membaca tulisan latin di Juz Amma. Aku kemudian bertanya pada ayah, ternyata tulisan yang tak mampu aku baca adalah tulisan arab. Oleh ayah aku kemudian diajarkan dasar membaca tulisan arab dan dijelaskan pula apa itu juz Amma. Akhirnya untuk memperdalam ilmu, aku memutuskan mengaji di Taman Pendidikan Alquran. Karena juz Amma pemberian bapak aku jadi termotivasi untuk rajin membaca Al Qur’an, membaca dengan tartil fasih, pandai qiroah dan bahkan aku bermimpi untuk menjadi penghafal dan penjaga Al Qur’an, yaitu seorang hafidzoh. Aku ingin memberikan jubah kemenangan di akhirat nanti untuk bapak dan ibu. Tidak hanya bapak dan ibu, aku pun ingin memberikannya pada ayah dan bunda serta paman dan bibik.”
Aku kagum pada bapak kalian. Meski beliau tidak mampu memberikan kalian warisan harta, bukan pula warisan ilmu, namun beliau mewariskan pesan-pesan motivasi. Sebuah harapan melalui warisannya kepada kalian, beliau berharap bekal yang ia berikan telah mampu menolong kalian dunia dan akhirat serts menolong dirinya sendiri. Dan aku bangga pada kalian yang mampu dengan baik menangkap dan memahami pesan yang beliau isyaratkan. Jadilah kalian orang yang hebat, sukses dan berprestasi dunia dan akhirat. Buatlah bapak dan ibu kalian semakin bangga memiliki anak seperti kalian. Oh ya, kalau kalian butuh bantuan apa-apa kalian bisa minta tolong padaku. Anggaplah aku ayah kalian sendiri ...
“Siap paman”. Jawab Ibrahim dan Imron kompak.
Suasana makan kali itu terasa semakin hangat. Banyak cerita yang dibagi. Banyak mimpi yang digantungkan. Banyak visi yang akan diwujudkan. Insya Allah....

Sabtu, 31 Agustus 2013



Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Follow

Popular Posts

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Jejak Sajak Salamah | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com